24 Juni 2008

Sang Buron


Tanpa sengaja, ketika mengobrak-abrik gudang di rumah, saya menemukan buku lama tulisan Prof Dr Suhartono yang dulu kudapat dari teman kos, tapi tidak sempat tuntas kubaca, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, terbitan Aditya Media Yogyakarta 1995.

Sejarah senantiasa berulang. Di samping melahirkan para pahlawan, sejarah juga selalu memunculkan musuh-musuh publik (public enemies). Dulu, pertengahan abad ke-18, mungkin buron masyarakat itu bernama Entong Tolo, penjahat dari Jatinegara. Kini public enemy itu bisa bernama Nurdin M Top, atau Sjamsul Nursalim, atau bahkan Munarman yang tidak pernah berhasil ditangkap polisi (sebelum ia menyerahkan diri) meski hanya bersembunyi di sekitar Jakarta.

Di era kolonial dulu, para penjahat melakukan perampokan dan teror terhadap para priyayi dan pemerintah kolonial. Kini, para bandit modern, merampok harta negara dan menipu rakyat. "Sejarah memang senantiasa berulang. Karena itulah, untuk mengatasi persoalan-persoalan masa kini, kita bisa menggunakan ingatan kita kepada masa lampau,'' ujar Romo Sindhunata, penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin dan Sakitnya Melahirkan Demokrasi.

Ingatan itu, termasuk ingatan untuk menangkap sang buron, agaknya telah tak ada di kepala, sehingga untuk menangkap buron sekelas Munarman saja, sulitnya bukan main. Apalagi menangkap Nurdin M Top atau Adelin Lis yang kemungkinan memiliki pelindung-pelindung setia.

Ternyata jika kita rajin mencermati teks-teks lama, kita akan dengan mudah menemukan berbagai cara untuk memburu para buronan. Sebagai contoh, untuk memburu Entong Tolo, pemerintah kolonial berulang-ulang mencoba memejahijaukan bandit besar dari Jatinegara pada abad ke-18 itu. Karena kesulitan, mereka "menghabisi'' anak-anak kandung Tolo, yang kebetulan juga melakukan perampokan. Tak tahan melihat anak-anaknya disiksa, Tolo akhirnya tak mengadakan perlawanan ketika ditangkap.

Prof Suhartono juga mencatat beberapa taktik menghabisi penjahat. Sebagaimana pengamatan staf pengajar Jurusan Sejarah FIB UGM itu, pada abad ke-18, ada seorang bandit populer bernama Sakam. Ia sangat ganas dengan menyerang desa dan tidak segan-segan membakar rumah dan atau membunuh korbannya. Pemerintah putus asa menangkap Sakam hidu-hidup. Akhirnya dicarikan alibi pada seorang bernama Suhari yang pada tahun 1886 divonis pengadilan Batavia atas nama Sakam.

Apa yang terjadi kemudian? Pengendoran pengawasan terhadap Sakam justru menyebabkan bandit kenamaan itu, lengah. Karena itulah, dengan mudah dia dibunuh oleh Jaksa Serang. Anehnya, "Masyarakat setempat percaya bahwa Sakam adalah manusia luar biasa. Ia tidak mati, tetapi masih hidup terus sebagaimana biasa karena mempunyai kesaktian yang diyakini masyarakat,'' tulis Suhartono.

Ada juga cara lain, sebagaimana yang dilakukan FBR untuk menangkap laki-laki berpistol yang terekam di Monas pada bentrok 1 Juli 2008, yakni dengan memberikan hadiah bagi publik untuk menangkap para bandit. Cara yang tidak terlalu efektif itu tetap diterapkan para pamongpraja Banten sampai menjelang abad ke-19. Sayang sekali, masyarakat sering tak melaporkan perampokan yang mereka alami, sehingga perbanditan terus merajalela. Satu hal yang layak dipuji, meski perbanditan merebak, pemerintah kolonial tetap bertindak tegas dan terus-menerus memburu bandit-bandit besar itu.

Tak semua kejahatan dilakukan oleh para bandit. Ternyata perbuatan melawan hukum itu juga bisa dilakukan oleh putra mahkota Sri Susuhunan (Raja Surakarta). Sebagaimana ditulis oleh Dr HJ De Graaf, pada tahun 1637 dia melarikan "salah seorang istri Tumenggung Wiraguna yang termanis dan tercantik (liefste ende schoonste wijn)''.

Wiraguna tidak tinggal diam. Dia mengadukan perbuatan putra mahkota kepada Sri Susuhunan, dan Sri Susuhunan pun murka. Akhirnya dengan tegas beliau menghukum putra mahkota. Sang anak tidak diperbolehkan bertemu muka dengannya. Tak ada kata ampun. Sang putra mahkota menerima dan dia menahan kesedihannya, tidak mau bergaul dengan wanita selama tiga tahun, bahkan menyuruh mengurung selir-selirnya.

Apa yang menarik dari kisah ini? Sri Susuhunan ternyata patuh hukum. Dia menghukum anaknya sendiri, karena sang anak kepergok melakukan kesalahan besar. Sri Susuhunan juga sangat kooperatif dan menganggap aib putra mahkota adalah aib keluarga. Dia sama sekali tak menghalang-halangi eksekusi', bahkan menjadi leader eksekusi itu sendiri.

Lebih indah lagi, putra mahkota tak keberatan dihukum dan dikucilkan. "Juga dengan cara lain, ia memperlihatkan bahwa telah menyadari kesalahannya. Ia mencukur rambutnya, menyerahkan rakyatnya sekitar 12 sampai 16 orang kepada gurunya, Tumenggung Mataram, dan dengan demikian seakan-akan telah menjadi muridnya lagi. Orang-orang yang dipercayai disuruh menjaga rumahnya,'' tulis De Graaf.

Lalu, karena Putra Mahkota taat menjalankan hukuman, Raja tergerak hatinya untuk memberikan pengampunan. "Setelah tiga tahun berakhir, putra mahkota tanpa banyak keributan dipanggil lagi ke istana dan rupanya segala sesuatu berjalan seakan-akan tidak pernah ada kejadian yang luar biasa,'' tambah sejarahwan Belanda itu.

Kisah Sri Susuhunan dan putra mahkota hanyalah "cerita kecil'' tentang kepatuhan hukum (mantan) elite politik terhadap hukum. Kini, kisah-kisah pelarian perampok, persekongkolan pamong praja dengan para bandit, ternyata lebih banyak dan lebih agung.

Sakam, Sahab, Conat, Ija, Jakaria, dan bandit-bandit legendaris di Banten nyaris tak bisa ditangkap, karena dilindungi oleh masyarakat dan pamong praja. Sang petinggi mau melindungi para bandit, karena mereka mendapat bagian hasil perampokan. Sedangkan publik lebih memilih tutup mulut, karena para bandit sangat ganas dan kejam.

Semua itu, bisa terjadi, paling tidak menurut catatan sejarahwan Djoko Suryo, karena wibawa pemerintah (kolonial) hilang. Malah, Suhartono menyebutkan, para bandit atau public enemy itu sengaja diciptakan untuk merongrong wibawa pemerintah. Mereka tak lebih dan tak kurang merupakan "pemerintah bayangan''. Punya organisasi yang mapan dan dana besar.

Maka, tak mengherankan jika muncul istilah "bandit sosial'' dan "bandit politik'' pada saat itu. Dan melawan bandit-bandit politik (mereka yang mencuri, korupsi, dan merampok) untuk merongrong pemerintah, bukanlah pekerjaan gampang.

Tetapi bukankah Sri Susuhunan telah memberikan pelajaran mengenai penegakan hukum? Bukankah dia bisa tegas memberikan hukuman dan pengampunan. Ya, terkuaknya kasus-kasus hukum yang meruntuhkan citra Kejaksaan Agung dewasa ini menyebabkan ingatan kita terhadap "keindahan kepatuhan'' terhadap hukum kini memang terbang tertiup angin. ***