20 Oktober 2009

Orang Jawa Sakit

Dalam konteks Bahasa Jawa, kata lara (yang artinya sakit) memiliki banyak makna, sekaligus multi dimensi. Selain bisa dimaknai sebagai ”nyeri”, kata ini juga bisa dikombinasikan dengan awalan, sisipan, dan imbuhan yang memunculkan makna baru.

Kata lara, kalau ditambah awalan ke dan dijadikan dwi-lingga (repetisi), maka akan berubah menjadi kelara-lara. Kata baru ini memiliki makna yang sangat dalam. Terjemahan dalam bahasa indonesia yang precise juga agak sulit ditemukan.

Kelara-lara lebih mengarah pada nyeri batin, akibat suatu peristiwa yang menyebabkan perih di hati. Bahasa Indonesia yang mendekati adalah ”sakit hati”, meski rasanya tidak persis. ”Sakit hati”, dalam bahasa Jawa lebih tepat disebut dengan serik (vokal ”e” dibaca seperti dalam kata ”tepat”).

Kata kelara-lara berarti ekspresi sakit hati yang dibarengi dengan perasaan kalah atas suatu peristiwa atau persaingan. Bisa juga sakit hati kepada seseorang namun tidak bisa membalas dengan hal yang sama. Misalnya, seseorang merasa kelara-lara ketika perbuatan baik yang diberikan justru bibalas dengan kejahatan. Cinta tulus yang ditolak biasanya akan menghasilkan perasaan kelara-lara ini.

Jika intensitas kelara-lara-nya semakin tinggi, maka orang Jawa tidak cukup dengan kata itu. Ada kata lain yang lebih ekspresif, yaitu keranta-ranta. Dalam konteks yang lain, kata keranta-ranta sering disandingkan dengan kata keraya-raya, yang sesungguhnya maknanya agak berbeda.

Kata keraya-raya lebih pada menunjukkan usaha (yang sangat keras) seseorang untuk mencapai sesuatu cita-cita. Meski sesungguhnya orang itu pantas mendapatkannya, jika tohkeraya-raya, merasa usahanya sia-sia.

Ungkapan lain yang bersumber dari kata lara, yang juga umum digunakan di Jawa adalah lara-laranen. Kata ini menunjukkan suatu kondisi sakit seseorang yang tidak kunjung sembuh.

Bisa juga kata ini menjadi sebutan seseorang yang terkena suatu penyakit, yang tidak apa jelas jenis penyakitnya, segala upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan, tetapi masih juga belum sembuh, maka orang ini terus menerus dalam kondisi lara-laranen.

Dimensi lain yang bisa dicermati untuk konteks sakit dan nyeri dalam bahasa Jawa adalah bagian tubuh mana yang tidak normal kondisinya. Misalnya, pada bagian pernafasan, ada beberapa kosa kata yang dapat menunjukkan kondisinya, tanpa perlu diagnosis ilmiah dengan ilmu kedokteran modern.

Bagi orang yang menderita sakit nafas, maka sering ia merasa berat ketika bernafas. Dalam hal ini, orang Jawa memiliki beberapa kata yang langsung bisa menunjukkan keadaan sakitnya.

Misalnya, kata mengkis-mengkis sangat tepat ditujukan untuk kondisi pernafasan penderita asma, hembusan nafas terasa berat dan ada suara khas yang ditimbulkan dari hembusan nafasnya.

Dalam intensitas yang lebih berat, misalnya kondisi nafas seseorang yang mendekati ajal, biasanya disebut dengan menggos-menggos. Istilah ini juga bisa diterapkan untuk sebutan nafas ternak yang mendekati ajal ketika disembelih.

Orang sehat pun, ketika tenaganya diforsir secara tiba-tiba, maka nafasnya akan terengah-engah. Misalnya mendadak diminta lari sprint, maka orang Jawa menyebut dengan istilah yang sangat precise, menggeh-menggeh (vokal ”e” kedua dibaca seperti pada kata ”teh”).

Ketika nafasnya tinggal satu dua dan sudah sangat dekat dengan ajal, maka orang Jawa menyebutnya dengan istilah sentig-sentig. Ini menunjukkan bahwa nyawa seseorang sudah di ujung tenggorokan, tinggal menunggu ajal tiba.

Terminologi sakit di bagian mata, orang Jawa juga memiliki sejumlah kata yang mewakili kondisi kesehatan mata. Ketika seseorang terlalu lama menangis, maka matanya akan terlihat sembab. Di Jawa diistilahkan dengan kata bithu-bithu.

Ketika kelopak mata tersengat serangga hingga tampak membengkak, maka disebut dengan pendul. Di mana dalam Bahasa Indonesia saya juga tidak menemukan kata yang tepat untuk menandai kondisi ini. Kondisi paling parah adalah ketika mata terbentur sesuatu hingga menimbulkan memar, maka ini disebut dengan biru erem, sembab sampai memar kebiruan.

Selain bagian mata, bagian kulit juga memiliki sebutan yang bermacam-macam untuk menunjukkan tingkat kesakitan. Mulai yang paling ringan seperti bintul, sampai dengan yang paling berat seperti mlowek (”e” dibaca seperti dalam kata ”tokek”).

Kata bintul menunjukkan benjolan kecil di kulit akibat digigit nyamuk atau terkena racun ulat bulu. Jika benjolan kulit ini terjadi seperti jerawat, maka disebut dengan mlenthing. Jika ukuran mlenthing-nya lebih besar maka disebut dengan mlenthung.

Di atas mlenthung, jika luka atau penampakan kulit bengkak yang besar dan luas, misalnya akibat gigitan ular maka disebut dengan mlembung. Sementara itu, bila kulit tersayat hingga menimbulkan luka terbuka dan berdarah, maka orang Jawa menyebutnya dengan sebutan mlowek. Sedangkan jika terjadi mlowek dan dibarengi dengan kondisi pendarahan, maka disebut dengan gobrah-gobrah atau gobrah getih.

Selain sakit secara harafiah sebagaimana diulas di atas, ada juga jenis sakit yang lebih bermakna kiasan. Misalnya, kata lara branta berarti kondisi seseorang yang sedang jatuh cinta berat, kasmaran, tetapi masih bertepuk sebelah tangan. Istilah lain dari lara branta adalah wuyunggandrung. *** (bersambung)