23 Oktober 2009

Nila Juwita

Pelajaran apa yang dapat Anda petik dari seorang Nila Juwita Anfasa Moeloek beberapa hari ini? Bahwa beliau adalah kandidat Menteri Kesehatan yang gagal dipilih SBY, semua orang sudah tahu. Bahwa beliau sontak menjadi sosok yang mengundang komentar di media, semua juga sudah melihatnya. Namun, bahwa beliau adalah sosok innocent yang membuat hati kita sungguh trenyuh, nampaknya tidak banyak yang menyadarinya.

Memilih menteri adalah hak prerogatif Presiden. Saya tidak akan mempermasalahkan apakah jalan yang ditempuh Pak SBY itu benar atau salah, elegan atau tidak, yang jelas ada dimensi lain yang bisa dicermati. Yang -- setidaknya -- lebih membawa manfaat, daripada memperdebatkan batalnya Prof. Nila Juwita sebagai Menteri Kesehatan, sebagaimana yang heboh dan menjadi santapan hangat media massa beberapa hari ini.

Di layar kaca, sudah banyak komentar atas peristiwa itu. “Tidak elegan” kata seorang tokoh. ”Mempermalukan orang di hadapan publik, sungguh tidak elok” kata seorang tokoh Ormas Islam. “Ini sungguh bermuatan politik yang kental” sergap seorang politisi dari Senayan. “Nampak mengakomodasikan kepentingan asing” ucap seorang pengamat.

Di luar semua itu, kita melihat ada sesuatu yang sangat menyentuh. Dalam tataran yang lebih dalam, justru membuat kita malu sebagai bangsa. Coba cermati bagaimana jawaban Ibu Nila Juwita ketika para wartawan mencecarnya.

Frame yang dibawa para jurnalis untuk “menjebak”-nya agar bisa menjadi “layak siar” nampaknya gagal. Minimal dari aspek pemasaran yang kerap kali dilakukan media massa.

Para jurnalis (televisi) tentunya berharap, frame politik yang dibawa akan membuatnya terpancing, dan statements ibu ini akan membola-salju. Harapan ini ternyata meleset, sang narasumber dengan sangat innocent mengatakan bahwa kegagalannya sebagai Menteri Kesehatan bukanlah masalah yang perlu dibesar-besarkan.

“Saya tidak pernah meminta diundang ke Cikeas” katanya singkat.

“Tapi ibu khan sudah dipermalukan dengan peristiwa ini” sergah sang wartawan.

“Sekali lagi, saya tidak pernah meminta jabatan Menkes, saya datang karena diundang Bapak SBY, kalau akhirnya beliau batal memilih saya, itu sepenuhnya hak Pak SBY, saya bersikap nothing to loose…” katanya dengan enteng.

“Apakah ibu tidak mencium gelagat politik di balik pembatalan itu? pancing wartawan setengah memaksa.

“Yang saya tahu, konon saya gagal karena tidak lulus tes kesehatan, saya dinilai tidak tahan menghadapi tekanan atau stres, hanya itu yang saya ketahui” ucapnya – sekali lagi – dengan enteng.

“Tentang isu politik di balik itu, saya tidak cukup kompeten untuk memberikan komentar” katanya merendah.

Coba kita cermati kalimat-demi kalimat. ”Saya tidak meminta”, kalimat pendek yang terdiri tiga kata ini secara dalam (deeply) menonjok kelakuan para politisi kebanyakan.

Lihatlah bagaimana kelakuan para politisi. Baik yang partainya berkoalisi dengan SBY, maupun yang berseberangan dan malu-malu mengklaim diri sebagai kekuatan oposisi. Jangankan “tidak meminta”, meminta pun mereka dengan memaksa, bahkan mengancam, baik jumlah jatah maupun siapa orang yang akan menjabat. Diwenehi ati malah ngrogoh rempela, kata orang Jawa dengan precise-nya.

“Saya datang ke Cikeas karena diundang”. Bagaimana dengan politisi partisan? Jauh hari sebelum memutuskan berkoalisi, mereka sudah meributkan kompensasi apa yang akan diterima. Bahwa konstituen, yang sesungguhnya adalah rakyat pemilik sah negeri ini, telah dijadikan komoditas atas nama sebuah bargaining position untuk semata-mata ”berdagang sapi”.

Yang lebih menyesakkan dada, kalau kita ingat bagaimana seorang petinggi partai, dengan semangat menyerang yang menyala-nyala, membabat habis-habisan ketika Pak SBY memutuskan untuk menggandeng Cawapresnya bukan dari kalangan partai.

Keteladanan tingkat tinggi kembali ditunjukkan oleh Prof. Nila Juwita, ketika beliau dengan innocent juga menghadiri upacara Sertijab Menkes di Departemen Kesehatan. Tak ada sebersitpun aura dendam atau penyesalan yang ditunjukkan.

Dalam konteks ini, nampak sungguh jauh berbeda dengan sikap seorang pemimpin partai, yang sama sekali tidak mau (tidak mampu) menunjukkan itikad dan sikap kenegarawanannya. Sehingga ketika sekadar berjabat tangan dengan rivalnya pun, sontak menjadi komoditas yang sangat ”menjual” di mata media massa.

Terima kasih Prof. Nila Juwita, panjenengan telah memberikan pelajaran dan sekaligus pembelajaran kepada negeri ini tentang bagaimana cara bersikap. Sesungguhnya Anda tidaklah kalah, justru kemenangan besar telah Anda raih dan tunjukkan, dengan sikap santun, innocent, dan (tentunya) tidak muluk-muluk. ***

20 Oktober 2009

Orang Jawa Sakit

Dalam konteks Bahasa Jawa, kata lara (yang artinya sakit) memiliki banyak makna, sekaligus multi dimensi. Selain bisa dimaknai sebagai ”nyeri”, kata ini juga bisa dikombinasikan dengan awalan, sisipan, dan imbuhan yang memunculkan makna baru.

Kata lara, kalau ditambah awalan ke dan dijadikan dwi-lingga (repetisi), maka akan berubah menjadi kelara-lara. Kata baru ini memiliki makna yang sangat dalam. Terjemahan dalam bahasa indonesia yang precise juga agak sulit ditemukan.

Kelara-lara lebih mengarah pada nyeri batin, akibat suatu peristiwa yang menyebabkan perih di hati. Bahasa Indonesia yang mendekati adalah ”sakit hati”, meski rasanya tidak persis. ”Sakit hati”, dalam bahasa Jawa lebih tepat disebut dengan serik (vokal ”e” dibaca seperti dalam kata ”tepat”).

Kata kelara-lara berarti ekspresi sakit hati yang dibarengi dengan perasaan kalah atas suatu peristiwa atau persaingan. Bisa juga sakit hati kepada seseorang namun tidak bisa membalas dengan hal yang sama. Misalnya, seseorang merasa kelara-lara ketika perbuatan baik yang diberikan justru bibalas dengan kejahatan. Cinta tulus yang ditolak biasanya akan menghasilkan perasaan kelara-lara ini.

Jika intensitas kelara-lara-nya semakin tinggi, maka orang Jawa tidak cukup dengan kata itu. Ada kata lain yang lebih ekspresif, yaitu keranta-ranta. Dalam konteks yang lain, kata keranta-ranta sering disandingkan dengan kata keraya-raya, yang sesungguhnya maknanya agak berbeda.

Kata keraya-raya lebih pada menunjukkan usaha (yang sangat keras) seseorang untuk mencapai sesuatu cita-cita. Meski sesungguhnya orang itu pantas mendapatkannya, jika tohkeraya-raya, merasa usahanya sia-sia.

Ungkapan lain yang bersumber dari kata lara, yang juga umum digunakan di Jawa adalah lara-laranen. Kata ini menunjukkan suatu kondisi sakit seseorang yang tidak kunjung sembuh.

Bisa juga kata ini menjadi sebutan seseorang yang terkena suatu penyakit, yang tidak apa jelas jenis penyakitnya, segala upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan, tetapi masih juga belum sembuh, maka orang ini terus menerus dalam kondisi lara-laranen.

Dimensi lain yang bisa dicermati untuk konteks sakit dan nyeri dalam bahasa Jawa adalah bagian tubuh mana yang tidak normal kondisinya. Misalnya, pada bagian pernafasan, ada beberapa kosa kata yang dapat menunjukkan kondisinya, tanpa perlu diagnosis ilmiah dengan ilmu kedokteran modern.

Bagi orang yang menderita sakit nafas, maka sering ia merasa berat ketika bernafas. Dalam hal ini, orang Jawa memiliki beberapa kata yang langsung bisa menunjukkan keadaan sakitnya.

Misalnya, kata mengkis-mengkis sangat tepat ditujukan untuk kondisi pernafasan penderita asma, hembusan nafas terasa berat dan ada suara khas yang ditimbulkan dari hembusan nafasnya.

Dalam intensitas yang lebih berat, misalnya kondisi nafas seseorang yang mendekati ajal, biasanya disebut dengan menggos-menggos. Istilah ini juga bisa diterapkan untuk sebutan nafas ternak yang mendekati ajal ketika disembelih.

Orang sehat pun, ketika tenaganya diforsir secara tiba-tiba, maka nafasnya akan terengah-engah. Misalnya mendadak diminta lari sprint, maka orang Jawa menyebut dengan istilah yang sangat precise, menggeh-menggeh (vokal ”e” kedua dibaca seperti pada kata ”teh”).

Ketika nafasnya tinggal satu dua dan sudah sangat dekat dengan ajal, maka orang Jawa menyebutnya dengan istilah sentig-sentig. Ini menunjukkan bahwa nyawa seseorang sudah di ujung tenggorokan, tinggal menunggu ajal tiba.

Terminologi sakit di bagian mata, orang Jawa juga memiliki sejumlah kata yang mewakili kondisi kesehatan mata. Ketika seseorang terlalu lama menangis, maka matanya akan terlihat sembab. Di Jawa diistilahkan dengan kata bithu-bithu.

Ketika kelopak mata tersengat serangga hingga tampak membengkak, maka disebut dengan pendul. Di mana dalam Bahasa Indonesia saya juga tidak menemukan kata yang tepat untuk menandai kondisi ini. Kondisi paling parah adalah ketika mata terbentur sesuatu hingga menimbulkan memar, maka ini disebut dengan biru erem, sembab sampai memar kebiruan.

Selain bagian mata, bagian kulit juga memiliki sebutan yang bermacam-macam untuk menunjukkan tingkat kesakitan. Mulai yang paling ringan seperti bintul, sampai dengan yang paling berat seperti mlowek (”e” dibaca seperti dalam kata ”tokek”).

Kata bintul menunjukkan benjolan kecil di kulit akibat digigit nyamuk atau terkena racun ulat bulu. Jika benjolan kulit ini terjadi seperti jerawat, maka disebut dengan mlenthing. Jika ukuran mlenthing-nya lebih besar maka disebut dengan mlenthung.

Di atas mlenthung, jika luka atau penampakan kulit bengkak yang besar dan luas, misalnya akibat gigitan ular maka disebut dengan mlembung. Sementara itu, bila kulit tersayat hingga menimbulkan luka terbuka dan berdarah, maka orang Jawa menyebutnya dengan sebutan mlowek. Sedangkan jika terjadi mlowek dan dibarengi dengan kondisi pendarahan, maka disebut dengan gobrah-gobrah atau gobrah getih.

Selain sakit secara harafiah sebagaimana diulas di atas, ada juga jenis sakit yang lebih bermakna kiasan. Misalnya, kata lara branta berarti kondisi seseorang yang sedang jatuh cinta berat, kasmaran, tetapi masih bertepuk sebelah tangan. Istilah lain dari lara branta adalah wuyunggandrung. *** (bersambung)

15 Oktober 2009

"Sakit" dan "Nyeri"


Selain dikenal dengan struktur hirarkis yang seringkali membingungkan, dalam perkembangannya bahasa Jawa juga memiliki sejumlah kosa kata yang sangat sulit dicari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia.


Dalam banyak kasus, orang Jawa merasa sangat kesulitan menjelaskan arti suatu kata yang precise atas suatu kosa kata yang sangat umum digunakan di tanah Jawa.


Dari pengamatan saya, ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya masalah ini. Pertama, untuk mengungkapkan suatu keadaan, orang Jawa memiliki sejumlah kata yang menunjukkan hirarki atau intensitas suatu keadaan.


Kedua, untuk kata yang sama, ketika itu ditujukan kepada orang yang berbeda (lebih tua, lebih terhormat) maka digunakan kata lain yang lebih sopan, lebih menghormati. Hirarki semacam ini menghasilkan gradasi: ngoko, ngoko alus, krama madya, dan krama inggil.


Tulisan ini akan difokuskan pada konteks pertama, di mana gradasi itu terjadi bukan karena subjek yang dituju, tetapi oleh intensitas yang menggambarkan keadaan objeknya.


Misalnya, dalam bahasa Indonesia dikenal kata “sakit”. Untuk menunjukkan bahwa sakitnya relatif berat, maka cukup ditambah kata “sangat” di depan kata “sakit”, sehingga menjadi “sangat sakit”, atau bisa juga dengan kata “sakit sekali”.


Dalam konteks bahasa Indonesia yang umum, kata “sakit” menunjuk pada dua hal. Pertama, kondisi tubuh yang terasa tidak fit, yang disebabkan karena infeksi atau benturan fisik dengan benda-benda keras. Kedua, kata “sakit” diartikan sebagai rasa “nyeri” akibat luka atau memar. Dalam bahasa Jawa, dua hal tersebut juga berlaku.


Dengan demikian, sebenarnya ada dua kata yang sering digunakan secara rancu antara “sakit” dengan “nyeri”. Dalam bahasa Inggris, dua kata itu hampir tidak pernah dicampur-aduk dalam penerapannya. Kata sick atau ill tidak pernah digunakan untuk mengungkapkan istilah “nyeri”, jika yang dimaksud adalah “nyeri” maka orang akan menggunakan kata pain, yang dirasakan lebih precise.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Depdiknas, kata “sakit” diartikan sebagai: berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan sebagainya). Jelaslah di sini bahwa Bahasa Indonesia tidak membedakan antara sick dengan pain.


Di Jawa, tingkat kenyerian masih dibagi lagi dalam suatu gradasi menjadi beberapa tingkatan. Terjemahan kata “sakit” dalam bahasa Jawa adalah lara, sedangkan ”sakit sekali” diterjemahkan menjadi lara banget. Sampai di sini, nampaknya tidak ada sesuatu yang aneh, apalagi sulit.


Namun demikian, kata lara banget juga dapat diartikan sebagai “sakit yang sudah sulit untuk disembuhkan lagi”. Artinya, jika seseorang sudah sakit sedemikian parah, yang nampaknya sudah tinggal menunggu kematian, maka orang Jawa menyebutnya dengan istilah lara banget.


Bahasa Jawa tidak memiliki kata tunggal yang sebagai terjemahan kata ”nyeri”. Yang ada adalah penyebutan gradatif atas nyeri itu, tergantung dari seberapa nyeri intensitas yang dirasakan seseorang.


Gradasi yang saya maksudkan adalah bahwa tingkat kenyerian (agak nyeri, cukup nyeri, nyeri sekali) juga seringkali diungkapkan dengan kata lain yang jauh dari terjemahan leksikalnya. Lihatlah misalnya urutan sebagai berikut: sengkring-sengkring, senut-senut, cekot-cekot.


Ketiga kata tersebut menunjukkan intensitas kenyerian seseorang. Kata sengkring-sengkring merupakan suatu keadaan atau perasaan nyeri saat bagian tubuh diraba karena tertusuk benda kecil, sehingga benda kecil itu tertinggal di bawah kulit. Misalnya rasa rabaan ketika sengat lebah tertinggal di bawah kulit atau potongan serat kayu yang menancap di telapak tangan.


Untuk kondisi terakhir tersebut, oang Jawa juga memiliki istilah tersendiri, yaitu tlusuben, ketika (secara tidak sengaja) potongan serat kayu menancap di telapak tangan. Meski bendanya sangat kecil, tetapi intensitasnya dalam menggelitik syaraf sangatlah besar, sehingga ketika tersenggol sedikit saja akan terasa nyeri, sengkring-sengkring.


Kata sengkring-sengkring juga bermakna bahwa tingkat kenyeriannya ringan-ringan saja. Tidak terlalu nyeri dan relatif mudah disembuhkan. Misalnya, jika seseorang merasa sengkring-sengkring karena tlusuben, maka jika potongan serat kayu itu sudah dicongkel dengan jarum dan berhasil dikeluarkan, maka saat itu juga rasa sengkring-sengkring-nya akan hilang.


Dalam intensitas nyeri yang lebih tinggi, dikenal istilah senut-senut (di beberapa daerah menyebutnya dengan cenut-cenut). Kata ini hanya tepat diterapkan untuk menunjukkan rasa nyeri yang fluktuatif, dalam interval waktu yang relatif pendek.


Sedetik terasa nyeri sekali, detik berikutnya agak sedikit reda, detik berikutnya nyeri lagi, yang terjadi secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Inilah yang dimaksud dengan senut-senut. Rasa senut-senut ini biasanya terjadi pada luka memar, atau rasa nyeri yang terjadi menjelang pecahnya bisul atau luka abses.


Di atas senut-senut, yang dirasakan lebih nyeri lagi adalah cekot-cekot. Sama halnya dengan senut-senut, rasa nyeri cekot-cekot juga fluktuatif dalam interval waktu yang pendek, tetapi dalam intensitas nyerinya yang jauh lebih hebat.


Kata cekot-cekot biasanya digunakan untuk menunjukkan rasa nyeri pada sakit gigi, sakit kepala yang amat sangat (migrain), atau nyeri pasca operasi saat obat anestesia sudah kehilangan daya biusnya. Biasanya, rasa cekot-cekot ini hanya ditujukan untuk nyeri yang terjadi di bagian kepala. Agak tidak umum jika ada orang yang merasa cekot-cekot di perutnya, kecuali pasca operasi.


Selain tiga kata yang menunjukkan gradasi tingkat kenyerian tersebut, di Jawa juga masih ada beberapa kata yang digunakan untuk menyebut rasa sakit yang berbeda-beda. Misalnya, rasa panas terbakar lebih tepat dingkapkan dengan kata kemramyas. *** (bersambung)

13 Oktober 2009

Inneke



Di arena konser Classics Chrisye semalam, saya dikejutkan oleh colekan teman di pundak saya. Tak lain karena dia melihat sosok yang eye chatching berbalut jilbab warna gelap, duduk manis tepat dua baris di depan saya.

Semula saya anggap biasa-biasa saja, setelah teman-teman lain ikut-ikutan ribut, ternyata memang sosok itu sungguh fonomenal dan monumental di dunia sinematografi Tanah Air. Dialah Inneke Koesherawati, artis (orang generasi dahulu menyebut dengan predikat “bintang filem”) cantik yang dulu menghebohkan karena telah “menodai” ranjang-ranjang di hampir seluruh bioskop di Indonesia.

Kejadian ini mengingatkan saya, era 1990-an di Gombong, kota kecil di pantai selatan Jawa Tengah. Ketika itu, Gombong memiliki dua gedung bioskop kebanggaan warganya, Lestari dan Rahayu Theatre. Poster film ukuran 24 sheets menunjukkan visualisasi yang sanggup menaikkan degup jantung setiap lelaki normal.

Saat itu, memang dunia sinematografi Indonesia sedang booming dengan film-film bernuansa ”dewasa”, yang di posternya ditulisi 17th ke atas, meski siapa saja boleh menonton sepanjang membeli karcis (dulu istilah ”karcis” -- yang diserap dari bahasa Belanda kaartjes -- lebih popular dibandingkan ”tiket”, yang diserap dari bahasa Inggris ticket).

Era di mana belum lahir laskar-laskar yang sering melakukan sweeping dan berdemo atas nama menentang kemaksiatan. Temanku bilang itu adalah era indah pada saat Inneke masih ”padat-padatnya”, hehehe. Saya kira jika booming itu terjadi di saat ini, maka akan sulit menemukan tempatnya. Setidaknya di kota kecil yang bernama Gombong.

Setelah beberapa tahun mengalami stagnasi, saat itu dunia sinematografi memang nampak memasuki genre baru. Di mana film-film drama yang sudah kehilangan ruh dan mengalami kemiskinan kreativitas, tiba-tiba digairahkan lagi dengan hadirnya film-film ”model baru” yang mengangkat tema-tema berkategori dewasa.

Pancingan akan lahirnya genre baru film Indonesia saat itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Warkop. Hanya saja, kehadiran wanita-wanita cantik dengan pose menantang di film-film Warkop belum menjadi fokus, hanya sekadar bumbu penyedap dari akting para pemeran utama.

Entah bagaimana mulanya, kesadaran akan daya tarik yang diam-diam bergeser dari pemeran utama (Warkop) ke bumbu penyedap (lingerie), nampaknya dimanfaatkan betul oleh para sutradara. Yang semula malu-malu lalu menjadi lebih tegas mengangkat fokus.

Judul filmpun juga semakin berani. Nampaknya, pameo yang mengatakan: yang penting bungkusnya, perkara konten belakangan, disadari betul oleh para pelaku industri sinema. Judul-judul film yang terkesan seronok (bahkan kadang terkesan jorok), kadang-kadang tidak sesuai dengan kualitas konten yang dijanjikan tersirat di judul itu.

Maka muncullah ratusan judul film seperti: Gairah Malam, Kenikmatan Tabu, Setetes Noda Manis, Pergaulan Metropolis, dan tentu saja Ranjang Yang Ternoda. Beberapa film di antaranya dibuat dalam sekuens antara satu sampai tiga episode.

Di jajaran film impor (terutama film sejenis produksi Hongkong), kondisinya lebih “parah” lagi. Film yang dalam versi aslinya berbahasa dan berjudul dalam bahasa Mandarin, kemudian diadaptasi judulnya sesuai dengan selera para importir.

Judul film mandarin dalam bahasa aslinya seringkali sangat jauh berbeda dengan judul dalam versi bahasa Inggris, yang jelas-jelas sudah mengadaptasi keinginnan pasar, sekaligus menjadi daya pikat bagi calon penonton. Konon, para eksportir film Mandarin memang memberikan keleluasaan kepada importir untuk nyablon sendiri judul film sesuai dengan kehendak pasarnya.

Salah satu predikat yang dilekatkan masyarakat penikmat film kepada artis yang kini sudah jarang kita dengar lagi adalah “bom seks”. Predikat ini dilekatkan kepada artis yang dinilai memenuhi “kriteria tertentu” di mata para penonton. Entah siapa yang mewisudanya, komunitas seakan setuju-setuju saja, tanpa komplain, jika seorang artis dinobatkan sebagai bom seks oleh para jurnalis film.

Kondisi ini nampaknya tidak hanya dialami Indoensia, di belahan bumi yang lain, Hongkong misalnya, juga mengalami fenomena yang sama. Setelah bosan dengan drama dan silat, sineas-sineas Hongkong mulai bergeser ke tema seks untuk mempertahankan eksistensi industri film di negeri itu.

Arus baru telah lahir di Hongkong. Usai era Carol Cheng, Lydia Sum, Alan Tam, atau era yang lebih tua lagi seperti David Chiang, Bruce Lee, maka lahirlah generasi baru dengan pembawaan yang lebih ”berani” dibandingkan pendahulunya. Lahirlah nama-nama besar Gong Li dan Aaron Kwok, yang style-nya jauh berbeda dengan para pendahulunya.

Di Indonesia, era itu telah melahirkan jajaran nama yang sangat legendaris, terutama di kalangan mahasiswa (bukan mahasiswi, pastinya) dan pria dewasa pada umumnya. Nama-nama yang akrab di mata mereka (karena pose ”gelinjang”-nya paling sering menghiasi poster bioskop) seperti Windy Chyndiana (di beberapa filmnya ditulis dengan spelling Windy Cindhiana), Sally Marcelina (Selly Marcelina), Gitty Srinita, Taffana Dewi, Febby F Lawrence, Lela Anggraeni, Malfin Shayna, dan tentu saja Inneke Koesherawati. Di jajaran pemeran lelaki, setidaknya muncul dua nama besar yaitu Reynaldi dan Ibra Azhari (belakangan dibui karena kasus narkoba).

Dinamika industri sinema di negeri ini memang terlalu kaya untuk ditulis. Banyak sisi yang bisa dibidik, dan tentu banyak dimensi yang bisa dicermati. Perjalanan Inneke Koesherawati, dari sosok yang sangat lekat dengan predikat bom seks sampai menjadi figur yang identik dengan modisnya jilbab, seakan-akan mencerminkan betapa dinamisnya konjungtur dunia sinema itu sendiri.

Dan kegairahan aransemen string section di konser Classics Chrisye, segarnya sosok eye chatching dari makhluk cantik bernama Inneke Koesherawati, tentu membawa kenangan dan arti sendiri bagi setiap penikmat film Indonesia era 90-an. Ah...Inneke.... ***

07 Oktober 2009

Petromax

Kenangan apa yang kau peroleh dari sekadar lampu petromaks? Bahwa benda itu kini tidak banyak dikenal generasi anakku. Bahwa benda itu pun pernah berjasa menerangi dunia ini, juga tidak mampu diraba eksistensinya oleh generasi anakku.

Petromaks, lampu ajaib ciptaan Max Graetz yang dipatenkan pada tahun 1910 (seumur dengan usia Pabrik Semen Padang). Lampu ini merupakan upaya mengoptimalkan hasil pembakaran minyak tanah menjadi sumber cahaya.

Dengan tambahan tekanan
(pressure) udara dan temperatur tinggi, maka terjadi sublimasi oktan minyak tanah pada nozzel. Semburan uap minyak panas ini kemudian didistribusikan melalui VA-burner yang berakhir sebagai pijaran bara api pada serat nilon atau asbes, yang memendarkan warna putih keperakan dengan intensitas ansi lument-nya lebih dari bola lampu konvensional 100 watt.

Saya tidak akan menulis tentang lampu ini secara teknis. Tidak menarik, kata anakku. Lebih baik saya akan mencoba untuk kembali mengingat pernik-pernik tentangnya, yang saya berharap -- setidaknya -- anakku akan tertarik membaca tulisan bapaknya.

Di masa kecilku, sebelum pijar listrik membunuh sinar bulan dan melenyapkan kerlip kunang-kunang di kampungku, lampu inilah satu-satunya penerang yang menjadi penanda adanya secercah superioritas di tengah kegelapan dan kerlip lampu
teplok.

Petromax, sejatinya adalah merek dagang. Nama ini menjadi generik setelah mayoritas pasar saat itu dikuasai oleh merek ini. Sama halnya dengan merek Honda yang sudah menjadi nama generik untuk sepeda motor. Orang desa, umumnya tidak peduli apakah lampunya bermerek Butterfly, Thingkwan, Owl, Solar, mereka tetap saja menyebutnya sebagai Petromax.

Tentang nama generik ini, sebelum salah satu merek mendominasi dan mereknya menjadi nama generik, dulu orang-orang di desaku menyebutnya dengan nama ”dian pom”. Lampu yang – untuk menyalakannya – perlu dilakukan pemompaan.

Di daerah lain, ada yang menyebutnya dengan nama ”srongking”. Usut punya usut, ternyata merek dagang yang merajai daerah itu adalah merek Strong King, dan lidah jawapun lebih mudah melafalkan dengan sebutan ”srongking”.

Ada dua versi lampu ini yang beredar, pertama versi duduk yang biasa kita lihat artefaknya saat ini, dan versi gantung yang sudah masuk kategori
collectors item sekarang ini. Merek Strom King ternyata lebih banyak menjual versi kedua. Setidaknya saya tidak menemukan merek lain selain Strong King untuk versi gantung ini dalam jajaran koleksi saya.

Komponen petromak yang sifatnya
fast moving antara lain kaos lampu, klep pompa, nozzle (orang desa menyebutnya spuyer), jarum pembersih lubang spuyer, VA burner (keramik rumah tawon, tempat kaos lampu diikat), serta kaca berbentuk silinder.

Kaos lampu pada saat itu tersedia di hampir semua toko kelontong. Demikian juga klep dan suku cadang
fast moving lainnya. Keadaan ini sungguh berbeda dengan sekarang, di mana sudah sangat sulit menemukan toko yang menjual kaos lampu ini.

Di Yogyakarta, saya masih menemukan beberapa toko yang masih setia menjual kelengkapan lampu yang sudah
old fashioned ini. Di Jl. Diponegoro, Jl. Gondomanan, dan di sebuah toko di dekat Pasar Prambanan. Di toko terakhir ini, saya masih menemukan juga spuyer dan klep pompa.

Dulu, kaos pasar lampu diramaikan oleh beberapa merek. Yang paling kondang adalah merek Butterfly (cap kupu, kata orang desaku), ada juga merek Owl Mantle (cap ceguk), cap bintang, setidaknya empat merek itu yang masih bisa saya ingat.

Komponen lain yang sangat penting adalah kaca silinder sebagaimana
semprong untuk lampu teplok. Kaca silinder orisinal terbuat dari kaca solid, yang dari pabriknya memang didesain dan dicetak khusus untuk lampu ini.

Versi lain adalah kaca belimbing, yang terbuat dari potongan-potongan kaca berukuran 1-2 centimeter, yang biasanya berasal dari limbah toko kaca. Potongan-potongan ini kemudian dirangkai dengan pelat tipis berbentuk gelang, yang merangkainya hingga membentuk silinder.

Kerusakan kaca pada umumnya disebabkan oleh percikan air, terutama yang digunakan untuk berburu belut di sawah atau sungai. Selain itu, korban paling sering disebabkan karena kaos lampu yang berlubang. Jika kaos lampu berlubang, maka semburan panas akan terfokus pada lubang itu, yang menyebabkan kaca tidak kuat menahan panasnya temperatur semburan.

***

Petromaks yang
genuine, tabung minyaknya terbuat dari kuningan, yang dilapis krom. Jika sudah usang, maka lapisan krom ini biasanya akan lepas dan nampak warna asli kuningan. Petromax tergolong merek yang ”mewah”. Tidak semua keluarga mampu membeli lampu merek ini. Pada sebuah toko barang antik di Surabaya, saya menemukan lampu merek ini dalam kondisi yang masih prima, setahun lalu harganya sudah mencapai Rp 300 ribu.

Selain merek Petromax, belakangan muncul merek-merek lain yang harganya jauh lebih murah seperti Butterfly, cap Mata (saya lupa nama persisnya), Thingkwan, Owl, Quick, Storm King, dan masih banyak lagi.

Di televisi (TVRI tentunya) dulu sempat diiklankan lampu merek Thingkwan dengan talent iklan Djalal, seorang komedian asal Surabaya bertubuh tambun, yang berakting sebagai nelayan yang berhasil mendapat banyak ikan karena terangnya lampu Thingkwan. Sungguh
memorable.

Yang menarik dari reklame tersebut, terutama jika diukur dengan teknologi dan estetika periklanan zaman sekarang, adalah adanya ”kebocoran” adegan yang tidak dilakukan editing. Kebocoran itu adalah digantinya kaos lampu dengan bohlam listrik, lengkap dengan kabel yang menjuntai. Saat itu, adegan itu mungkin tidak masalah, tetapi jika dinilai dengan tolok ukur mutakhir, jelas itu kecerobohan sutradara yang amat norak.

Petromaks, selain digunakan para nelayan seperti dalam iklan di televisi itu, juga digunakan untuk berbagai keperluan. Fleksibilitas penempatan lampu inilah yang menjadi keunggulan dibanding lampu listrik, lampu ini lebih unggul karena memang
wireless, jadi mudah dipindah-pindah.

Selain
wireless, lampu ini juga sangat mobile. Bisa ditenteng ke mana saja si empunya mau. Lampu ini menjadi sarana penerang utama ketika seseorang punya hajat. Menjadi penerang ketika anak-anak desa mencari belut (nyuluh) di sawah, bahkan juga menjadi penerang sekaligus lighting dalam pentas kethoprak dan wayang orang. Ya, petromaks juga telah menjadi bagian dari ekspresi berkesenian rakyat pada waktu itu.

Dalam perjalanannya, lambat laun lampu ini mulai punah dari peredaran. Kepunahan ini seakan-akan sekadar mentaati hukum keniscayaan, bahwa di saat ia mampu menggusur keberadaan generasi sebelumnya, maka harus pula dibekali kesadaran bahwa suatu saat pun ia juga akan mengalami nasib yang sama, tergusur.

Gambaran riil dari semua itu saya mengalaminya. Awal tahun 80-an, ayah saya sempat menukar lampu gantung antik warisan kakek dengan sebuah petromaks baru. Kini, saya yakin harga lampu gantung itu sudah berlipat sekian puluh kali, seiring dengan semakin kukuhnya identitas keantikan yang melekat.

Pada awal-awal masa kemahasiswaan saya di Yogyakarta pertengahan tahun 80-an, saya melihat satu keluarga di Karangmalang yang mampu hidup layak dari jasa penyewaan lampu ini. Setiap hari, saya lihat dia berkutat dengan puluhan biji lampu yang setiap sore disewakan.

Pelanggan yang menyewa lampu itu adalah para pedagang lesehan atau warung-warung tenda di sepanjang Jl. Gejayan dan Jl. Kolombo. Kenapa para pedagang itu menyewa? Umumnya mereka tidak mau repot-repot dengan urusan lampu minyak tanah, yang jelas-jelas berisiko bagi kelangsungan dan kredibilitas warungnya? Lho kok bisa?

Salah satu sensitivitas tertinggi bagi warung makan adalah kontaminasi makanan oleh bau khas minyak tanah. Selezat apapun masakan, jika sudah terkontaminasi bau minyak tanah sekecil apapun, dipastikan akan sangat mengganggu kecerdasan lidah dan menurunkan selera makan.

Inilah yang saya maksud. Dengan cara
outsourching seperti ini, maka urusan bersih-membersihkan lampu menjadi tanggung-jawab vendor dari Karangmalang itu. Ia menyewa lampu dalam kondisi menyala, full tank, dan setiap kali ada ketidakberesan maka tinggal klaim pada si vendor. Tangan tidak bau minyak, dan risiko kontaminasi terhadap dagangan juga dapat diminimalkan.

Bisnis sewa-menyewa petromaks ini masih bertahan sampai pertengahan tahun 90-an. Meskipun saat itu lampu listrik bukan lagi barang mewah, tapi akses untuk mendapatkan masih cukup sulit.

Munculnya genset
portable, berbahan bakar bensin atau minyak tanah, yang lebih praktis (yang paling terkenal saat itu merek Honda dan Robin) lambat laun menggusur keberadaan petromaks dalam blantika persewaan alat penerangan.

Puncak kepunahan, yang ditandai dengan berhentinya bisnis persewaan petromaks di Karangmalang, adalah ketika era reformasi mulai bergulir. Bagaimana transmisi era reformasi sampai berpengaruh terhadap bisnis ini?

Gegap gempita reformasi direspon dalam berbagai cara. Salah satunya adalah meningkatnya radikalisme, turunnya kewibawaan aparat, dan munculnya keberanian masyarakat untuk mencuri
public utilities.

Mulai saat itu, warung-warung di sepanjang jalan tidak lagi menggunakan lampu petromaks. Mereka sudah mulai menarik kabel untuk menyalakan lampu listrik. Sumber arus listrik itu berasal dari berbagai titik. Mulai dari rumah sebelah, kantor pemerintah, bahkan tidak jarang yang nekat mem-
bypass dari lampu penerang jalan.

Mencuri lisrik, sesuatu yang tabu dan menakutkan di era sebelumnya, menjadi hal yang wajar di era “kebebasan” ini. Sungguh sesuatu hal yang memprihatinkan, ketika seseorang melakukan pelanggaran dan ia tidak merasa sama sekali kalau melanggar aturan. Tidak tahu kalau tidak tahu. Sungguh menyesakkan.

Saat ini, yang saya lihat masih setia memanfaatkan keunggulan petromaks
(wireless and mobile) adalah pedagang keliling mi Surabaya di kampungku. Petromaks masih menjadi perlengkapan standar di samping kentongan bambu sebagai penanda kehadirannya, yang bunyinya sudah terdengar jelas meski ia masih berada di gang blok sebelah.

Mempertahankan petromaks ternyata juga bukan perkara sederhana bagi Cak Dullah, si pedagang mi Surabaya itu. Lenyapnya minyak tanah akibat konversi ke gas elpiji merupakan keniscayaan yang sulit dicari solusinya. Tidak ada pilihan baginya, menggunakan petromaks dengan konsekuensi harga minyak tanah non-subsidi yang mahal, atau tidak sama sekali.

Jika kompor minyak sudah mampu digantikan kompor gas, maka minyak tanah sebagai bahan bakar petromaks nampaknya belum tergantikan. Konon, bisa saja tankinya diisi dengan solar, tetapi kualitas nyalanya tidak seterang minyak tanah.

Lain dulu lain pula sekarang. Anakku memandang kagum jenis lampu di sebuah kafe, petromaks antik yang di dalamnya bukan lagi menyala kaos lampu cap kupu-kupu, tetapi sudah diganti dengan bola lampu hemat energi bermerek Osram (merek bola lampu buatan pabrikan Jerman, negara yang dulu melahirkan petromaks).

Proses peminggiran petromaks, dari
main utilities menjadi sekadar pajangan di kafe-kafe dan lobi hotel, nampaknya menjadi penanda betapa perubahan itu sesungguhnya juga dapat dimaknai sebagai keabadian. Dari petromaks, ternyata kita banyak menemukan banyak hal di sana. ***

06 Oktober 2009

Obsesi


Penggunaan kata yang tidak tepat, yang dilakukan berulang kali dalam berbagai kesempatan, dampaknya akan sangat fatal. Dikatakan fatal karena kesalahan itu akan mengakibatkan timbulnya salah kaprah, kesalahan yang sudah dianggap lumrah, dan menjauhkan masyarakat dari makna sesungguhnya dari kata itu. Kesalahan yang dilakukan secara konsisten, berjamaah, dan tidak mengenal tempat dan waktu, menjadikan kebenaran justru dimaknai atau minimal dikesankan sebagai suatu kesalahan.

Salah satu kata yang paling sering kita temukan berada pada posisi yang salah adalah kata “akut” dan ”kronis”. Dua kata ini, secara maknawi sesungguhnya merupakan dua kata yang saling berlawanan. Kata ”akut”, yang merujuk pada kondisi kesehatan (atau kesakitan) seseorang, menunjukkan bahwa kondisi itu terjadi secara tiba-tiba, dalam selang waktu yang relatif singkat
(suddently).

Sebaliknya, kata ”kronis” menunjukkan bahwa kondisi itu terjadi dalam tempo yang lama, terjadi secara pelan-pelan, menahun, dan diketahui oleh dokter setelah kondisi seseorang berada dalam tataran yang berat.

Dalam berbagai tulisan dan pernyataan, seringkali kita jumpai bahwa sang penulis tidak bisa membedakan antara kata ”akut”
(accute) dan ”kronis” (chronic). Bahkan tidak jarang terjadi pencampuradukan antara dua kata tersebut, yang mengandung makna bahwa keduanya memiliki maksud yang sama. Akut sama dengan kronis. Ini jelas merupakan kesalahan fatal yang menyesatkan.

Dalam dunia kesehatan, tentu kesimpulan dari dua kondisi tersebut akan sangat berbeda, yang tentunya akan membedakan perlakuan kepada pasien. Misalnya: diagnosis
accute renal desease berarti penyakit atau kerusakan ginjal yang terjadi secara dadakan, tiba-tiba, baik karena keracunan atau karena sebab mekanis seperti benturan benda keras. Hal ini tentunya berbeda dengan kasus chronic renal desease yang berari bahwa kerusakan ginjal terjadi secara pelan-pelan dalam waktu yang lama. Dalam istilah masyarakat awal disebut dengan penyakit yang menahun.

Kata lain yang masih banyak dimaknai secara keliru adalah kata ”obsesi”. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Inggris
obsession, yang secara leksikal berarti (1). Godaan, gangguan pikiran, obsesi. (2). Kesurupan atau kerasukan setan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”obsesi” didefinisikan sebagai:
gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menghantui atau sangat sukar dihilangkan. Artinya, obsesi adalah sebuah sindrom yang diderita seseorang atas suatu cita-cita atau kehendak, yang harus diwujudkan dalam satu tekad yang paling kuat. Jika obsesi ini belum tercapai, biasanya seseorang akan selalu gelisah, resah, bahkan dalam tahap tertentu akan menjadi paranoid.

Dalam aplikasinya, kita bisa menyaksikan kata ”obsesi” dijadikan ikon reklame produk rokok kretek. Dalam beberapa versi iklan disebutkan bahwa obsesi seseorang untuk mencapai cita-cita (sutradara, orator, penyair, selebritis) harus dicapai dengan kerja keras – tanpa harus merokok tentunya – yang tidak instan. Secara ilmu periklanan, pesan itu telah tersampaikan.

Bahwa untuk mencapai cita-cita diperlukan kerja keras. Namun demikian, kesimpulan sesungguhnya adalah bahwa sang
copywriter nampaknya hanya mampu memaknai kata ”obsesi” hanya sebatas pengganti kata ”cita-cita, tekad kuat”.

Celakanya, ketika reklame itu bermetamorfosa dan untuk konsep yang sama disajikan pada media yang berbeda, maka terjadilah keserampangan yang secara telanjang tanpa disadari, bahkan oleh subjek yang sangat berkepentingan dengan reklame itu sendiri.

Kejadian ini dapat kita lihat pada media iklan luar ruang
(outdoor) untuk produk yang sama. Kata ”obsesi”, jika dipadukan dengan slogan polisi, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pelecehan dan kekurangajaran sang pembuat iklan. Konyolnya, subjek yang dilecehkan tersebut tidak merasa terusik sama sekali. Hal ini terbukti setelah lebih dari dua tahun reklame itu tetap saja terpasang, hingga saat ini.

Slogan polisi yang sering kita lihat di kantor-kantor polisi, ditulis dalam font yang menyolok, dipasang pada pos penjagaan terdepan adalah ”Siap Melayani Masyarakat”. Setelah digabung dengan konsep reklame rokok tersebut, komposisinya berubah menjadi ”Obsesi: Siap Melayani Mayarakat”, lengkap dengan identitas
branding rokok yang berbagi space dengan slogan gabungan tersebut.

Nampaknya, baik Pak Polisi maupun si pembuat iklan, tidak menyadari bahwa slogan gabungan itu bermakna sangat melecehkan profesi polisi. Secara harafiah maupun maknawi, jelas-jelas bahwa slogan itu berarti bahwa kewajiban polisi untuk melayani masyarakat hanyalah serupa gangguan kejiwaan polisi, sebatas cita-cita, yang entah kapan akan terwujud.

Bagi polisi, sesungguhnya, melayani dan melindungi masyarakat adalah amanat undang-undang tertinggi di negeri ini. Citra buruk yang masih melekat pada jajaran kepolisian, akibat ulah sebagian oknum polisi, tidak boleh dibenarkan dengan slogan gabungan dalam reklame yang menyesatkan dan kurang ajar semacam itu.

Kesiapan polisi dalam melayani masyarakat tidak boleh lagi hanya menjadi ”obsesi”, di mana kantor-kantor polisi tampak seperti rumah sakit bagi para penderita gangguan jiwa. Melayani masyarakat adalah kewajiban. Dan, kesiapan adalah sikap mental atau moralitas setiap anggota kepolisian. Bukan gangguan kejiwaan. ***