23 Januari 2008

Dewabrata


Siapa yang berhak atas sejarah? Dunia selalu diliputi subjektivitas. Kebenaran sejarah selalu melekat pada rezim. Erat sekali. Kebenaran bersaput subjektivitas itulah yang seringkali menjadi bias, ketika sejarah dimaknai sebagai catatan-catatan yang dilekatkan pada entitas eksistensi rezim dan kekuasaan.

Hari itu, dalam pasamuan agung Negeri Astina, lengkap berjajar para priyagung penguasa negeri subur itu. Semua tertunduk, kelu, tak terkecuali Duryudana. Pisowanan agung yang sedianya membahas kelangsungan tahta itu mendadak terhenti. Sebelumnya, perdebatan sengit terjadi ketika muncul kekhawatiran akan tumbuhnya negeri Amarta, yang di luar dugaan para priyagung Astina.

Resi Bisma tiba-tiba menguak kebekuan. Dengan suaranya yang dalam dan berwibawa, ia memulai pembicaraan baru. Suasana sedikit cair. Semua orang yang hadir, satu persatu ditanya, adakah yang mampu menjelaskan sejarah kelahiran negeri besar ini? Arahnya sangat jelas, masalah tahta yang selalu diungkit setiap kali, selalu saja bermuara pada titik yang sama: bagaimana cara melenyapkan para Pandawa.

Mengapa Bisma memulai dengan bertanya tentang sejarah? Ya, sejarah adalah bagian dari masa lalu, yang terkait dengan jelas pada kondisi kekinian, sampai detik di mana pisowanan agung itu digelar. Semua bungkam, ada yang tidak tahu, ada pula yang pura-pura tidak tahu, bahkan ada yang tidak mau tahu. Itulah dinamika politik Astina.

Bisma, jelas dialah yang secara genealogy paling berhak atas tahta panas yang diperebutkan trah Barata itu. Hanya karena ia memegang teguh janji, maka semua kenikmatan tahta yang diperebutkan itu telah menjadi fatamorgana masa lalu, yang telah jauh hari ia singkirkan, demi sebuah janji luhur yang telah ia ucapkan.

Dalam pisowanan agung itu, komitmen janji kembali ia tunjukkan ke semua orang. Bisma memulai mengurai sejarah Astina yang kini terlupakan. Semua masih terdiam.

Setelah Prabu Sentanu tidak lagi tega melarung anaknya yang ke sembilan, bayi tampan bernama Dewabrata ia besarkan sendirian. Seorang raja yang sekaligus duda beranak satu. Dengan mata berkaca-kaca, Bisma memulai mengurai sejarah Astina. Ketika negeri Wiratha menggelar sayembara pilih, dengan taruhan sang permata kedhaton Dewi Durgandini, berangkatlah Prabu Sentanu melamar Durgandini. Hari-hari sebelum sayembara itu digelar, Durgandini telah menetapkan satu syarat kepada ayahnya. Ia hanya mau dilamar oleh ksatria yang datang menggendong bayi lelaki.

Mengapa? Tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya Dewi Durgandini telah melahirkan anak lelaki dari calon suaminya, Prabu Palasara. Dengan taktik seperti itu, ia sangat berharap dalam moment itu ia akan dipertemukan dengan Prabu Palasara yang akan datang menggendong anak kandungnya, Abiyasa.

Malang tak dapat ditolak, harapan akan datangnya Prabu Palasara menggendong Abiyasa ternyata tidak tercapai. Ia datang terlambat. Yang datang lebih dulu justru Prabu Sentanu yang menggendong Dewabrata. Sorak-sorai pun memecah keheningan. Dewi Durgandini telah menemukan jodohnya, sayembara pilih telah usai, demikian pengumuman resmi itu berkumandang.

Tak ingin mencabut persyaratan itu, dengan berat hati Dewi Durgandini bersedia diperistri Prabu Sentanu, raja agung negeri Astinapura. Persyaratan kembali ia berikan. Durgandini hanya mau diperistri Prabu Sentanu dengan syarat jika kelak anaknya lahir laki-laki, maka ialah yang berhak atas tahta negeri Astina.

Sejenak menjadi hening, beku. Prabu Sentanu sadar bahwa sudah ada Dewabrata, sang Bisma kecil yang seharusnya paling berhak atas tahta itu. Sentanu pun menjadi gamang. Pesta pernikahan ditunda sampai Dewabrata dewasa dan bisa diajak berembug.


Di saat kedewasaan telah tiba, Dewabrata kembali diutus ayahnya untuk melamar ulang Dewi Durgandini. Kembali persyaratan itu diangkat ke permukaan. Sampai di titik ini, sikap ksatria Dewabrata kembali diuji.

"Tidak masalah bagiku untuk tidak menduduki tahta Astina, wahai bundaku" ujarnya takzim.

"Aku percaya dengan kata-katamu wahai Dewabrata, tetapi bagaimana dengan anak turunmu kelak?" lanjut Dewi Durgandini.

"Ibundaku, jika memang itu yang Bunda khawatirkan, maka aku bersumpah demi bumi dan langit serta ke haribaan para dewa, aku tidak akan menikah selama hidupku" ujarnya tegas.

Langit seakan pecah, sumpah wadat itu telah jatuh, dan disaksikan bumi langit seisinya. Para dewa di khayangan pun menjadi saksi. Jutaan bidadari turun ke bumi, menyambut sumpah wadat sang ksatria utama.

Hari demi hari, dari pernikahan Prabu Sentanu dan Dewi Durgandini membuahkan dua anak lelaki, Wicitrawirya dan Wicitrasena. Sayang, belum sampai menduduki tahta, keduanya meninggal. Dalam kondisi kekosongan itu, kembali kearifan dan mentalitas Bisma diuji. Janji wadat itu tetap mampu mengalahkan manisnya tawaran tahta Astina.

Di tengah dilema, Bisma tetap tidak bergeming, dan keputusan besar pun ditempuh. Tiada pilihan lain, diundanglah putra Dewi Durgandini yang lahir dari dari Prabu Palasara untuk menduduki tahta. Saat itulah tahta Astina sudah lepas dari pancer-nya. Trah Barata telah terputus. Abiyasa yang akhirnya menduduki tahta, dari sana pulalah pancer baru itu melahirkan keturunannya, Kurawa dan Pandawa.

Suasana tetap hening, burung kutilang di pucuk kemuning, yang kicaunya jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk bangsal Prabayasa kini terdengar jelas, jernih sekali. Sejarah panjang Astina, yang telah dibeberkan Bisma dengan sangat wijang pun tetap tidak mampu menutup subjektivitas. Perang besar, Baratayuda tetap saja terjadi.

Hanya kearifan dan keteguhan Bisma, sang ksatria sejati, yang tidak mampu dihapus hanya oleh sekadar subjektivitas penulisan sejarah. ****