30 Januari 2008

Bill


"Hidup ini hanyalah menunggu mati...." Jayasuprana pernah mengucapkan kalimat itu, dengan mimik yang sangat serius. Tidak seperti biasanya, sang kelirumolog itu biasanya mengapresiasi segala hal dengan sangat enteng, tapi tidak untuk kematian. Karena hidup ini hanyalah menunggu mati, maka kematian itu sendiri harus disikapi sebagai keniscayaan, dan untuk itu kehidupan harus diisi dengan kesiapan penuh untuk menyongsongnya.

Sederhana memang, dan tatkala kematian itu menjadi kenyataan, maka makna atas pengisian kehidupan itu menjadi sangat relevan. Kematian akan menjadi kosong, tidak bermakna, jika si pelaku tidak pernah mengisi kehidupannya dengan kesiapan yang cukup, untuk menyambut datangnya kematian.

Dalam sepekan ini, setidaknya kita menyaksikan betapa kematian bisa mengharu-biru. Bangsa Indonesia telah kehilangan beberapa putra terbaiknya. Pak Harto berpulang, Pak Jusuf Ronodipuro juga surut ing kasedan jati. Keduanya memang memiliki arti dan keistimewaan bagi bangsa ini. Namun, ada yang terlupakan, setidaknya dari pantauan media massa, bahwa selain dua tokoh besar itu, Indonesia juga telah ditinggalkan senimannya, Bill Saragih.

Di kalangan jazz, Bill adalah pilar besar. Banyak hal yang telah diperbuat untuk jazz di Indonesia. Dedikasi dan loyalitasnya sungguh mengagumkan. Setidaknya itu yang bisa saya lihat dan rasakan ketika bergaul dengannya. Ia selalu memberikan apresiasi terhadap musisi muda.

Bagi yang belum pernah bergaul dengannya, ejekan kepada player muda terasa sangat menyakitkan, dan bahkan tidak jarang sangat sarkastis. Lepas mengejek, ia tidak berhenti, diajarkannya jurus-jurus yang benar untuk mengobati ejekan itu. Hasilnya, anak-anak muda akan tahu bagaimana cara Bill mengajarkan ilmunya.

Bill sangat precise. Ia mengenal betul presisi nada, bahkan dalam tataran plus minus dalam intensitas yang sangat kecil sekali pun. Suatu saat, ia mengomentari tone alto sax sparring partner-nya, anak muda yang meniup saxophone ala anak sekolahan. Bagi yang tidak peka, tone itu terdengar biasa-biasa saja, wajar, dan nadanya tepat. Namun di telinga Bill tone itu dinilainya tidak precise. Ia mampu mendengar "sepersekian" step terlalu tinggi, yang tidak mampu didengar oleh orang lain. Sampai di sini, naluri keempuannya ia tunjukkan. Tidak sekadar menyuruh sang player muda untuk membetulkan letak mouthpiece sax-nya, tetapi sekaligus memberikan contoh nada yang tepat.

Catatan lain, Bill adalah apresiator yang tulus. Setiap konsernya terasa segar. Ia entertainer sejati. Suatu saat, di belakang panggung Jak Jazz, ia pernah "memarahi" Indra Lesmana, yang dinilainya terlalu asyik dengan dirinya sendiri ketika berada di atas panggung. Ia mengingatkan, bahwa kehadiran penonton, yang notabene sudah meluangkan waktu dan juga biaya, harus diberikan apresiasi yang pantas.

Rasanya terlalu banyak sisi indah yang ditinggalkannya, meski ada pula sisi lain (yang sebagian orang menilainya) negatif, rasanya saya tidak pantas untuk mengungkap dalam tulisan ini. Bagaimana pun Bill Saragih juga manusia (meminjam kredo band Seurieus). Meskipun beliau putera Batak tulen, saya, sebagai orang Jawa tidak segan-segan untuk bersikap mikul dhuwur mendhem jero kepada almarhum.

Selamat jalan Oom Bill, dedikasimu, loyalitasmu, asketismemu pada jazz telah menjadi monumen yang abadi di blantika jazz tanah air. ***