18 Januari 2008

Tarif SMS Indonesia


Polemik tentang tarif SMS masih terus bergulir. terlebih setelah KPPU turut campur tangan dalam kasus dugaan praktik kartel (fixed pricing) yang dilakukan para operator. Masalah tarif SMS inis sebenarnya sudah muncul sejak dua tahun lalu, di mana indikasi kuat adanya over pricing mulai digulirkan BRTI. Tulisan pendek ini mencoba untuk mengupas secara singkat apa dan bagaimana tentang dinamika pasar SMS di Indonesia.

Secara historis, layanan SMS diperkenalkan sejak dimulainya era komunikasi seluler digital, di mana kapasitas infrastruktur yang terjadi saat itu, oleh operator, dicoba untuk dioptimumkan dengan cara menjadikan idle capacity tersebut dengan layanan nilai tambah (value added services). Layanan SMS semula "menumpang" pada jaringan suara voice, baik dari sisi akses maupun transmisinya. Pada awalnya, tentu layanan ini tidaklah murah karena rasio antara investasi dan volume trafik yang tidak proporsional, jauh dari kondisi optimal.

Dalam perjalannannya, layanan ini menjadi booming setelah semua operator sepakat untuk membuka interkoneksi bagi lalu-lintas SMS. Perlu dicatat, pada awalnya SMS hanya bisa dilakukan dalam satu jaringan operator. Hal ini terkait dengan investasi dan adanya keraguan operator akan prospek pasar. Setelah konfidensi operator terhadap SMS menemukan bukti nyata berupa volume trafik yang semakin besar, maka investasi besar-besaran mulai dilakukan dan semua operator membuka dirinya atas kedatangan trafik SMS dari operator lain.

Dibukanya arus SMS antaroperator tentunya mengandung sejumlah konsekuensi. Pertama, volume trafik yang semakin membengkak, yang akhirnya menuntut operator untuk menyediakan infrastruktur yang tersendiri (yang tadinya hanya menumpang). Kedua, perilaku masyarakat pengguna pun juga berubah (shifted) dari komunikasi suara ke komunikasi berbasis teks.

Dua hal tersebut bagaikan gayung bersambut. Di satu pihak terus membengkaknya volume mengakibatkan daya tarik investasi di layanan ini juga terpacu. Hal ini tidak terlepas, dan kini sudah nyata terbukti, bahwa sumbangan SMS sebagai revenue center bagi operator sudah terjadi. bahkan beberapa operator secara transparan menyebutkan bahwa lebih dari 25 persen revenue-nya berasal dari trafik SMS.

"Price Fixing"

Perdebatan mengenai tarif SMS akhir-akhir ini tidak terlepas dari dugaan KPPU atas adanya persekongkolan para operator untuk menetapkan harga. Memang, kalau dilihat dari price-list yang dirilis para operator nampak bahwa tarif SMS semua operator relatif sama. Jika saya coba untuk telusuri historisnya, penyamaan harga SMS ini tidak terlepas dari dua hal. Pertama, secara regulasi SMS dikategorikan sebagai layanan nilai tambah yang tidak diatur secara khusus. Hal ini sama dengan layanan nilai tambah yang lain seperti MMS, GPRS, serta layanan lain yang ditawarkan operator.

Kedua, secara teknis pada waktu itu muncul satu kekhawatiran adanya kongesti dalam jaringan apabila terdapat lalu-lintas SMS dalam volume yang besar, akibat perbedaan tarif. Dengan rezim sender keeps all (SKA), maka operator penerima tidak mendapatkan bagian tarif yang dibayar konsumen. Oleh karena itu, jika salah satu operator menerapkan tarif yang murah, maka akan ada "banjir" SMS ke operator lain (spam).

Berdasarkan dua hal tersebut, maka operator "seolah-olah" mendapatkan justifikasi untuk melakukan penyeragaman harga SMS. Bagaimana dengan kondisi mutakhir? Kita semua menyadari bahwa saat ini SMS tidak lagi dapat dipandang sebagai kebutuhan sekunder telekomunikasi, tetapi sudah bergeser menjadi kebutuhan esensial. Bahkan banyak pelanggan yang justru lebih banyak menggunakan layanan SMS daripada layanan suara. Dengan demikian, perlakuan regulasi yang menggolongkan SMS sebagai layanan nilai tambah harus segera diakhiri.

Dari sisi operator, kini mereka telah memperlakukan layanan SMS sebagai andalan dalam mengeruk revenue. Di samping itu, pembangunan infrastruktur untuk SMS juga telah dilakukan secara besar-besaran. SMS bukan lagi sekadar usaha sampingan, tetapi telah menjelma menjadi salah satu usaha pokok yang menjadi pilar menopang bagi upaya mengeruk keuntungan.

Dari dua argumentasi tersebut nampaklah bahwa justifikasi teknis atas penyeragaman tarif SMS juga sudah tidak relevan lagi. Kapasitas infrastruktur SMS sudah jauh lebih besar dibanding saat kelahirannya, hal ini terbukti dengan minimnya kongesti di daerah-daerah tujuan pada saat mudik lebaran tempo hari. Di mana hal tersebut dulu selalu terjadi. Dari sisi regulasi pun, perlakukan SMS sebagai layanan nilai tambah sudah saatnya ditinjau kembali. SMS bukan lagi hal yang mewah, tetapi sudah menjadi kebutuhan esensial setingkat dengan komunikasi suara.

Biaya Produksi SMS

Salah satu hal yang juga "diributkan" banyak pihak adalah adanya publikasi mengenai biaya produksi SMS. Dalam beberapa publikasi disebutkan bahwa ongkos produksi SMS sekitar Rp 70, dengan demikian tarif ritel sebesar Rp 250-350 dinilai sangatlah jauh dari ongkos, artinya untung operator terlalu gemuk. Benarkah hitungan sederhana tersebut?

Perlu diketahui, BRTI memang telah melakukan perhitungan, yang dibantu oleh konsultan independen. Di sana disebutkan bahwa biaya interkoneksi SMS 2007 sebesar Rp 26, artinya kalau dihitung dua sisi (originasi dan terminasi) maka angkanya sekitar Rp 26 x 2 = 52. Perlu diingat bahwa angka tersebut adalah elemen biaya jaringan (network element cost-NEC) saja. Di luar biaya tersebut masih ada biaya lain yaitu biaya aktivitas ritel (SDM, promosi, dll) serta marjin keuntungan. Di sinilah esensi permasalahannya, banyak orang yang tidak begitu paham dalam membaca angka-angka tersebut.

Tarif SMS yang saat ini rata-rata sebesar Rp 250 (post paid), memang kelewat mahal jika dibandingkan dengan total cost-nya. Dugaan sementara, jauhnya tarif dengan ongkos produksi juga disebabkan karena operator melakukan kompensasi atas investasi bagi produk-produk serupa yang relatif "kurang laku". Misalnya MMS dan GPRS. Bagaimana pun juga kedua produk tersebut sudah menelan investasi yang besar, dengan minimnya pendapatan dari keduanya, maka tekornya akan dikompensasikan ke produk lain, salah satunya dari produk SMS. Angka NEC yang dihitung regulator adalah murni biaya produksi SMS tanpa memperhitungkan faktor-faktor tersebut, yang tentu sangat sulit untuk dilakukan kalkulasinya.

Dengan demikian, kunci dari penurunan tarif SMS kini terletak pada willingness operator untuk melakukannya. Kalau kita cermati, sebenarnya tarif riil SMS sudah mulai diturunkan sejak beberapa tahun ini. Hal ini bisa dicermati dari paket-paket promosi mereka. Secara ekstrem, bahkan ada operator yang menggratiskan SMS antar penggunanya. Secara costing dapat dipastikan mereka akan tekor, tetapi di balik itu terdapat benefit lain berupa tambahan pelanggan dan naiknya tingkat okupansi jaringan. ***