17 Januari 2008

Apa dan Bagaimana Kode Akses SLJJ



Beberapa minggu lalu di media
massa ramai dengan perdebatan mengenai kode akses SLJJ. Dari polemik itu nampak jelas tarik menarik antara operator dengan regulator. Sayangnya, wacana yang muncul tidak memberikan kejelasan tentang duduk persoalan masalah ini, terlebih bagi masyarakat awam. Kecenderungan polemik justru mulai berbelok dari episentrumnya. Tulisan ini mencoba untuk memberikan pemahaman yang lebih sederhana tentang apa dan bagaimana kode akses SLJJ, beserta dampak yang ditimbulkan terhadap operator, terlebih lagi terhadap masyarakat pengguna telekomunikasi.

Ide dasar kebijakan kode akses SLJJ tidak terlepas dari tekad pemerintah untuk mengakhiri era monopoli di sektor telekomunikasi. Pengakhiran monopoli tersebut ditandai dengan diakhirinya hak eksklusif PT Telkom atas layanan lokal dan SLJJ, serta PT Indosat untuk layanan SLI. Kedua operator ini diberikan lisensi sebagai penyelenggara penuh (full service and network provider) untuk ketiga layanan tersebut.


Mengapa Diperlukan Kode Akses

Kebijakan kode akses SLJJ sejalan dengan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 19 yang mengamanatkan bahwa: Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi. Artinya, operator tidak dibenarkan “memaksa” pelanggannya untuk hanya menggunakan jasa dan atau jaringan tertentu.

Contoh implementasi kebijakan ini terlihat dalam penyelenggaraan SLI, pelanggan seluler bisa dengan bebas menggunakan SLI 007 (Telkom), maupun 001 dan 008 (Indosat). Telkom tidak dibenarkan memaksa pelanggannya untuk hanya bisa menggunakan SLI 007 miliknya, sebaliknya pelanggan Indosat pun juga bebas untuk menggunakan jasa SLI 007 dan tidak harus dengan SLI 001 atau 008. Kalau pelanggan tidak menentukan preferensi SLI tertentu, maka ia cukup mengawali panggilan SLI-nya dengan prefiks ”+” yang artinya ia menyerahkan kepada operatornya untuk memilihkan jaringan SLI yang akan digunakan.

Dengan diberikannya lisensi penyelenggaraan SLJJ kepada Indosat, maka masyarakat seharusnya telah memiliki pilihan akan jasa SLJJ, melalui SLJJ Telkom atau Indosat. Untuk memilih jasa SLJJ tersebut, diperlukan sarana berupa kode akses. Pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya adalah dalam SLI. Pada waktu era monopoli, panggilan SLI dilakukan hanya dengan prefiks “00”. Setelah penyelenggara SLI lebih dari satu operator, maka angka awalan “00” tidak bisa lagi dipergunakan. Setelah prefiks “00”, pelanggan harus memilih apakah melalui kode akses SLI Indosat 00-1 ataukah melalui kode akses SLI Satelindo 00-8.

Analogi yang sama diperlukan ketika pelanggan ingin memilih jasa SLJJ. Telkom telah memilih kode akses SLJJ 017 dan Indosat telah memilih 011. Dengan demikian, jika pelanggan ingin melakukan panggilan SLJJ, maka yang dilakukan haruslah memilih terlebih dahulu operator SLJJ yang akan digunakan menyalurkan panggilannya. Misalnya, jika akan memanggil PSTN Surabaya melalui SLJJ Telkom maka pelanggan harus menekan 01731+nomer tujuan, atau 01131+nomer tujuan jika ingin melalui SLJJ Indosat. Begitulah kira-kira gambaran sederhana dan ide dasar mengapa kode akses SLJJ diperlukan.

Kesulitan penerapan terjadi karena secara teknis ternyata sentral-sentral Telkom tidak siap mengakomodasikan kebijakan ini. Diperlukan biaya yang besar untuk meng-up grade sentral-sentral tua tersebut. Selain itu, atas dasar kendala bisnis dan sosial, maka kebijakan ini tidak segera bisa diimplementasikan. Misalnya, jika kebijakan ini serta-merta diterapkan sesuai dengan KM. 4 tahun 2000 tentang Fundamental Technical Plan (FTP) Nasional, maka akan terjadi kerugian publik yang cukup besar, yaitu tingginya angka kegagalan panggil (reject call). Hal ini menyangkut kebiasaan masyarakat, yaitu hanya dengan menekan awalan 0 untuk melakukan panggilan SLJJ.

Untuk mengatasi masalah ini, maka diambil jalan tengah dengan dirilisnya KM. 28 tahun 2004, yang intinya antara lain memperbolehkan prefiks “0” dipergunakan sebagai default masing-masing operator SLJJ. Artinya, jika pelanggan Telkom tidak memilih jasa SLJJ tertentu dan hanya menekan awalan “0” diikuti kode area dan nomer tujuan, maka otomatis panggilan ini akan disalurkan melalui jaringan SLJJ Telkom. Demikian sebaliknya, jika pelanggan Indosat hanya menekan awalan nol, maka akan disalurkan melalui SLJJ Indosat. Awalan “0” dapat diartikan bahwa pelanggan tidak memilih jasa SLJJ tertentu, dalam terminologi SLI hal ini sama dengan kalau pelanggan mengawali panggilan SLI dengan menekan prefiks “+”.

Bagi masyarakat, dengan dibukanya kompetisi pasar SLJJ tersebut tentunya akan memberikan keuntungan berupa tarif dan kualitas SLJJ yang bersaing. Selama ini masyarakat tidak mempunyai pilihan ketika melakukan panggilan SLJJ.


Mitos dan Kenyataan

Kondisi smooth yang terjadi di SLI tersebut ternyata tidak identik dengan yang terjadi di layanan SLJJ. Sampai sekarang, Telkom belum bersedia membuka kode akses SLJJ kompetitornya pada jaringannya. Artinya, pelanggan Telkom belum bisa menggunakan jasa SLJJ Indosat 011 untuk panggilan SLJJ- nya.

Dengan diberikannya lisensi SLJJ kepada Indosat beberapa tahun lalu, seharusnya mereka segera bisa memasarkan SLJJ-nya kepada semua pelanggan telepon, tidak peduli pelanggan itu ”milik” siapa. Dengan demikian, semua pelanggan telepon berhak untuk memilih jasa SLJJ mana yang paling menguntungkan baginya.

Di luar aspek teknis sebagaimana disebut di atas, masih terdapat beberapa keberatan dari Telkom. Di antara beberapa keberatan tersebut, terdapat mitos-mitos yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara empiris maupun akademis. Mitos-mitos tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, adanya kerugian masyarakat karena harus mengubah cetakan nomer telepon dalam kartu nama, kop surat, papan nama kantor, dan barang-barang lain yang memerlukan cetakan nomer telepon dalam alamatnya.

Hal ini tidaklah benar, kode area suatu wilayah tidak berubah dengan adanya kebijakan ini. Jakarta tetap 021, Bandung tetap 022, Semarang tetap 031, Yogyakarta tetap 0274, dan seterusnya. Yang berubah hanyalah cara untuk menuju kode area tersebut, apakah melalui Telkom dengan awalan 017 (atau cukup ”0” bagi pelanggan Telkom) atau melalui Indosat dengan prefiks ”011” (atau cukup ”0” bagi pelanggan Indosat). Sekali lagi, bukankah dengan adanya kode akses SLI kita tetap saja mencantumkan kode negara Indonesia dengan +62 (tidak 00162 atau 00762).

Mitos kedua adalah “konon” dengan dimanfaatkannya basis pelanggan Telkom oleh operator lain (Indosat) dengan kode akses SLJJ menyebabkan Telkom “gigit jari” alias tidak mendapatkan apa-apa. Isu ini jelas salah total, mengingat setiap panggilan akan dihitung network element cost-nya. Jika pelanggan Telkom Jakarta menghubungi pelanggan Telkom Bandung dengan menggunakan jasa SLJJ Indosat, maka pola kliring akan dilakukan, yaitu Telkom akan memperoleh bagian pendapatan dari penggal originasi lokal dan terminasi lokal, sedang Indosat hanya akan memperoleh komponen SLJJ-nya. Secara bisnis, Telkom masih juga berhak untuk bernegosiasi dengan operator lain mengenai biaya pungut (collecting cost) dan biaya costumer retention yang semua itu diserahkan sepenuhnya atas kesepakatan bisnis kedua pihak.

Meskipun pola SLJJ dengan kode akses seperti di atas nampak sangat mudah dilakukan Indosat, sehingga “seakan-akan” Indosat hanya tinggal mengail ikan tanpa harus menyiapkan kolamnya, sesungguhnya tidaklah sedemikian mudah bagi Indosat untuk masuk ke pasar SLJJ ini. Harus diingat bahwa pertemuan antara jartap lokal dengan jartap SLJJ terjadi di level trunk exchange (bukan di sentral lokal), sehingga jika kota tujuan SLJJ bukan merupakan kota yang terdapat trunk Indosat, maka Indosat hanya mampu membawa sampai dengan trunk terdekat. Selanjutnya, Telkom yang akan meneruskan panggilan tersebut sampai ke kota tujuan. Konsekuensinya, Telkom akan men-charge interkoneksi Indosat dengan tarif terminasi jarak jauh, yang saat ini tarif interkoneksinya sebesar Rp 850 per menit. Dengan demikian, untuk tujuan kota di luar trunk Indosat, seberapa rendah Indosat akan membanting harga SLJJ-nya, tentu tidak akan mampu bersaing dengan Telkom (how low can you go !).

Mitos ketiga, adalah tidak seimbangnya jumlah pelanggan yang dimiliki masing-masing operator. Telkom telah memiliki 8,5 juta pelanggan fixed line dan sekitar 5 juta FWA dihadapkan pada jumlah pelanggan FWA Indosat yang hanya sekitar 500 ribu pelanggan.

Jika hanya ditinjau dari jumlah pelanggan telepon tetap, memang antara Telkom dan Indosat tidaklah seimbang. Hal ini tidak terjadi begitu saja, selama puluhan tahun memegang hak monopoli penyelenggaraan jartap lokal, otomatis hanya Telkomlah yang bisa mambangun basis pelanggan. Dengan demikian, jika operator baru dituntut untuk membangun basis pelanggan telepon tetap sebagaimana yang telah dimiliki oleh Telkom hal ini sangatlah mustahil, mengingat titik start keduanya tidak bersamaan.

Yang justru perlu juga dipertimbangkan adalah pelanggan telepon bergerak seluler yang jumlahnya kini telah menyentuh angka 80 juta dan pelanggan FWA operator lain yang sudah hampir mencapai 5 juta pelanggan. Dengan dibukanya kode akses SLJJ di semua operator, maka angka pelanggan Telkom yang 13,5 juta tersebut justru yang menjadi tidak seimbang dengan keseluruhan pelanggan yang akan menikmati jasa SLJJ.

Jika manajemen Telkom jeli dan inovatif, sesungguhnya hal ini justru menjadi peluang bagi mereka untuk memasarkan jasa SLJJ-nya kepada 85 juta pelanggan operator lain. Peluang tersebut sangat terbuka, mengingat regulasi masih memberikan hak transit kepada penyelenggara jartap. Telkom sesungguhnya dapat menawarkan kepada operator lain untuk menjadikan “SLJJ 017” mereka sebagai pilihan bagi jaringan SLJJ yang akan digunakan untuk menyalurkan trafik. Inilah peluang bisnis yang dimaksudkan.

Dengan demikian, jika penerapan kode akses ini menyebabkan basis pelanggan Telkom sebanyak 13,5 juta (8,5 juta fixed dan 5 juta FWA) merasa “dimanfaatkan” orang lain, maka sesungguhnya Telkom pun juga dapat melakukan hal yang sama terhadap 85 juta pelanggan operator lain.

Mitos keempat, kebijakan ini tidak adil karena penyelenggara baru cukup membangun Sentral Gerbang SLJJ (gateway) tanpa diwajibkan untuk membangun jaringan pelanggan untuk meningkatkan angka teledensitas.

Secara teknis memang penyelenggara jasa SLJJ diwajibkan membangun backbone dan gerbang SLJJ di kota-kota di mana mereka akan berinterkoneksi. Masalah kode akses ini sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan pembangunan jaringan pelanggan dan teledensitas. Mengapa? Dua hal tersebut (pembangunan dan teledensitas) merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, dan semuanya sudah tercantum dalam lisensi yang dimiliki. Artinya, Indosat pun juga sudah diikat dengan kewajiban membangun yang sangat jelas dan tegas dalam lisensinya, kapan harus membangun, di lokasi mana, dan dalam jumlah kapasitas berapa, semua tercantum dengan jelas dan tegas.

Kewajiban membangun semacam ini tidak hanya diberlakukan pada satu operator saja, tetapi kepada semua operator juga diberikan kewajiban yang proporsional dan semua sudah tercantum jelas dalam modern license yang dipegangnya. Tugas regulator adalah memantau apakah komitmen pembangunan tersebut sudah dilakukan ataukah belum, jika memang operator yang bersangkutan tidak/belum memenuhi kewajibannya, maka sudah terdapat aturan yang jelas tentang penalti apa yang harus dibebankan kepada mereka. ***

Tidak ada komentar: