06 Oktober 2009

Obsesi


Penggunaan kata yang tidak tepat, yang dilakukan berulang kali dalam berbagai kesempatan, dampaknya akan sangat fatal. Dikatakan fatal karena kesalahan itu akan mengakibatkan timbulnya salah kaprah, kesalahan yang sudah dianggap lumrah, dan menjauhkan masyarakat dari makna sesungguhnya dari kata itu. Kesalahan yang dilakukan secara konsisten, berjamaah, dan tidak mengenal tempat dan waktu, menjadikan kebenaran justru dimaknai atau minimal dikesankan sebagai suatu kesalahan.

Salah satu kata yang paling sering kita temukan berada pada posisi yang salah adalah kata “akut” dan ”kronis”. Dua kata ini, secara maknawi sesungguhnya merupakan dua kata yang saling berlawanan. Kata ”akut”, yang merujuk pada kondisi kesehatan (atau kesakitan) seseorang, menunjukkan bahwa kondisi itu terjadi secara tiba-tiba, dalam selang waktu yang relatif singkat
(suddently).

Sebaliknya, kata ”kronis” menunjukkan bahwa kondisi itu terjadi dalam tempo yang lama, terjadi secara pelan-pelan, menahun, dan diketahui oleh dokter setelah kondisi seseorang berada dalam tataran yang berat.

Dalam berbagai tulisan dan pernyataan, seringkali kita jumpai bahwa sang penulis tidak bisa membedakan antara kata ”akut”
(accute) dan ”kronis” (chronic). Bahkan tidak jarang terjadi pencampuradukan antara dua kata tersebut, yang mengandung makna bahwa keduanya memiliki maksud yang sama. Akut sama dengan kronis. Ini jelas merupakan kesalahan fatal yang menyesatkan.

Dalam dunia kesehatan, tentu kesimpulan dari dua kondisi tersebut akan sangat berbeda, yang tentunya akan membedakan perlakuan kepada pasien. Misalnya: diagnosis
accute renal desease berarti penyakit atau kerusakan ginjal yang terjadi secara dadakan, tiba-tiba, baik karena keracunan atau karena sebab mekanis seperti benturan benda keras. Hal ini tentunya berbeda dengan kasus chronic renal desease yang berari bahwa kerusakan ginjal terjadi secara pelan-pelan dalam waktu yang lama. Dalam istilah masyarakat awal disebut dengan penyakit yang menahun.

Kata lain yang masih banyak dimaknai secara keliru adalah kata ”obsesi”. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Inggris
obsession, yang secara leksikal berarti (1). Godaan, gangguan pikiran, obsesi. (2). Kesurupan atau kerasukan setan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”obsesi” didefinisikan sebagai:
gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menghantui atau sangat sukar dihilangkan. Artinya, obsesi adalah sebuah sindrom yang diderita seseorang atas suatu cita-cita atau kehendak, yang harus diwujudkan dalam satu tekad yang paling kuat. Jika obsesi ini belum tercapai, biasanya seseorang akan selalu gelisah, resah, bahkan dalam tahap tertentu akan menjadi paranoid.

Dalam aplikasinya, kita bisa menyaksikan kata ”obsesi” dijadikan ikon reklame produk rokok kretek. Dalam beberapa versi iklan disebutkan bahwa obsesi seseorang untuk mencapai cita-cita (sutradara, orator, penyair, selebritis) harus dicapai dengan kerja keras – tanpa harus merokok tentunya – yang tidak instan. Secara ilmu periklanan, pesan itu telah tersampaikan.

Bahwa untuk mencapai cita-cita diperlukan kerja keras. Namun demikian, kesimpulan sesungguhnya adalah bahwa sang
copywriter nampaknya hanya mampu memaknai kata ”obsesi” hanya sebatas pengganti kata ”cita-cita, tekad kuat”.

Celakanya, ketika reklame itu bermetamorfosa dan untuk konsep yang sama disajikan pada media yang berbeda, maka terjadilah keserampangan yang secara telanjang tanpa disadari, bahkan oleh subjek yang sangat berkepentingan dengan reklame itu sendiri.

Kejadian ini dapat kita lihat pada media iklan luar ruang
(outdoor) untuk produk yang sama. Kata ”obsesi”, jika dipadukan dengan slogan polisi, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pelecehan dan kekurangajaran sang pembuat iklan. Konyolnya, subjek yang dilecehkan tersebut tidak merasa terusik sama sekali. Hal ini terbukti setelah lebih dari dua tahun reklame itu tetap saja terpasang, hingga saat ini.

Slogan polisi yang sering kita lihat di kantor-kantor polisi, ditulis dalam font yang menyolok, dipasang pada pos penjagaan terdepan adalah ”Siap Melayani Masyarakat”. Setelah digabung dengan konsep reklame rokok tersebut, komposisinya berubah menjadi ”Obsesi: Siap Melayani Mayarakat”, lengkap dengan identitas
branding rokok yang berbagi space dengan slogan gabungan tersebut.

Nampaknya, baik Pak Polisi maupun si pembuat iklan, tidak menyadari bahwa slogan gabungan itu bermakna sangat melecehkan profesi polisi. Secara harafiah maupun maknawi, jelas-jelas bahwa slogan itu berarti bahwa kewajiban polisi untuk melayani masyarakat hanyalah serupa gangguan kejiwaan polisi, sebatas cita-cita, yang entah kapan akan terwujud.

Bagi polisi, sesungguhnya, melayani dan melindungi masyarakat adalah amanat undang-undang tertinggi di negeri ini. Citra buruk yang masih melekat pada jajaran kepolisian, akibat ulah sebagian oknum polisi, tidak boleh dibenarkan dengan slogan gabungan dalam reklame yang menyesatkan dan kurang ajar semacam itu.

Kesiapan polisi dalam melayani masyarakat tidak boleh lagi hanya menjadi ”obsesi”, di mana kantor-kantor polisi tampak seperti rumah sakit bagi para penderita gangguan jiwa. Melayani masyarakat adalah kewajiban. Dan, kesiapan adalah sikap mental atau moralitas setiap anggota kepolisian. Bukan gangguan kejiwaan. ***