13 Oktober 2009

Inneke



Di arena konser Classics Chrisye semalam, saya dikejutkan oleh colekan teman di pundak saya. Tak lain karena dia melihat sosok yang eye chatching berbalut jilbab warna gelap, duduk manis tepat dua baris di depan saya.

Semula saya anggap biasa-biasa saja, setelah teman-teman lain ikut-ikutan ribut, ternyata memang sosok itu sungguh fonomenal dan monumental di dunia sinematografi Tanah Air. Dialah Inneke Koesherawati, artis (orang generasi dahulu menyebut dengan predikat “bintang filem”) cantik yang dulu menghebohkan karena telah “menodai” ranjang-ranjang di hampir seluruh bioskop di Indonesia.

Kejadian ini mengingatkan saya, era 1990-an di Gombong, kota kecil di pantai selatan Jawa Tengah. Ketika itu, Gombong memiliki dua gedung bioskop kebanggaan warganya, Lestari dan Rahayu Theatre. Poster film ukuran 24 sheets menunjukkan visualisasi yang sanggup menaikkan degup jantung setiap lelaki normal.

Saat itu, memang dunia sinematografi Indonesia sedang booming dengan film-film bernuansa ”dewasa”, yang di posternya ditulisi 17th ke atas, meski siapa saja boleh menonton sepanjang membeli karcis (dulu istilah ”karcis” -- yang diserap dari bahasa Belanda kaartjes -- lebih popular dibandingkan ”tiket”, yang diserap dari bahasa Inggris ticket).

Era di mana belum lahir laskar-laskar yang sering melakukan sweeping dan berdemo atas nama menentang kemaksiatan. Temanku bilang itu adalah era indah pada saat Inneke masih ”padat-padatnya”, hehehe. Saya kira jika booming itu terjadi di saat ini, maka akan sulit menemukan tempatnya. Setidaknya di kota kecil yang bernama Gombong.

Setelah beberapa tahun mengalami stagnasi, saat itu dunia sinematografi memang nampak memasuki genre baru. Di mana film-film drama yang sudah kehilangan ruh dan mengalami kemiskinan kreativitas, tiba-tiba digairahkan lagi dengan hadirnya film-film ”model baru” yang mengangkat tema-tema berkategori dewasa.

Pancingan akan lahirnya genre baru film Indonesia saat itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Warkop. Hanya saja, kehadiran wanita-wanita cantik dengan pose menantang di film-film Warkop belum menjadi fokus, hanya sekadar bumbu penyedap dari akting para pemeran utama.

Entah bagaimana mulanya, kesadaran akan daya tarik yang diam-diam bergeser dari pemeran utama (Warkop) ke bumbu penyedap (lingerie), nampaknya dimanfaatkan betul oleh para sutradara. Yang semula malu-malu lalu menjadi lebih tegas mengangkat fokus.

Judul filmpun juga semakin berani. Nampaknya, pameo yang mengatakan: yang penting bungkusnya, perkara konten belakangan, disadari betul oleh para pelaku industri sinema. Judul-judul film yang terkesan seronok (bahkan kadang terkesan jorok), kadang-kadang tidak sesuai dengan kualitas konten yang dijanjikan tersirat di judul itu.

Maka muncullah ratusan judul film seperti: Gairah Malam, Kenikmatan Tabu, Setetes Noda Manis, Pergaulan Metropolis, dan tentu saja Ranjang Yang Ternoda. Beberapa film di antaranya dibuat dalam sekuens antara satu sampai tiga episode.

Di jajaran film impor (terutama film sejenis produksi Hongkong), kondisinya lebih “parah” lagi. Film yang dalam versi aslinya berbahasa dan berjudul dalam bahasa Mandarin, kemudian diadaptasi judulnya sesuai dengan selera para importir.

Judul film mandarin dalam bahasa aslinya seringkali sangat jauh berbeda dengan judul dalam versi bahasa Inggris, yang jelas-jelas sudah mengadaptasi keinginnan pasar, sekaligus menjadi daya pikat bagi calon penonton. Konon, para eksportir film Mandarin memang memberikan keleluasaan kepada importir untuk nyablon sendiri judul film sesuai dengan kehendak pasarnya.

Salah satu predikat yang dilekatkan masyarakat penikmat film kepada artis yang kini sudah jarang kita dengar lagi adalah “bom seks”. Predikat ini dilekatkan kepada artis yang dinilai memenuhi “kriteria tertentu” di mata para penonton. Entah siapa yang mewisudanya, komunitas seakan setuju-setuju saja, tanpa komplain, jika seorang artis dinobatkan sebagai bom seks oleh para jurnalis film.

Kondisi ini nampaknya tidak hanya dialami Indoensia, di belahan bumi yang lain, Hongkong misalnya, juga mengalami fenomena yang sama. Setelah bosan dengan drama dan silat, sineas-sineas Hongkong mulai bergeser ke tema seks untuk mempertahankan eksistensi industri film di negeri itu.

Arus baru telah lahir di Hongkong. Usai era Carol Cheng, Lydia Sum, Alan Tam, atau era yang lebih tua lagi seperti David Chiang, Bruce Lee, maka lahirlah generasi baru dengan pembawaan yang lebih ”berani” dibandingkan pendahulunya. Lahirlah nama-nama besar Gong Li dan Aaron Kwok, yang style-nya jauh berbeda dengan para pendahulunya.

Di Indonesia, era itu telah melahirkan jajaran nama yang sangat legendaris, terutama di kalangan mahasiswa (bukan mahasiswi, pastinya) dan pria dewasa pada umumnya. Nama-nama yang akrab di mata mereka (karena pose ”gelinjang”-nya paling sering menghiasi poster bioskop) seperti Windy Chyndiana (di beberapa filmnya ditulis dengan spelling Windy Cindhiana), Sally Marcelina (Selly Marcelina), Gitty Srinita, Taffana Dewi, Febby F Lawrence, Lela Anggraeni, Malfin Shayna, dan tentu saja Inneke Koesherawati. Di jajaran pemeran lelaki, setidaknya muncul dua nama besar yaitu Reynaldi dan Ibra Azhari (belakangan dibui karena kasus narkoba).

Dinamika industri sinema di negeri ini memang terlalu kaya untuk ditulis. Banyak sisi yang bisa dibidik, dan tentu banyak dimensi yang bisa dicermati. Perjalanan Inneke Koesherawati, dari sosok yang sangat lekat dengan predikat bom seks sampai menjadi figur yang identik dengan modisnya jilbab, seakan-akan mencerminkan betapa dinamisnya konjungtur dunia sinema itu sendiri.

Dan kegairahan aransemen string section di konser Classics Chrisye, segarnya sosok eye chatching dari makhluk cantik bernama Inneke Koesherawati, tentu membawa kenangan dan arti sendiri bagi setiap penikmat film Indonesia era 90-an. Ah...Inneke.... ***