07 Agustus 2008

London (Part-1)


Setengah jam sudah aku meninggalkan penatnya kabin Malaysia Airlines, waktu menunjuk jam 7:00 pagi, Heathrow International Airport, terpaan udara dingin segera menyergap. Matahari belum nampak, bahkan ufuk timur pun belum menunjukkan rona merahnnya, pertanda hari masih belum akan bangun. Taxi stand segera dipenuhi antrean mengular.

Kucermati jalanan, London taxi melaju di jalurnya. Meski hanya dibatasi garis kuning, tak satu pun kendaraan pribadi yang berani masuk ke jalur angkutan umum ini. Beda sekali dengan Jakarta, yang meski sudah dipasang separator tetap saja kendaraan pribadi (bahkan sepeda motor) melenggang masuk ke jalur busway.

Ternyata benar, setengah jam kemudian, sesampainya di pusat kota, hari masih gelap meski hampir jam 8 pagi. Grosvenor Square masih lengang, hanya penyapu jalan dengan mesin sapunya yang menderu-deru dan perawat taman yang sudah nampak sibuk di Roosevelt Memorial Park itu.

Ketidakberuntungan nampaknya menerpaku, meski reservasiku di Millenium Hotel sudah confirmed, tapi saya terlalu pagi untuk check-in, hingga aku baru akan dapat kamar nanti jam dua siang, alamak... Di saat penat setelah 12 jam terbang dari Kuala Lumpur seperti ini, mau mengumpat kok nampaknya tak ada gunanya. Atas nama kedisiplinan, resepsionis itu hanya berkata singkat: You're too early to check-in, it's not my responsible.... segera naluri kejawaan saya muncul seketika, yowislah... Terlebih setelah orang-orang sekaliber Menko Perekonomian (waktu itu) Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Agus D. Martowardoyo, Indra Setiawan, Theo F. Toemion, Eddie Haryoto dan beberapa orang Dirut BUMN yang lain pun tertimpa nasib serupa, akhirnya semua kusikapi dengan ringan.

Kucoba membunuh waktu dengan berjalan-jalan di taman. Tulip warna-warni masih tersisa mengembang, kursi kayu risban yang bersih menjadi menjadi penghibur di sela kepenatan. Burung gagak meloncat-loncat mengejar serangga kecil yang hinggap di pucuk-pucuk daun tulip. Patung Franklin Delano Roosevelt yang menjadi episentrum taman itu tampak gagah, perunggunya menghitam, tatapan ekspresinya dingin di balik overcoat-nya yang kedodoran.

Di tengah-tengah mengamati gedung-gedung yang melingkari Grosvenor Square, ada sesuatu yang membuatku terkejut, bangga, trenyuh dan sekaligus malu. Tepat di depan saya nampak Gedung Kedutaan Amerika, berjajar melingkar dengan kedutaan Rusia, Kanada, China, dan Indonesia !! Grosvenor Square adalah tempat yang sangat prestisius di jantung London. Distrik Mayfair merupakan prime location yang (tentunya) hanya negara-negara yang sangat dihormati dan disegani Inggris lah yang kedutaan besarnya ditempatkan di area itu.

Sampai di sini lamunan saya jadi terbang. Kesimpulannya, Indonesia (pada waktu itu) di mata Inggris telah dipandang sebagai negara yang perlu diperhitungkan di percaturan politik dunia. Tidak bisa tidak, kekaguman itu harus selayaknya ditujukan kepada para founding father kita. Jika kini Indonesia telah menjadi bangsa paria di mata internasional, akibat ulah para pengelolanya yang tidak mampu meneruskan reputasi pendahulunya, maka keberadaan kedutaan Indonesia persis satu lokasi dengan negara-negara besar itu (betapapun) telah menunjukkan bahwa kita pernah menjadi bangsa terhormat.

***

Udara pagi sudah mulai menghangat. Matahari bersinar begitu terik, meski kehangatan pancarannya tidak mampu sepenuhnya menyelimuti permukaan bumi London. Setidaknya ada keberuntungan yang bisa diraih hari itu. Sinar matahari, sesuatu yang cukup langka keberadaannya bagi warga London. Dalam setahun, tak lebih dari tiga persen saja waktu siang hari dihangatkan dengan sinar matahari, dan aku mendapatkan yang tiga persen itu pas di saat kepenatan menghinggapiku.

Lima jam menunggu, waktu yang sangat membosankan. Kuisi dengan jalan-jalan di sepanjang Oxford Street. Suasana masih lengang, hari masih terlalu pagi untuk menemukan sekadar kedai kopi yang buka. Hanya beberapa minimart 24 jam yang mengisi kesibukan pagi itu. Di salah satu sudutnya, kulihat gelandangan yang masih tertidur lelap, di balik overcoat-nya yang lusuh nampak tidak menghiraukan semua yang melintas.

***

Salah satu episentrum London, dan menjadi landmark bagi kota tua itu adalah Hyde Park. Memang, London, kota tua yang kaya akan taman-taman publik, dan Hyde Park salah satu di antaranya. Taman ini adalah taman terluas dan (menurutku) terindah di seantero London. Di sebelahnya, dalam ukuran yang lebih kecil ada The Green Park dan St. James Park yang asri.

Entah berapa puluh hektar luas Hyde Park, yang jelas, butuh waktu lebih dari sejam untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Kulangkahkan kakiku melawan arah jarum jam, kuawali dari Marble Arch, sudut taman dengan bangunan tua yang masih gagah dan anggun.

Marble Arch, kita menyebutnya semacam gapura marmer, ya seluruhnya terbuat dari marmer. Konstruksi empat pilar kukuh itu nampak dibuat secara knock down. Cahaya lampu kristal di selangkangannya berpendar-pendar, tidak menyilaukan, dan justru menambah keanggunan. Dibangun pertama kali pada tahun 1828, sebagai pintu gerbang utama memasuki Buckingham Palace. Ketika istana ratu itu diperluas pada tahun 1851, gapura pualam itu dipindahkan ke tempatnya sekarang, di sudut timur laut Hyde Park yang bersih dan tertata.

Kulanjutkan langkahku menyusuri Bayswater Road. Ada beberapa pintu gerbang untuk memasuki Hyde Park, tak satu pun yang dijaga petugas. Di sisi utara, gerbang yang paling besar dan terkenal paling adalah Victoria Gate, gerbang baja yang kokoh, meski lebar, tak satu pun kendaraan yang boleh melintas, hanya pejalan kaki. Gerbang selebar 4 meter ini merupakan jalan pintas dari Bayswater menuju Kensington melalui The Ring, poros tengah yang membelah taman ini menjadi dua: Hyde Park dan Kensington Garden.

Hari belum begitu siang, para pelukis jalanan mulai menggelar karyanya di sepanjang trotoar Bayswater. Lukisan-lukisan dan karya kriya dipajang dan digantung di sepanjang pagar Hyde Park. Mereka umumnya berlisensi, sehingga tak ada kekhawatiran akan digaruk aparat.

Di seberang taman, Gloucester Street, kulihat Corus Hotel dengan tembok putih pucat. Bendera Inggris berjajar dengan bendera Malaysia berkibar-kibar, cuaca dingin yang menyergap London di akhir winter selalu disertai dengan tiupan angin (windy time), dingin seperti menyayat wajah yang diterpanya.

Langkahku terhenti di sudut Kensington Garden, ada obyek menarik yang sangat dominan di sepanjang tatapan mata. Monumen untuk mengenang sang putri rakyat, Princess Diana Memorial Children's Playground. Syahdan, di tempat itulah dulu sang Mawar Brtitania itu sering mengajak anak-anaknya bermain, di awal summer.

Di tengah taman itu, dibangun replika kapal bajak laut, entah apa maksudnya, terbuat dari kayu oak. Kucermati prasastinya, taman ini dibuka untuk umum pada tanggal 30 Juni 2000, sebagai penghormatan kepada sang putri yang sangat mencintai dunia anak-anak yang innocence.

Setiap tahun, tak kurang dari 750 ribu anak-anak dari seluruh dunia yang menikmati taman ini. Anak-anak bisa bermain sepuasnya, melayangkan imajinasi yang dibangkitkan oleh berpuluh-puluh obyek dan beratus mainan yang disediakan. Nampaknya, pengelola taman ini ingin menampilkan suasana Peter Pan, lengkap dengan replika kapal bajak laut-nya.

C
ontinued to London Part-2