15 Oktober 2009

"Sakit" dan "Nyeri"


Selain dikenal dengan struktur hirarkis yang seringkali membingungkan, dalam perkembangannya bahasa Jawa juga memiliki sejumlah kosa kata yang sangat sulit dicari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia.


Dalam banyak kasus, orang Jawa merasa sangat kesulitan menjelaskan arti suatu kata yang precise atas suatu kosa kata yang sangat umum digunakan di tanah Jawa.


Dari pengamatan saya, ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya masalah ini. Pertama, untuk mengungkapkan suatu keadaan, orang Jawa memiliki sejumlah kata yang menunjukkan hirarki atau intensitas suatu keadaan.


Kedua, untuk kata yang sama, ketika itu ditujukan kepada orang yang berbeda (lebih tua, lebih terhormat) maka digunakan kata lain yang lebih sopan, lebih menghormati. Hirarki semacam ini menghasilkan gradasi: ngoko, ngoko alus, krama madya, dan krama inggil.


Tulisan ini akan difokuskan pada konteks pertama, di mana gradasi itu terjadi bukan karena subjek yang dituju, tetapi oleh intensitas yang menggambarkan keadaan objeknya.


Misalnya, dalam bahasa Indonesia dikenal kata “sakit”. Untuk menunjukkan bahwa sakitnya relatif berat, maka cukup ditambah kata “sangat” di depan kata “sakit”, sehingga menjadi “sangat sakit”, atau bisa juga dengan kata “sakit sekali”.


Dalam konteks bahasa Indonesia yang umum, kata “sakit” menunjuk pada dua hal. Pertama, kondisi tubuh yang terasa tidak fit, yang disebabkan karena infeksi atau benturan fisik dengan benda-benda keras. Kedua, kata “sakit” diartikan sebagai rasa “nyeri” akibat luka atau memar. Dalam bahasa Jawa, dua hal tersebut juga berlaku.


Dengan demikian, sebenarnya ada dua kata yang sering digunakan secara rancu antara “sakit” dengan “nyeri”. Dalam bahasa Inggris, dua kata itu hampir tidak pernah dicampur-aduk dalam penerapannya. Kata sick atau ill tidak pernah digunakan untuk mengungkapkan istilah “nyeri”, jika yang dimaksud adalah “nyeri” maka orang akan menggunakan kata pain, yang dirasakan lebih precise.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Depdiknas, kata “sakit” diartikan sebagai: berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan sebagainya). Jelaslah di sini bahwa Bahasa Indonesia tidak membedakan antara sick dengan pain.


Di Jawa, tingkat kenyerian masih dibagi lagi dalam suatu gradasi menjadi beberapa tingkatan. Terjemahan kata “sakit” dalam bahasa Jawa adalah lara, sedangkan ”sakit sekali” diterjemahkan menjadi lara banget. Sampai di sini, nampaknya tidak ada sesuatu yang aneh, apalagi sulit.


Namun demikian, kata lara banget juga dapat diartikan sebagai “sakit yang sudah sulit untuk disembuhkan lagi”. Artinya, jika seseorang sudah sakit sedemikian parah, yang nampaknya sudah tinggal menunggu kematian, maka orang Jawa menyebutnya dengan istilah lara banget.


Bahasa Jawa tidak memiliki kata tunggal yang sebagai terjemahan kata ”nyeri”. Yang ada adalah penyebutan gradatif atas nyeri itu, tergantung dari seberapa nyeri intensitas yang dirasakan seseorang.


Gradasi yang saya maksudkan adalah bahwa tingkat kenyerian (agak nyeri, cukup nyeri, nyeri sekali) juga seringkali diungkapkan dengan kata lain yang jauh dari terjemahan leksikalnya. Lihatlah misalnya urutan sebagai berikut: sengkring-sengkring, senut-senut, cekot-cekot.


Ketiga kata tersebut menunjukkan intensitas kenyerian seseorang. Kata sengkring-sengkring merupakan suatu keadaan atau perasaan nyeri saat bagian tubuh diraba karena tertusuk benda kecil, sehingga benda kecil itu tertinggal di bawah kulit. Misalnya rasa rabaan ketika sengat lebah tertinggal di bawah kulit atau potongan serat kayu yang menancap di telapak tangan.


Untuk kondisi terakhir tersebut, oang Jawa juga memiliki istilah tersendiri, yaitu tlusuben, ketika (secara tidak sengaja) potongan serat kayu menancap di telapak tangan. Meski bendanya sangat kecil, tetapi intensitasnya dalam menggelitik syaraf sangatlah besar, sehingga ketika tersenggol sedikit saja akan terasa nyeri, sengkring-sengkring.


Kata sengkring-sengkring juga bermakna bahwa tingkat kenyeriannya ringan-ringan saja. Tidak terlalu nyeri dan relatif mudah disembuhkan. Misalnya, jika seseorang merasa sengkring-sengkring karena tlusuben, maka jika potongan serat kayu itu sudah dicongkel dengan jarum dan berhasil dikeluarkan, maka saat itu juga rasa sengkring-sengkring-nya akan hilang.


Dalam intensitas nyeri yang lebih tinggi, dikenal istilah senut-senut (di beberapa daerah menyebutnya dengan cenut-cenut). Kata ini hanya tepat diterapkan untuk menunjukkan rasa nyeri yang fluktuatif, dalam interval waktu yang relatif pendek.


Sedetik terasa nyeri sekali, detik berikutnya agak sedikit reda, detik berikutnya nyeri lagi, yang terjadi secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Inilah yang dimaksud dengan senut-senut. Rasa senut-senut ini biasanya terjadi pada luka memar, atau rasa nyeri yang terjadi menjelang pecahnya bisul atau luka abses.


Di atas senut-senut, yang dirasakan lebih nyeri lagi adalah cekot-cekot. Sama halnya dengan senut-senut, rasa nyeri cekot-cekot juga fluktuatif dalam interval waktu yang pendek, tetapi dalam intensitas nyerinya yang jauh lebih hebat.


Kata cekot-cekot biasanya digunakan untuk menunjukkan rasa nyeri pada sakit gigi, sakit kepala yang amat sangat (migrain), atau nyeri pasca operasi saat obat anestesia sudah kehilangan daya biusnya. Biasanya, rasa cekot-cekot ini hanya ditujukan untuk nyeri yang terjadi di bagian kepala. Agak tidak umum jika ada orang yang merasa cekot-cekot di perutnya, kecuali pasca operasi.


Selain tiga kata yang menunjukkan gradasi tingkat kenyerian tersebut, di Jawa juga masih ada beberapa kata yang digunakan untuk menyebut rasa sakit yang berbeda-beda. Misalnya, rasa panas terbakar lebih tepat dingkapkan dengan kata kemramyas. *** (bersambung)