14 Maret 2008

Idealisme Bermusik


Bagaikan mengurai benang kusut, hubungan antara idealisme bermusik dengan kepentingan bisnis murni semakin sulit untuk ditemukan ujung-pangkalnya. Menilai perkembangan musik pop Indonesia dewasa ini, tentunya akan menjadi perbincangan yang sangat menarik. Di mana perkembangan musik pop telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Yaitu perubahan perlakuan antara musik sebagai produk kesenian, dengan musik sebagai barang dagangan semata-mata. Keadaan ini nampak semakin jelas, ketika kita dihadapkan pada kenyataan menjamurnya lagu-lagu pop yang bersifat konsumsi jangka pendek (short term consumption product), yang kurang memperhatikan aspek apresiasi dan etika berkesenian.

Salah satu karakter yang melekat kuat pada musik pop adalah bahwa musik ini tidak terlalu memakan energi, ketika dinikmati. Ciri lain dapat juga dilihat dari kadar muatan hiburan di dalamnya. Intensitas hiburan akan selalu lebih kuat daripada tujuan lain. Dengan demikian, musik pop akan selalu mengambang, dan berada di atas permukaan selera massa. Musik pop dengan leluasa melekat pada sistem sosial di mana sistem itu tumbuh dan berkembang.

Di tengah hiruk-pikuknya bisnis rekaman di Indonesia, muncul pernyataan yang mengatakan bahwa, perkembangan musik pop dewasa ini lebih mengarah ke orientasi bisnis murni daripada apresiasi sebuah produk kesenian. Terlepas dari unsur subyektivitas, pendapat seperti ini tentunya akan menjadi diskusi yang menarik. Karena bagaimanapun juga, perkembangan musik pop di dewasa ini telah menunjukkan arah yang sangat berbeda dengan beberapa dasa-warsa yang lalu. Kalau beberapa tahun yang lalu peta bisnis rekaman di Indonesia praktis hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan, maka dewasa ini peta tersebut telah berubah total. Keadaan ini akhirnya menyebabkan kompetisi bisnis rekaman menjadi semakin ketat. Ketatnya kompetisi ini terlihat dari fenomena berpindahnya beberapa artis dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Perpindahan tersebut biasanya terjadi karena faktor-faktor ekonomik, walaupun tidak menuntup kemungkinan karena faktor yang lain.

Fenomena lain yang menunjukkan ketatnya kompetisi adalah adanya eksploitasi pasar secara habis-habisan. Hal ini ditunjukkan dengan diorbitkannya (baca: dikarbitnya) beberapa artis yang sebenarnya secara kapabilitas memiliki skill yang pas-pasan. Dengan demikian pameo yang mengatakan bahwa, modal utama seorang penyanyi adalah penampilan, sedangkan skill bisa menjadi prioritas yang ke-dua, ke-tiga, atau bahkan yang ke-sekian, merupakan ungkapan yang ada benarnya. Di sisi lain, perkembangan teknologi rekaman juga memiliki andil yang besar atas terjadinya iklim seperti ini. Canggihnya teknologi rekaman memungkinkan adanya koreksi atas minimnya skill seorang penyanyi.

Eksploitasi pasar juga dapat dilihat dari materi musik yang sedang menjamur di pasaran. Sebuah album yang memiliki angka penjualan tinggi, serta merta akan segera diikuti dengan album lain yang dikemas dalam format yang hampir sama. Atau lagu yang sama tetapi diaransemen dalam irama yang berbeda, misalnya dibuat dalam versi remix, dalam versi disko, atau versi-versi yang lain. Munculnya versi baru dari sebuah lagu akhirnya menimbulkan polemik di kalangan kritisi, sementara pihak mengklaim bahwa tindakan tersebut merupakan kreativitas, di sisi lain dikatakan bahwa tindakan tersebut merupakan perkosaan terhadap sebuah karya seni. Bayangkan, bagaimana rasanya kalau dulu lagu Kaulah Segalanya (Ruth Sahanaya) yang diciptakan Tito Sumarsono dalam nuansa romantis dan asketisme penuh, kemudian diperkosa ke dalam versi disko dangdut? Peristiwa ini sebenarnya analog dengan yang terjadi di era 70/80-an, di mana kesuksesan lagu yang berjudul ABC akan disusul dengan keluarnya lagu yang berjudul Jawaban ABC. Dari semuanya itu akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu eksploitasi pasar. Tidak lebih.

Dewasa ini semakin sulit untuk menemukan lagu pop Indonesia dengan tema yang bermutu (educated music), baik dilihat dari aransemen maupun liriknya. Selain itu, munculnya artis-artis baru yang benar-benar bright juga semakin jarang. Secara kuantitatif memang terjadi boom artis, namun demikian secara jujur kita bisa merasakan bahwa pemunculan mereka memiliki greget yang berbeda dibanding ketika muncul nama-nama seperti Ruth Sahanaya, Trie Utami, Harvey Malaiholo, di peta musik pop Indonesia.

Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi ketika mencermati sebagian besar lirik lagu yang beredar di pasaran. Tema lirik masih berpolar pada masalah cinta anak muda dengan segala asesoriesnya. Transformasi cerita cinta menjadi tema lagu adalah hal yang sangat wajar. Tidak hanya di Indonesia, di belahan bumi manapun tema-tema semacam ini juga menjadi sasaran empuk dalam mencipta lagu, dan itu merupakan tindakan yang sangat sah untuk dilakukan. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana kemampuan seorang pencipta lagu untuk mengungkapkan tema cinta tersebut menjadi bahasa musik dengan kandungan seni dan nilai edukasi yang memadai.

Kekuatan sebuah lirik lagu akan ditentukan dari kejelian pencipta dalam memilih kata. Dan kejelian pencipta pulalah yang akan menentukan kandungan sastra dari lirik lagu yang digubahnya. Karena bagaimanapun juga, nilai seni sebuah lagu tidak akan pernah terlepas dari kadar estetis lirik yang dikandung. Kekuatan lirik inilah yang akan membangkitkan imajinasi pendengar atas tema sebuah lagu. Sementara itu, imajinasi pendengar inilah yang seringkali dimanfaatkan untuk mengeksploitasi pasar. Sehingga muncul polemik tentang perlu tidaknya pencekalan sebuah lagu di televisi, hanya karena lirik lagu tersebut membangkitkan imajinasi negatif di kalangan pendengar.

Untuk melihat perkembangan musik pop dewasa ini, studi komparasi yang yang paling fair yang dapat dilakukan adalah dengan membandingkan kualitas lirik antara lagu-lagu dewasa ini dengan lagu-lagu yang dipasarkan pada beberapa dasawarsa lalu. Di era 80-an lagu-lagu dengan lirik yang bermutu, relatif lebih mudah ditemukan daripada dewasa ini.

Sedikitnya pemunculan lagu pop Indonesia yang memiliki kadar apresiasi yang memadai dapat dicermati melalui tangga lagu Indonesia (radio chart) yang disiarkan oleh beberapa stasiun radio, terutama radio-radio yang cukup selektif dalam menayangkan lagu. Hasilnya akan nampak bahwa banyak lagu yang sudah bertahan beberapa minggu tidak terlempar keluar chart. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa dunia musik pop sedang mengalami krisis, terbukti dengan jarangnya muncul lagu baru Indonesia yang "menggigit". ***

12 Maret 2008

Rem Kereta Api


Di kalangan komunitas pecinta kereta api, masalah sistem rem sangat sering dibicarakan. Mulai dari aspek teknis, sampai aspek lain yang berhubungan dengan keamanan dan kenyamanan berkeretaapi. Hampir semua kereta api yang sekarang operable di Indonesia menggunakan sistem rem angin Westinghouse (ada juga yang varian Knorr) untuk pengereman seluruh rangkaian KA. Selain itu, di dalam sistem lok sendiri juga terdapat independent brake (yang hanya bekerja pengereman lok sendiri).

Pada dasarnya, sistem rem di KA cukup sederhana. Untuk membuka rem hingga sepatu rem tidak menekan roda, maka dalam pipa saluran angin sepanjang KA diisi tekanan udara, tekanan ini mengisi tabung reservoir di tiap-tiap gerbong melalui sebuah katup yang disebut triple-valve. Melalui sebuah kompresor, katup ini akan terus mengisi reservoir untuk menjaga tekanan udara di pipa saluran. Begitu tekanan di pipa saluran ini dikurangi, maka katup akan membuat udara dalam reservoir menekan silinder rem. Semakin mendadak pengurangan tekanan yang ada dalam saluran, maka penekanan silinder rem akan makin kuat.

Sistem ini, kebalikan dari rem angin pada truk atau bis. Pada truk, silinder ditekan dengan memberikan tekanan angin atau oli secara langsung. Kenapa kebalikan? Supaya KA fail safe, misalnya rangkaian terputus, otomatis pipa antar rangkaiannya juga lepas, tekanan akan berkurang mendadak dan rangkaian akan mengerem darurat. Sementara itu, jika yang ditarik rem lokonya, memang roda lokonya akan terkunci, tetapi kalau sang masinis tidak memperhatikan dan main tarik terus, akibatnya roda rangkaian akan menjadi benjol.

Menurut gosip, suara KRL Holec yang bunyinya duk..duk..duk..duk (apalagi kalau pas lagi lewat Gambir dan kita berada di lantai bawahnya, kedengaran jelas). Itu akibat pengisian salurannya kurang cepat, jadi roda sebagian masih terkunci sudah ditarik, jadi pada benjol, akibatnya ya bunyi duk.. duk.. itu!

Bagimana dengan handel rem darurat di setiap gerbong? Alat itu fungsinya untuk membuka katup yang terhubung ke saluran angin yang menjalar di sepanjang KA. Begitu diputar, tekanan udara di saluran akan terbuang, silinder mengunci, KA akan mengerem darurat. Tidak perlu pakai sensor dan lain-lain, murah meriah! Di luar negeri, terutama AS, sekarang memang sedang dikembangkan sistem pemberian komando menggunakan sinyal elektrik ke rangkaian. Soalnya, semakin panjang rangkaian laju rambat angin dalam saluran relatif lambat, sehingga pengereman tidak bisa sekaligus, tapi mulai dari rangkaian yang paling dekat loko.

Penjalaran sinyal elektrik yang cepat, diharapkan dapat mengatasi masalah itu. Sistem Westinghouse sebenarnya relatif aman, tetapi kalau tidak hati hati, misalnya sewaktu menggandeng rangkaian semua reservoirnya kosong, atau katup antar gerbong lupa di buka, sementara masinis menduga kalau saluran angin sudah terisi, akibatnya nanti waktu akan mengerem rangkaian pasti ia akan terkejutnya setengah mati! Makanya sekarang kita sering melihat -- terutama di stasiun pemberangkatan awal -- ada petugas yang membawa manometer yang mengecek ke rangkaian paling belakang dan melakukan pengecekan apakah saluran anginnya sudah penuh terisi oleh kompresor yang dilakukan lokomotif.


Ada lagi masalah, di Indonesia kita sering melihat ada orang yang naik di sambungan antar KA, ini sangat membahayakan (bukan buat orangnya, tapi buat sistem pengereman). Kalau secara tidak sengaja katup saluran antargerbong tersenggol dan tertutup, maka sewaktu masinis megerem, maka hanya sebagian rangkaian saja yang akan mengerem karena salurannya masih terhubung, tetapi untuk gerbong yang salurannya tertutup sampai dengan rangkaian paling belakang remnya tidak akan berfungsi, karena pipa salurannya masih bertekanan dan tertutup, jadi tidak ikut turun tekanannya. Memang untuk membuka dan menutup katup tidak semudah tersenggol, tapi dapat dibayangkan kalau diinjak misalnya, tenaganya cukup untuk memutar katup!.

Kejadian sebaliknya, kalau selangnya terinjak dan lepas, seluruh rangkaian akan mengerem mendadak. Sewaktu zaman SS dulu, sistem pengereman yang digunakan adalah sistem vacuum (makanya orang kita bilang kalau rem mobil, motor, atau sepedanya bagus,disebut remnya “pakem” yang berasal dari kata vacuum). Kalau sistem ini, di sepanjang pipa saluran rem, udara disedot sampai benar-benar vacuum, sehingga silinder rem terbuka (opened). Waktu akan mengerem, udara luar dibocorkan masuk ke dalam saluran, maka silinder akan menekan kampas rem. Kalau rangkaian putus, maka pipa saluran akan langsung terisi udara, jadi otomatis akan mengerem darurat. Kekurangan sistem ini adalah daya tekan remnya tidak bisa sebesar sistem udara tekan Westinghouse, soalnya tekanan udara bebas kan hanya 1 atm, sedang sistem Westinghouse bisa 6-7 atm atau malah lebih.

Lok-lok disel model lama seperti BB301 ada sebagian yang mempunyai dua sistem, Westinghouse dan vacuum, jadi di dalam lok ada kompresor dan pembangkit vacuum. Alat untuk mengeceknya bernama vacuum-manometer. Anda pernah melihat petugas sewaktu akan melangsir gerbong penumpang? Yang dilakukan pertama pasti ia menarik handel di bawah gerbong untuk menghilangkan tekanan yang ada di dalam reservoir, supaya sepatu remnya terangkat. Untuk menghemat waktu, biasanya gerakan langsiran dilakukan tanpa menghubungkan saluran angin rem! Pengereman dilakukan mengandalkan independent brake loko saja. Di stasiun Tugu, saya pernah menyaksikan lok langsir D301 sedang melangsir rangkaian gerbong penumpang. Waktu direm, roda lokonya memang sudah berhenti, tapi masih terseret oleh momentum rangkaian gerbong! Lumayan sih, sampai beberapa meter. ***