30 Juli 2008

Humanisme dan Kebersahajaan


Saya ingin bercerita tentang Toyota Kijang, karena ada ungkapan ekspresi yang perlu saya artikulasikan. Mobil itu, yang saat ini kondisinya sudah renta, tapi catatan tentang eksistensinya sungguh luar biasa, dan sangat pantas untuk saya tempatkan secara amat terhormat dalam tulisan ini.

Ide ini muncul ketika kami sekeluarga menghabiskan waktu liburan sekolah anak-anak di desa kelahiran saya, beberapa minggu yang lalu. Kami sekeluarga sengaja mengisi liburan ini dengan sesuatu yang eksploratif. Anak-anak saya wajibkan menulis apa yang telah mereka temui selama liburan di kampung. Sementara saya mencoba untuk menemukan kembali jejak-jejak masa remaja yang pernah saya lalui di desa ini. Pilihan saya ternyata tepat. Tanpa sengaja, saya menemukan “monumen sosial” yang masih tersisa di desa kami, yang dari sanalah perjalanan eksploratif itu lalu muncul. Monumen itu adalah sebuah mobil tua, Toyota Kijang komando warna biru tua.

Meski kami sekeluarga datang kembali ke desa ini dengan Kijang Innova, sengaja kami mencarter Kijang tua yang telah menjadi legenda itu untuk menemani kami berkeliling, menemukan jejak-jejak lama. Istriku, yang tentunya tidak pernah mengalami masa remaja di desaku tentunya terheran, meskipun akhirnya juga bersemangat setelah saya ceritakan latar-belakang pilihan saya itu.

****

Dua puluh delapan tahun kemudian, ternyata desa kami tidak lagi sesepi dulu. Namun demikian, hingga kini, Toyota Kijang hadiah undian itu tetap saja menjadi kisah, meski desa itu kini telah tenggelam dengan kesibukannya. Siapa pun yang kembali dari rantau, setelah sekian tahun meninggalkan desa ini, masih saja dengan mudah menemukan cerita tentang kemenangan yang dulu pernah menghebohkan seisi kampung. Cerita itu telah menjadi sejarah desa kami.

Teringat saya akan pepatah Cina; masa depan itu adalah masa lalu yang dimasukkan melalui pintu yang lain. Dan bahwa sejarah senantiasa berulang, itulah keniscayaan. Tapi, entah apa pun bentuknya, bahwa sejarah adalah serangkaian catatan gelap terang yang kandungan kebenarannya selalu dapat dibuktikan, atas nama obyektivitas.

Anak desa yang kembali dari rantau itu, saya, kembali tercengang setelah menemukan kenyataan bahwa monumen itu masih mewarnai kehidupan keseharian masyarakatnya, masih dalam posisi dan kapasitasnya seperti dulu ketika hari pertama kehebohan itu menemukan bentuknya.

Saya ingat persis, saat itu tahun 1980-an, suatu pagi tersiar kabar yang menghebohkan seisi kampung, bahwa Pak Yadi -- si tukang ojek itu -- telah meraih hadiah undian dari Rexona (merek dagang deodoran). Bagi kami, orang desa, kemenangan itu tentu menjadi ledakan kehebohan, episentrum kehebohan itu pasti mudah ditebak, karena nilai hadiahnya, bukan sekadar sebuah kaos atau sebentuk cincin yang sangat umum diperoleh ketika membeli sebotol shampo atau sebungkus rokok, tapi sebuah mobil Toyota Kijang minibus !

Antara percaya dan tidak, Pak Yadi, sang tukang ojek itu segera menjadi buah bibir di seantero kampung. Terlebih lagi setelah mobil itu benar-benar datang, tak lama setelah kehebohan itu meledak beberapa hari sebelumnya. Toyota Kijang komando, warna biru tua, karoseri bikinan PPL, dan tentu saja logo Rexona ditempel tegas di kedua pintunya. Saat itu juga, tukang ojek itu telah “naik kelas” dan tercatatlah dalam sejarah desa ini bahwa dialah orang ke dua yang memiliki mobil di kampung ini.

Keberadaan Kijang Rexona ini menjadi istimewa. Mobil pertama, milik Pak Babinsa, adalah mobil pribadi yang tidak mampu menyentuh sendi kehidupan warga sekitar, ia menjadi lambang supermasi atas pencapaian ekonomi keluarga itu. Oleh karenanya tak banyak manfaat yang didapat masyarakat atas kehadirannya. Setidaknya, mobil itu hanya sebuah menara gading bagi keluarganya, yang mengundang decak orang-orang desa, sebagai atraksi yang memaksa orang untuk mengagumi atas superioritas pemiliknya.

Lain halnya dengan mobil ke dua ini. Yang kehadirannya dinilai dan diposisikan sebagai benda tiban yang membawa berkah bagi masyarakat, ia tidak lagi milik si tukang ojek semata, tetapi telah menjadi "milik" masyarakat. Latar belakang kedua pemilik yang berbeda, membuat eksistensi keduanya pun berbeda pula. Oleh karena itu, mengapresiasi keduanya sungguh menjadi hal yang sangat menarik.

Pak Yadi, tukang ojek itu, menjadikan mobil itu sebagai komplemen bagi sepeda motornya. Dengan mobil itu ia dan keluarganya mencari nafkah. Sejak awal kehadirannya, Kijang biru tua itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik dalam suka maupun duka.

Hingga kini, setelah dua puluh delapan tahun mengabdi, kiranya sudah tak terhitung lagi: berapa ratus orang sakit yang telah diantarkan ke rumah sakit; berapa banyak perempuan hamil yang diantarkan ke klinik bersalin hingga pulang menjemput bayi yang telah dilahirkannya; berapa banyak orang tua yang telah diantarkan ke upacara wisuda anaknya ke kota; berapa puluh pasang pengantin yang telah dimeriahkan pestanya; berapa banyak turnamen sepak bola yang telah dia angkut supporter-nya. Mungkin hanya menjemput mayat dari rumah sakit saja yang (barangkali) belum pernah dilakoninya, meski sang mayat itulah yang beberapa hari sebelumnya diangkutnya dalam bentuk orang sakit dan gagal disembuhkan.

Catatan akan eksistensi panjang ini tentu sangat menarik. Pengabdiannya nyaris tak mengenal waktu. Bukan hanya karena waktu dua puluh delapan tahun itu yang membuktikan, tetapi bahwa eksistensinya telah mampu membuktikan kebenaran (sekaligus kesalahan) serangkaian teori sosiokultural yang banyak diyakini di meja-meja akademis.

Bahwa kehadirannya diperlukan setiap saat adalah kenyataan. Catatan Pak Yadi mengingatkan, bahwa ternyata mayoritas bayi di desa ini, yang meronta ingin dilahirkan sebagian besar terjadi di malam hari. Demikian juga orang sakit yang perlu dibawa ke rumah sakit, juga banyak terjadi di saat-saat orang sedang terlelap. Komplementasi antara kebersahajaan sosok manusia dan keandalan teknologi yang dicapai manusia dalam bentuk kendaraan, telah mampu mencipta sebuah piwulang yang sangat dalam.

****

Bahwa dua puluh delapan tahun kemudian desa kami tidak lagi sesepi dulu adalah juga keniscayaan. Namun demikian, bahwa modernisme dan kebangkitan ekonomi telah mengubah tatanan masyarakat tidak sepenuhnya menemukan jawaban yang segaris. Toyota Kijang tua, milik Pak Yadi sang mantan tukang ojek, dan Kijang Innova V-series milik saya, atau mobil pertama milik Pak Babinsa, bagaimana pun telah membuktikan bahwa perjalanan sejarah tak serta-merta menghapus tata nilai. Aksioma yang mengatakan bahwa modernisme telah memenuhi kebutuhan masyarakat ternyata tidak menemukan kebenarannya. Yang ada justru adalah keabadian dualisme, yang oleh Boeke telah difatwakan akan terus terjadi, sedinamis apapun kompleksitas tata nilai dan peradaban masyarakat.

Contoh konkret yang paling mudah dilihat, di alam reformasi dan di tengah derasnya tuntutan akan kualitas kehidupan dan model kepemimpinan masyarakat yang teknokratis, ternyata masih ada inspirasi, ada getaran, imajinasi, gairah, dan bahkan sedikit kegilaan. Sebab dengan kontradiksi, juga dengan kedewasaan dialog, di antara kedua dunia itulah maka obyektivitas sejarah akan berkembang.

Analogi lain, ketika jagad seni pertunjukan kita dikejutkan dengan Dongeng dari Dirah, koreografi ala Sardono W. Kusumo, sebuah komposisi gerak nan ganjil, semua orang terkejut. Bukankah selama ini Sardono dikenal sebagai ”anak manis” yang sangat setia dengan tatanan-tatanan klasik sebagaimana ditekuninya berpuluh tahun di arena sendratari Ramayana Prambanan? Kebingungan itu perlahan-lahan berubah menjadi penerimaan. Satu kemungkinan ekspresi baru telah terbuka, satu era baru tercipta, dan tentunya manusia merasa menjadi lebih bebas, lebih leluasa.

Kijang biru tua, hadiah dari Rexona, dan profil lugu dari seorang tukang ojek, adalah potret yang teramat jernih, bahwa tata nilai dan kebersahajaan senantiasa awet, di tengah hiruk-pikuk dinamika kehidupan yang tiada berujung pangkal. ”Biarkan orang memilih, mau Kijang Innova atau Kijang komando tua ini” kata Pak Yadi. Kalimatnya pendek, dan sesungguhnya maknanya sangat dalam. Ini mengingatkan saya pada Daniel Bell, dalam bukunya The Cultural Contradiction of Capitalism tentang sebuah gejala sosial yang dicatatnya di Amerika tiga puluhan tahun yang lalu, yang ternyata tidak sepenuhnya terbukti, minimal di desa kami yang bersahaja ini.

Setidaknya, Kijang biru tua itu telah memberikan pelajaran bagi kita. Tidak terhitung lagi sekarang berapa banyak populasi mobil di desa ini. Masing-masing telah memposisikan dalam kapasitasnya. Juga Kijang tua itu, yang sampai detik ini masih menggelinding, entah sampai kapan pengabdiannya akan berakhir. Yang jelas, perpaduan antara kebersahajaan, tetesan keringat, dan sejuknya keikhlasan telah menempatkan mobil renta itu dalam kubah sejarah yang teramat berharga bagi desa kami. Betapa indahnya. ***


Note: Ucapan terima kasih kepada Pak Yadi (Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah) atas kesediannya menemani eksplorasi perjalanan budaya yang sangat apresiatif tempo hari.