17 Januari 2008

Ekonomi Makro vs Kearifan Lokal


Bila tidak menarik pelajaran dari kesalahan-kesalahannya, maka negara yang bersangkutan akan terkutuk untuk mengulangi kembali sejarah tersebut. (George Santayana)


Sengaja saya mengutip kata-kata bijak yang dilontarkan oleh seorang sastrawan dan filsuf termasyhur Amerika berdarah Hispanik, George Santayana, semata-mata karena kalimat bijak itu sangat tepat (precise) untuk menjadi sebuah "peringatan" (warning) bagi bangsa yang sudah terlalu lama berada dalam kesulitan ini.

Bangsa Indonesia, sepanjang sejarahnya telah melalui berbagai pembabakan. Mulai dari era kejayaan Nusantara lama (Sriwijaya dan Majapahit), yang tak lama setelah keruntuhannya segera disambut oleh era kolonialisme yang menyakitkan, sampai dengan era kemerdekaan yang di dalamnya juga telah terisi dengan lembaran-lembaran sejarah perekonomian yang kelam. Sesungguhnya, sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.

Jika suatu bangsa dengan sengaja melupakan catatan faktual sejarah, maka bangsa itu tidak akan pernah mencapai kemakmuran dan kecerdasan. Bahkan sangat mungkin akan menjadi sebuah blunder, yang dapat menjerumuskan bangsa itu ke tataran yang lebih hina dari seekor keledai. Bukankah seekor keledai yang bodoh sekalipun tidak pernah terantuk batu yang sama?

Sebagaimana yang kita dapatkan dari teori ekonomi pembangunan yang kita pelajari di bangku kuliah dan juga berdasarkan pengalaman sejarah, sistem ekonomi pasar selalu mengalami pasang surut yang dapat digambarkan dalam sebuah kurva konjungtur ekonomi. Kurva tersebut terdiri dari beberapa bagian, antara lain: masa pertumbuhan, masa puncak kemakmuran (peak of wealth), masa kemunduran, masa keterpurukan (peak of crises). Setelah krisis dapat teratasi, maka akan disambung dengan masa pemulihan (recovery), pertumbuhan, dan seterusnya hingga membentuk seperti gelombang sinus.

Ditinjau dari periode waktunya, masing-masing babak memiliki durasi yang hampir konsisten, yaitu membentuk siklus waktu yang relatif tidak jauh berbeda antara gelombang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, gabungan dari gelombang-gelombang siklus ekonomi tersebut dapat ditarik menjadi kesimpulan yang dikenal dengan konjungtur perekonomian.

Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia sejak era kemerdekaan sampai sekarang, panjang gelombang tersebut dapat dikategorikan dalam gelombang jangka pendek (tujuh tahunan) dan gelombang jangka panjang (35 tahunan).

Masing-masing tahap dalam siklus tersebut telah ditandai dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada periode sebelum dan sesudahnya. Misalnya, pada periode Ekonomi Konglomerasi, periode ini dipicu oleh liberalisasi sektor perbankan, yang disusul dengan tumbuhnya imperium usaha konglomerasi yang bermunculan seperti cendawan di musim hujan.

Pada periode tersebut ditandai dengan pembangunan ekonomi bersifat sentralistis, rezim penguasa yang otoriter, serta birokrasi yang korup. Pembangunan yang "kebablasan" tersebut akhirnya mengantar bangsa besar ini ke arah periode krisis yang menyakitkan.

Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah tumbuhnya kesadaran akan kekeliruan strategi pembangunan yang dilakukan selama ini. Oleh karena itu, periode ini segera disambung dengan babak baru yang lebih membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, dengan didukung oleh iklim dan perhatian negara yang memadai. Era ini oleh banyak ekonom dikenal dengan era ekonomi kerakyatan, dengan segala pro kontra yang menyertainya.

Tulisan pendek ini hanya akan difokuskan pada dua isu besar yang pernah mengemuka, yaitu isu globalisasi ekonomi dan pembahasan pada periode krisis ekonomi. Dua isu besar ini sangat relevan untuk diangkat, sehubungan dengan besarnya pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Isu globalisasi telah membuat "kalang kabut" negara-negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur ekonomi yang memadai. Di lain pihak, isu globalisasi ini menjadi semacam "bahan bakar" bagi negara-negara maju untuk meningkatkan ekselerasi pertumbuhan ekonomi dan penetrasi ke pasar internasional.

Isu Globalisasi

Salah satu refleksi dari kegagapan bangsa Indonesia dalam menyikapi sejarah ekonominya adalah ketika dihadapkan pada isu santer yang dikenal dengan globalisasi, yang di dalamnya terkandung sejumlah obsesi, tantangan, konsekuensi, dan harapan akan kehidupan di masa depan. Globalisasi ekonomi hanya membuat makmur sebagian kecil orang (atau negara) di dunia ini, tetapi lebih banyak orang (bangsa/negara) yang dibuat susah, repot dan capek. Melelahkan.

Jika kita mau belajar dari sejarah, globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru dalam kancah panjang ekonomi Indonesia. Jauh hari sebelum muncul nation state, arus perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak lama. Jauh hari sebelumnya, perdagangan regional juga telah membuat interaksi antarsuku bangsa terjadi secara alamiah, natural.

Dua dekade menjelang Perang Dunia I, arus uang internasional telah mempererat ikatan antara negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik. Sementara itu, bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan portofolionya, dari Argentina terus melingkar Pasifik hingga ke Singapura. Namun demikian, sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia, gelombang globalisasi pun juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan yang melatarbelakangi adalah adanya tarik-menarik antara paham internasionalisme dengan paham nasionalisme atau bahkan dengan isolasionisme.

Dicermati dari segi intensitas dan cakupannya, sebenarnya gelombang globalisasi yang melanda seluruh dunia sejak dekade 1980-an telah jauh berbeda dari gelombang yang sama pada periode sebelumnya. Proses konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tidak saja merambah di segala bidang (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ideologi), melainkan juga telah menjamah ke dalam tataran sistem, proses, pelaku, dan events. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya selalu berjalan dengan mulus. Ada kecenderungan bahwa gelombang globalisasi yang dahsyat menerpa itu ternyata juga disertai dengan fragmentasi.

Dewasa ini, banyak ekonom dan kritikus yang memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, oleh karena itu terjangan arusnya tak mungkin dapat dibendung lagi. Pandangan semacam ini muncul sebagai reaksi atas pendapat sebagian (kecil) ekonom yang justru prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan sangat rentan dengan gejolak. Terutama akibat dari arus finansial global yang semakin "liar". Padahal, kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki daya tahan (dan daya saing) yang cukup untuk terlibat langsung dalam kancah lalu-lintas finansial global, yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial negara, dan cenderung semakin sulit untuk dikontrol oleh pemerintah sebuah negara yang berdaulat.

Globalisasi juga dikhawatirkan akan memunculkan suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu eksploitasi oleh financial-driven economy terhadap good-producing economy. Kelompok pertama memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya "semu". Artinya, transaksi yang mereka lakukan sebenarnya tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. Ini semua terjadi karena "uang" dan "aset finansial" lainnya saling diperdagangkan sebagaimana halnya sebuah komoditas.

Bagaimanapun juga, sektor finansial tidak pernah terlepas kaitannya dengan sektor riil. Keberadaan sektor finansial, dengan segala bentuk kerumitan instrumen dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya, tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Sehebat dan secanggih apa pun sektor finansial itu, pada intinya mereka tetap merupakan fasilitator bagi eksistensi sektor riil.

Jika dalam kenyataan kini makin nampak bahwa kedua sektor ini telah mengalami lepas kaitan (decoupling), maka masyarakat tinggal menunggu waktu akan datangnya kehancuran peradaban. Atau (minimal) bersiap-siap untuk hidup dalam kegemerlapan artifisial dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi kita untuk sungguh-sungguh mengupayakan terbentuknya suatu tatanan baru, yang menempatkan kembali sektor finansial pada fungsinya yang hakiki.

Sayangnya, dewasa ini kita hidup dalam alam realitas yang sudah terlanjur menempatkan uang dan perangkat finansial lainnya sebagai suatu komoditas. Telah banyak negara yang tersungkur dan terseret oleh arus permainan kapitalisme finansial yang berperilaku semakin "buas". Suatu perekonomian yang menapaki tahap demi tahap perkembangan, yang telah ditumbuhkan oleh peluh keringat berjuta-juta rakyatnya, tiba-tiba saja bisa diluluh-lantakkan dalam sekejap dengan cara mengguncang nilai mata uangnya (Lenin’s dictum) hingga tersungkur tanpa kekuatan untuk membela diri.

Sebetulnya, kesadaran akan buasnya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang ini sudah mulai tumbuh. Di antaranya justru datang dari kalangan pemikir Barat sendiri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Hanya anehnya, justru kesadaran seperti itulah yang saat ini kurang muncul di negara kita (dan negara berkembang pada umumnya) sehingga secara "sukarela" mereka mau menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang sangat "buas" ini.

Pemikiran-pemikiran alternatif sebagaimana sudah sangat sering dilontarkan oleh ekonom seperti Mubyarto (Alm) atau juga oleh para "ekonom nyentrik & kontemporer" lain seperti Hartojo Wignjowijoto, atau Sritua Arief, nampaknya perlu diwartakan dan ditawarkan kepada masyarakat dunia, untuk benar-benar menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat. Tentu saja, gagasan bagi terbentuknya tatanan baru itu membutuhkan waktu dan pengkajian yang cermat. Target awal yang paling penting dari semua itu adalah memunculnya kesadaran masyarakat akan rapuh dan rentannya sistem yang berlaku sekarang ini.

Sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini nyata-nyata telah mendorong perilaku konsumtif masyarakat dan telah menyeret begitu jauh perekonomian nasional untuk tumbuh secara instant. Hanya negara-negara kaya dengan perangkat kelembagaan ekonomi politik yang mantaplah yang bisa mengeliminasikan dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global ini.

Negara-negara yang kuat tidak perlu lagi bergelimangan peluh untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mereka cukup melakukan rekayasa finansial yang menghasilkan kemelimpahan dana untuk membeli berbagai macam kebutuhan fisiknya. Sebaliknya, negara-negara yang menghasilkan produk riil (barang) tidak pernah bisa menikmati hasil yang layak. Sebelum peluh mereka mengering, nilai uang riil yang dihasilkan itu telah disedot oleh gejolak kurs dan tercekik oleh tingginya suku bunga. Bukankah hidup di dunia seperti ini sungguh sangat berisiko bagi peradaban umat manusia itu sendiri?

Perilaku ekonomi yang "tidak wajar" seperti itu tidak hanya dilakukan oleh para aktor pasar finansial internasional sekaliber George Soros, tetapi juga telah meracuni para pelaku bisnis di Indonesia. Hampir semua imperium bisnis di Indonesia telah melakukan beragam rekayasa finansial, sehingga memungkinkan mereka menjelma dalam bentuk gurita konglomerasi secara instant. Langkah mereka semakin mulus setelah disangga oleh sistem politik yang otoriter dan birokrasi yang korup.


Krisis Ekonomi

Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia terus menerus mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.

Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter di akhir milenium lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.

Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, kearifan lokal beserta sumber daya yang mendukungnya seperti sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.

Kedua, rezim pemerintahan (sejak Orde Baru hingga kini) yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor tradisional. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.

Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. State-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.

Ketiga, rezim yang korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.

Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan (tapi pasti) telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik itu.

Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998 yang lalu.

Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

Penutup

Tumbangnya imperium konglomerasi membuat indikasi di atas semakin kuat. Bahwa sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara "habis-habisan" (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.

Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu kearifan ekonomi lokal yang dulu pernah populer dengan jargon “ekonomi rakyat”. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah "gulung tikar" sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.

Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi sektor ekonomi tradisional? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya.

Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi tradisional dan sektor informal sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah. ***

Apa dan Bagaimana Kode Akses SLJJ



Beberapa minggu lalu di media
massa ramai dengan perdebatan mengenai kode akses SLJJ. Dari polemik itu nampak jelas tarik menarik antara operator dengan regulator. Sayangnya, wacana yang muncul tidak memberikan kejelasan tentang duduk persoalan masalah ini, terlebih bagi masyarakat awam. Kecenderungan polemik justru mulai berbelok dari episentrumnya. Tulisan ini mencoba untuk memberikan pemahaman yang lebih sederhana tentang apa dan bagaimana kode akses SLJJ, beserta dampak yang ditimbulkan terhadap operator, terlebih lagi terhadap masyarakat pengguna telekomunikasi.

Ide dasar kebijakan kode akses SLJJ tidak terlepas dari tekad pemerintah untuk mengakhiri era monopoli di sektor telekomunikasi. Pengakhiran monopoli tersebut ditandai dengan diakhirinya hak eksklusif PT Telkom atas layanan lokal dan SLJJ, serta PT Indosat untuk layanan SLI. Kedua operator ini diberikan lisensi sebagai penyelenggara penuh (full service and network provider) untuk ketiga layanan tersebut.


Mengapa Diperlukan Kode Akses

Kebijakan kode akses SLJJ sejalan dengan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 19 yang mengamanatkan bahwa: Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi. Artinya, operator tidak dibenarkan “memaksa” pelanggannya untuk hanya menggunakan jasa dan atau jaringan tertentu.

Contoh implementasi kebijakan ini terlihat dalam penyelenggaraan SLI, pelanggan seluler bisa dengan bebas menggunakan SLI 007 (Telkom), maupun 001 dan 008 (Indosat). Telkom tidak dibenarkan memaksa pelanggannya untuk hanya bisa menggunakan SLI 007 miliknya, sebaliknya pelanggan Indosat pun juga bebas untuk menggunakan jasa SLI 007 dan tidak harus dengan SLI 001 atau 008. Kalau pelanggan tidak menentukan preferensi SLI tertentu, maka ia cukup mengawali panggilan SLI-nya dengan prefiks ”+” yang artinya ia menyerahkan kepada operatornya untuk memilihkan jaringan SLI yang akan digunakan.

Dengan diberikannya lisensi penyelenggaraan SLJJ kepada Indosat, maka masyarakat seharusnya telah memiliki pilihan akan jasa SLJJ, melalui SLJJ Telkom atau Indosat. Untuk memilih jasa SLJJ tersebut, diperlukan sarana berupa kode akses. Pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya adalah dalam SLI. Pada waktu era monopoli, panggilan SLI dilakukan hanya dengan prefiks “00”. Setelah penyelenggara SLI lebih dari satu operator, maka angka awalan “00” tidak bisa lagi dipergunakan. Setelah prefiks “00”, pelanggan harus memilih apakah melalui kode akses SLI Indosat 00-1 ataukah melalui kode akses SLI Satelindo 00-8.

Analogi yang sama diperlukan ketika pelanggan ingin memilih jasa SLJJ. Telkom telah memilih kode akses SLJJ 017 dan Indosat telah memilih 011. Dengan demikian, jika pelanggan ingin melakukan panggilan SLJJ, maka yang dilakukan haruslah memilih terlebih dahulu operator SLJJ yang akan digunakan menyalurkan panggilannya. Misalnya, jika akan memanggil PSTN Surabaya melalui SLJJ Telkom maka pelanggan harus menekan 01731+nomer tujuan, atau 01131+nomer tujuan jika ingin melalui SLJJ Indosat. Begitulah kira-kira gambaran sederhana dan ide dasar mengapa kode akses SLJJ diperlukan.

Kesulitan penerapan terjadi karena secara teknis ternyata sentral-sentral Telkom tidak siap mengakomodasikan kebijakan ini. Diperlukan biaya yang besar untuk meng-up grade sentral-sentral tua tersebut. Selain itu, atas dasar kendala bisnis dan sosial, maka kebijakan ini tidak segera bisa diimplementasikan. Misalnya, jika kebijakan ini serta-merta diterapkan sesuai dengan KM. 4 tahun 2000 tentang Fundamental Technical Plan (FTP) Nasional, maka akan terjadi kerugian publik yang cukup besar, yaitu tingginya angka kegagalan panggil (reject call). Hal ini menyangkut kebiasaan masyarakat, yaitu hanya dengan menekan awalan 0 untuk melakukan panggilan SLJJ.

Untuk mengatasi masalah ini, maka diambil jalan tengah dengan dirilisnya KM. 28 tahun 2004, yang intinya antara lain memperbolehkan prefiks “0” dipergunakan sebagai default masing-masing operator SLJJ. Artinya, jika pelanggan Telkom tidak memilih jasa SLJJ tertentu dan hanya menekan awalan “0” diikuti kode area dan nomer tujuan, maka otomatis panggilan ini akan disalurkan melalui jaringan SLJJ Telkom. Demikian sebaliknya, jika pelanggan Indosat hanya menekan awalan nol, maka akan disalurkan melalui SLJJ Indosat. Awalan “0” dapat diartikan bahwa pelanggan tidak memilih jasa SLJJ tertentu, dalam terminologi SLI hal ini sama dengan kalau pelanggan mengawali panggilan SLI dengan menekan prefiks “+”.

Bagi masyarakat, dengan dibukanya kompetisi pasar SLJJ tersebut tentunya akan memberikan keuntungan berupa tarif dan kualitas SLJJ yang bersaing. Selama ini masyarakat tidak mempunyai pilihan ketika melakukan panggilan SLJJ.


Mitos dan Kenyataan

Kondisi smooth yang terjadi di SLI tersebut ternyata tidak identik dengan yang terjadi di layanan SLJJ. Sampai sekarang, Telkom belum bersedia membuka kode akses SLJJ kompetitornya pada jaringannya. Artinya, pelanggan Telkom belum bisa menggunakan jasa SLJJ Indosat 011 untuk panggilan SLJJ- nya.

Dengan diberikannya lisensi SLJJ kepada Indosat beberapa tahun lalu, seharusnya mereka segera bisa memasarkan SLJJ-nya kepada semua pelanggan telepon, tidak peduli pelanggan itu ”milik” siapa. Dengan demikian, semua pelanggan telepon berhak untuk memilih jasa SLJJ mana yang paling menguntungkan baginya.

Di luar aspek teknis sebagaimana disebut di atas, masih terdapat beberapa keberatan dari Telkom. Di antara beberapa keberatan tersebut, terdapat mitos-mitos yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara empiris maupun akademis. Mitos-mitos tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, adanya kerugian masyarakat karena harus mengubah cetakan nomer telepon dalam kartu nama, kop surat, papan nama kantor, dan barang-barang lain yang memerlukan cetakan nomer telepon dalam alamatnya.

Hal ini tidaklah benar, kode area suatu wilayah tidak berubah dengan adanya kebijakan ini. Jakarta tetap 021, Bandung tetap 022, Semarang tetap 031, Yogyakarta tetap 0274, dan seterusnya. Yang berubah hanyalah cara untuk menuju kode area tersebut, apakah melalui Telkom dengan awalan 017 (atau cukup ”0” bagi pelanggan Telkom) atau melalui Indosat dengan prefiks ”011” (atau cukup ”0” bagi pelanggan Indosat). Sekali lagi, bukankah dengan adanya kode akses SLI kita tetap saja mencantumkan kode negara Indonesia dengan +62 (tidak 00162 atau 00762).

Mitos kedua adalah “konon” dengan dimanfaatkannya basis pelanggan Telkom oleh operator lain (Indosat) dengan kode akses SLJJ menyebabkan Telkom “gigit jari” alias tidak mendapatkan apa-apa. Isu ini jelas salah total, mengingat setiap panggilan akan dihitung network element cost-nya. Jika pelanggan Telkom Jakarta menghubungi pelanggan Telkom Bandung dengan menggunakan jasa SLJJ Indosat, maka pola kliring akan dilakukan, yaitu Telkom akan memperoleh bagian pendapatan dari penggal originasi lokal dan terminasi lokal, sedang Indosat hanya akan memperoleh komponen SLJJ-nya. Secara bisnis, Telkom masih juga berhak untuk bernegosiasi dengan operator lain mengenai biaya pungut (collecting cost) dan biaya costumer retention yang semua itu diserahkan sepenuhnya atas kesepakatan bisnis kedua pihak.

Meskipun pola SLJJ dengan kode akses seperti di atas nampak sangat mudah dilakukan Indosat, sehingga “seakan-akan” Indosat hanya tinggal mengail ikan tanpa harus menyiapkan kolamnya, sesungguhnya tidaklah sedemikian mudah bagi Indosat untuk masuk ke pasar SLJJ ini. Harus diingat bahwa pertemuan antara jartap lokal dengan jartap SLJJ terjadi di level trunk exchange (bukan di sentral lokal), sehingga jika kota tujuan SLJJ bukan merupakan kota yang terdapat trunk Indosat, maka Indosat hanya mampu membawa sampai dengan trunk terdekat. Selanjutnya, Telkom yang akan meneruskan panggilan tersebut sampai ke kota tujuan. Konsekuensinya, Telkom akan men-charge interkoneksi Indosat dengan tarif terminasi jarak jauh, yang saat ini tarif interkoneksinya sebesar Rp 850 per menit. Dengan demikian, untuk tujuan kota di luar trunk Indosat, seberapa rendah Indosat akan membanting harga SLJJ-nya, tentu tidak akan mampu bersaing dengan Telkom (how low can you go !).

Mitos ketiga, adalah tidak seimbangnya jumlah pelanggan yang dimiliki masing-masing operator. Telkom telah memiliki 8,5 juta pelanggan fixed line dan sekitar 5 juta FWA dihadapkan pada jumlah pelanggan FWA Indosat yang hanya sekitar 500 ribu pelanggan.

Jika hanya ditinjau dari jumlah pelanggan telepon tetap, memang antara Telkom dan Indosat tidaklah seimbang. Hal ini tidak terjadi begitu saja, selama puluhan tahun memegang hak monopoli penyelenggaraan jartap lokal, otomatis hanya Telkomlah yang bisa mambangun basis pelanggan. Dengan demikian, jika operator baru dituntut untuk membangun basis pelanggan telepon tetap sebagaimana yang telah dimiliki oleh Telkom hal ini sangatlah mustahil, mengingat titik start keduanya tidak bersamaan.

Yang justru perlu juga dipertimbangkan adalah pelanggan telepon bergerak seluler yang jumlahnya kini telah menyentuh angka 80 juta dan pelanggan FWA operator lain yang sudah hampir mencapai 5 juta pelanggan. Dengan dibukanya kode akses SLJJ di semua operator, maka angka pelanggan Telkom yang 13,5 juta tersebut justru yang menjadi tidak seimbang dengan keseluruhan pelanggan yang akan menikmati jasa SLJJ.

Jika manajemen Telkom jeli dan inovatif, sesungguhnya hal ini justru menjadi peluang bagi mereka untuk memasarkan jasa SLJJ-nya kepada 85 juta pelanggan operator lain. Peluang tersebut sangat terbuka, mengingat regulasi masih memberikan hak transit kepada penyelenggara jartap. Telkom sesungguhnya dapat menawarkan kepada operator lain untuk menjadikan “SLJJ 017” mereka sebagai pilihan bagi jaringan SLJJ yang akan digunakan untuk menyalurkan trafik. Inilah peluang bisnis yang dimaksudkan.

Dengan demikian, jika penerapan kode akses ini menyebabkan basis pelanggan Telkom sebanyak 13,5 juta (8,5 juta fixed dan 5 juta FWA) merasa “dimanfaatkan” orang lain, maka sesungguhnya Telkom pun juga dapat melakukan hal yang sama terhadap 85 juta pelanggan operator lain.

Mitos keempat, kebijakan ini tidak adil karena penyelenggara baru cukup membangun Sentral Gerbang SLJJ (gateway) tanpa diwajibkan untuk membangun jaringan pelanggan untuk meningkatkan angka teledensitas.

Secara teknis memang penyelenggara jasa SLJJ diwajibkan membangun backbone dan gerbang SLJJ di kota-kota di mana mereka akan berinterkoneksi. Masalah kode akses ini sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan pembangunan jaringan pelanggan dan teledensitas. Mengapa? Dua hal tersebut (pembangunan dan teledensitas) merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, dan semuanya sudah tercantum dalam lisensi yang dimiliki. Artinya, Indosat pun juga sudah diikat dengan kewajiban membangun yang sangat jelas dan tegas dalam lisensinya, kapan harus membangun, di lokasi mana, dan dalam jumlah kapasitas berapa, semua tercantum dengan jelas dan tegas.

Kewajiban membangun semacam ini tidak hanya diberlakukan pada satu operator saja, tetapi kepada semua operator juga diberikan kewajiban yang proporsional dan semua sudah tercantum jelas dalam modern license yang dipegangnya. Tugas regulator adalah memantau apakah komitmen pembangunan tersebut sudah dilakukan ataukah belum, jika memang operator yang bersangkutan tidak/belum memenuhi kewajibannya, maka sudah terdapat aturan yang jelas tentang penalti apa yang harus dibebankan kepada mereka. ***