30 Januari 2008

Bill


"Hidup ini hanyalah menunggu mati...." Jayasuprana pernah mengucapkan kalimat itu, dengan mimik yang sangat serius. Tidak seperti biasanya, sang kelirumolog itu biasanya mengapresiasi segala hal dengan sangat enteng, tapi tidak untuk kematian. Karena hidup ini hanyalah menunggu mati, maka kematian itu sendiri harus disikapi sebagai keniscayaan, dan untuk itu kehidupan harus diisi dengan kesiapan penuh untuk menyongsongnya.

Sederhana memang, dan tatkala kematian itu menjadi kenyataan, maka makna atas pengisian kehidupan itu menjadi sangat relevan. Kematian akan menjadi kosong, tidak bermakna, jika si pelaku tidak pernah mengisi kehidupannya dengan kesiapan yang cukup, untuk menyambut datangnya kematian.

Dalam sepekan ini, setidaknya kita menyaksikan betapa kematian bisa mengharu-biru. Bangsa Indonesia telah kehilangan beberapa putra terbaiknya. Pak Harto berpulang, Pak Jusuf Ronodipuro juga surut ing kasedan jati. Keduanya memang memiliki arti dan keistimewaan bagi bangsa ini. Namun, ada yang terlupakan, setidaknya dari pantauan media massa, bahwa selain dua tokoh besar itu, Indonesia juga telah ditinggalkan senimannya, Bill Saragih.

Di kalangan jazz, Bill adalah pilar besar. Banyak hal yang telah diperbuat untuk jazz di Indonesia. Dedikasi dan loyalitasnya sungguh mengagumkan. Setidaknya itu yang bisa saya lihat dan rasakan ketika bergaul dengannya. Ia selalu memberikan apresiasi terhadap musisi muda.

Bagi yang belum pernah bergaul dengannya, ejekan kepada player muda terasa sangat menyakitkan, dan bahkan tidak jarang sangat sarkastis. Lepas mengejek, ia tidak berhenti, diajarkannya jurus-jurus yang benar untuk mengobati ejekan itu. Hasilnya, anak-anak muda akan tahu bagaimana cara Bill mengajarkan ilmunya.

Bill sangat precise. Ia mengenal betul presisi nada, bahkan dalam tataran plus minus dalam intensitas yang sangat kecil sekali pun. Suatu saat, ia mengomentari tone alto sax sparring partner-nya, anak muda yang meniup saxophone ala anak sekolahan. Bagi yang tidak peka, tone itu terdengar biasa-biasa saja, wajar, dan nadanya tepat. Namun di telinga Bill tone itu dinilainya tidak precise. Ia mampu mendengar "sepersekian" step terlalu tinggi, yang tidak mampu didengar oleh orang lain. Sampai di sini, naluri keempuannya ia tunjukkan. Tidak sekadar menyuruh sang player muda untuk membetulkan letak mouthpiece sax-nya, tetapi sekaligus memberikan contoh nada yang tepat.

Catatan lain, Bill adalah apresiator yang tulus. Setiap konsernya terasa segar. Ia entertainer sejati. Suatu saat, di belakang panggung Jak Jazz, ia pernah "memarahi" Indra Lesmana, yang dinilainya terlalu asyik dengan dirinya sendiri ketika berada di atas panggung. Ia mengingatkan, bahwa kehadiran penonton, yang notabene sudah meluangkan waktu dan juga biaya, harus diberikan apresiasi yang pantas.

Rasanya terlalu banyak sisi indah yang ditinggalkannya, meski ada pula sisi lain (yang sebagian orang menilainya) negatif, rasanya saya tidak pantas untuk mengungkap dalam tulisan ini. Bagaimana pun Bill Saragih juga manusia (meminjam kredo band Seurieus). Meskipun beliau putera Batak tulen, saya, sebagai orang Jawa tidak segan-segan untuk bersikap mikul dhuwur mendhem jero kepada almarhum.

Selamat jalan Oom Bill, dedikasimu, loyalitasmu, asketismemu pada jazz telah menjadi monumen yang abadi di blantika jazz tanah air. ***

24 Januari 2008

Jazz


Di kejauhan, sayup terdengar suara terompet yang di-mute. Aku bergegas, mencari sumber suara itu. Tak peduli dengan dinginnya senja di Rue St. Michel, jantung kota Paris. Langkahku terhenti, tepat di jembatan beton tua, di samping katedral Notre Dame.

Kafe-kafe di sepanjang sungai Seine telah menyalakan lampunya, meski hari belum terlalu gelap. Heater-heater berdiri tegak seperti petromax, telah lebih dulu disulut sesaat sebelum lampu-lampu menyala, membara, mengalirkan kehangatan pada orang-orang yang mengerumuni, di bawah tenda-tenda bundar, sambil menyeruput secangkir kopi pahit.

Senja itu terasa semakin lengkap, ketika suara sayup terompet itu kutemukan episentrumnya. Seorang lelaki kurus, berkulit hitam legam, dengan cuek terus saja meniup. Di samping casing terompetnya yang lusuh, tergeletak beberapa botol vodka murahan, yang sebagian isinya tumpah ke trotoar, serta berserak keping-keping koin Euro pecahan terkecil.

Someday My Prince Will Come, terdengar sangat lembut, melayangkan lamunan penikmatnya ke layar lebar, di mana Snow White dan tujuh kurcaci bercengkerama. Ya, lagu tema film anak-anak itu sangat indah terdengar. Ia tetap saja cuek. Gemerincing lemparan koin, pertanda apresiasi yang sangat murah, disikapinya dengan santai, se-cuek sikapnya mengulum mouthpiece terompetnya. Bahkan untuk sekadar mengucap ”merci”-pun nampak sangat berat untuk ia lakukan.

Dalam ”kekaguman” itu, aku tertarik untuk mengamati lebih dalam. Si kurus hitam itu meniup dengan sepenuh hati. Di balik overcoat-nya yang lusuh, ia tak peduli sekecil apa pun apresiasi yang dibayar orang yang lalu-lalang di jalanan sibuk, seusai penatnya hari kerja. Nampaknya ia percaya, apa yang terjadi pada orang-orang yang berlalu-lalang itu bukanlah urusannya. Tanggung-jawabnya hanya sebatas menyajikan musik dengan asketisme penuh. Itu saja.

Langit senja, di atas Paris, sudah tidak lagi menyisakan rona merahnya. Akhir winter yang dingin masih terasa menyergap. Sikap peniup terompet itu masih saja terngiang di lamunanku. Sikapnya yang pasrah dan cuek, mengingatkan pada sosok Miles Davis, jawara terompet yang hanya kukenali lewat tulisan-tulisan orang, atau sekadar kupelototi dari tayangan You Tube yang serba singkat itu.

Ya, aku yakin benar, Miles Davis, sang legenda itu memang telah menginspirasinya. Tone yang dikeluarkan dari ujung terompetnya adalah persembahan terbaik yang pernah diberikan kepada umat manusia, penikmat jazz. Saya tahu persis, ketika kulirik goresan engrave di terompetnya, tertulis tegas, le Blanc. Aku terhenyak, kenapa orang ini punya instrumen yang mahal itu, sementara (minimal menurutku) hidupnya tidak pernah lepas dari serakan koin-koin pecahan terendah itu?

Pengamen di seantero Paris selalu menyajikan permainan terbaiknya. Sangat berbeda dengan Jakarta, yang pengamennya hanya berbekal crown cap, tutup botol yang disunduk dengan paku, jadilah tamborin ecek-ecek, sekadarnya. Di Paris, mengapa semua pengamen pasti menyajikan permainan terbaiknya, tidak lain karena adanya lisensi. Sebelum dilepas bebas ke jalanan, mereka harus mengantongi lisensi dari pemerintah kota. Tanpa lisensi itu, ia ilegal, dan siap digaruk polisi tanpa ampun.

Sore berikutnya aku coba mencari jawaban atas rasa penasaranku. Kutelusuri kembali lorong-lorong di sekitar Notre Dame. Meski tak kudengar tiupannya, aku berkeyakinan sang peniup terompet itu pasti tak jauh dari titik di mana ia kutemukan tempo hari. Sore ini Rue St. Michel terlalu gaduh, jam pulang kantor hari Jumat lebih awal dari hari lainnya.

Benar saja, kutemukan ia di depan sebuah brasserie. Di tengah kontrasnya udara hangat di balik kafe yang temaram dan dinginnya udara luar yang menusuk sampai ke tulang. Masih seperti kemarin, cuek. Kali ini kudengar Desafinado, repertoar yang sangat akrab ditelingaku lewat tiupan sang maestro Arturo Sandoval.

Lagu yang aslinya ditulis dalam format bosanova itu terasa menjadi renyah ketika ia berjungkir-balik dengan staccato. Mute cap-nya tak lagi dipasang, ia biarkan tiupan udara dari kerongkongannya mengalir bebas dari pipa kuningan berkelok-kelok itu. Sesampai di luar, aliran udara bebas itu bermetamorfosa menjadi tone yang nikmat membuai telinga.

Lagu demi lagu kucermati, mengalirlah When You Wish Upon a Stars, All of Me, Misty, sampai nomor-nomor jazz tradisional Perancis yang tidak mampu kudeteksi judulnya. Sampai di titik ini, saya sangatlah tidak tega untuk hanya sekadar melempar sebutir koin, dalam pecahan tertinggi sekalipun ke casing terompetnya. Apresiasiku terhadap permainannya menuntunku untuk memberinya selembar lima Euro-an. Aku terkejut, orang yang selama ini kulihat sangat cuek, ternyata juga memberi apresiasi kepadaku, berulang kali ia mengucap “merci”, terima kasih, di mana kata itu tak kudengar sekali pun di hari sebelumnya.

Saat kelahirannya, jazz memang marginal. Hanya keuletan dan kegigihan para pelakunyalah yang mampu mengantarkan jazz pada strata yang sangat di perhitungkan dalam percaturan musik dunia. Jazz, metamorfosanya telah dibayar dengan peluh pedih darah dan air mata para pioniernya. Dan ketika di tempat lain jazz telah memiliki komunitas dengan fanatisme penuh, yang mengapresiasinya dengan sangat terhormat, rasanya amat mengejutkan jika ternyata aku masih menemukan kenyataan bahwa jazz juga masih punya sisi gelap, setidaknya seperti yang kutemukan di pinggiran jalan itu, di jantung Paris yang setengah membeku. ***

23 Januari 2008

Dewabrata


Siapa yang berhak atas sejarah? Dunia selalu diliputi subjektivitas. Kebenaran sejarah selalu melekat pada rezim. Erat sekali. Kebenaran bersaput subjektivitas itulah yang seringkali menjadi bias, ketika sejarah dimaknai sebagai catatan-catatan yang dilekatkan pada entitas eksistensi rezim dan kekuasaan.

Hari itu, dalam pasamuan agung Negeri Astina, lengkap berjajar para priyagung penguasa negeri subur itu. Semua tertunduk, kelu, tak terkecuali Duryudana. Pisowanan agung yang sedianya membahas kelangsungan tahta itu mendadak terhenti. Sebelumnya, perdebatan sengit terjadi ketika muncul kekhawatiran akan tumbuhnya negeri Amarta, yang di luar dugaan para priyagung Astina.

Resi Bisma tiba-tiba menguak kebekuan. Dengan suaranya yang dalam dan berwibawa, ia memulai pembicaraan baru. Suasana sedikit cair. Semua orang yang hadir, satu persatu ditanya, adakah yang mampu menjelaskan sejarah kelahiran negeri besar ini? Arahnya sangat jelas, masalah tahta yang selalu diungkit setiap kali, selalu saja bermuara pada titik yang sama: bagaimana cara melenyapkan para Pandawa.

Mengapa Bisma memulai dengan bertanya tentang sejarah? Ya, sejarah adalah bagian dari masa lalu, yang terkait dengan jelas pada kondisi kekinian, sampai detik di mana pisowanan agung itu digelar. Semua bungkam, ada yang tidak tahu, ada pula yang pura-pura tidak tahu, bahkan ada yang tidak mau tahu. Itulah dinamika politik Astina.

Bisma, jelas dialah yang secara genealogy paling berhak atas tahta panas yang diperebutkan trah Barata itu. Hanya karena ia memegang teguh janji, maka semua kenikmatan tahta yang diperebutkan itu telah menjadi fatamorgana masa lalu, yang telah jauh hari ia singkirkan, demi sebuah janji luhur yang telah ia ucapkan.

Dalam pisowanan agung itu, komitmen janji kembali ia tunjukkan ke semua orang. Bisma memulai mengurai sejarah Astina yang kini terlupakan. Semua masih terdiam.

Setelah Prabu Sentanu tidak lagi tega melarung anaknya yang ke sembilan, bayi tampan bernama Dewabrata ia besarkan sendirian. Seorang raja yang sekaligus duda beranak satu. Dengan mata berkaca-kaca, Bisma memulai mengurai sejarah Astina. Ketika negeri Wiratha menggelar sayembara pilih, dengan taruhan sang permata kedhaton Dewi Durgandini, berangkatlah Prabu Sentanu melamar Durgandini. Hari-hari sebelum sayembara itu digelar, Durgandini telah menetapkan satu syarat kepada ayahnya. Ia hanya mau dilamar oleh ksatria yang datang menggendong bayi lelaki.

Mengapa? Tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya Dewi Durgandini telah melahirkan anak lelaki dari calon suaminya, Prabu Palasara. Dengan taktik seperti itu, ia sangat berharap dalam moment itu ia akan dipertemukan dengan Prabu Palasara yang akan datang menggendong anak kandungnya, Abiyasa.

Malang tak dapat ditolak, harapan akan datangnya Prabu Palasara menggendong Abiyasa ternyata tidak tercapai. Ia datang terlambat. Yang datang lebih dulu justru Prabu Sentanu yang menggendong Dewabrata. Sorak-sorai pun memecah keheningan. Dewi Durgandini telah menemukan jodohnya, sayembara pilih telah usai, demikian pengumuman resmi itu berkumandang.

Tak ingin mencabut persyaratan itu, dengan berat hati Dewi Durgandini bersedia diperistri Prabu Sentanu, raja agung negeri Astinapura. Persyaratan kembali ia berikan. Durgandini hanya mau diperistri Prabu Sentanu dengan syarat jika kelak anaknya lahir laki-laki, maka ialah yang berhak atas tahta negeri Astina.

Sejenak menjadi hening, beku. Prabu Sentanu sadar bahwa sudah ada Dewabrata, sang Bisma kecil yang seharusnya paling berhak atas tahta itu. Sentanu pun menjadi gamang. Pesta pernikahan ditunda sampai Dewabrata dewasa dan bisa diajak berembug.


Di saat kedewasaan telah tiba, Dewabrata kembali diutus ayahnya untuk melamar ulang Dewi Durgandini. Kembali persyaratan itu diangkat ke permukaan. Sampai di titik ini, sikap ksatria Dewabrata kembali diuji.

"Tidak masalah bagiku untuk tidak menduduki tahta Astina, wahai bundaku" ujarnya takzim.

"Aku percaya dengan kata-katamu wahai Dewabrata, tetapi bagaimana dengan anak turunmu kelak?" lanjut Dewi Durgandini.

"Ibundaku, jika memang itu yang Bunda khawatirkan, maka aku bersumpah demi bumi dan langit serta ke haribaan para dewa, aku tidak akan menikah selama hidupku" ujarnya tegas.

Langit seakan pecah, sumpah wadat itu telah jatuh, dan disaksikan bumi langit seisinya. Para dewa di khayangan pun menjadi saksi. Jutaan bidadari turun ke bumi, menyambut sumpah wadat sang ksatria utama.

Hari demi hari, dari pernikahan Prabu Sentanu dan Dewi Durgandini membuahkan dua anak lelaki, Wicitrawirya dan Wicitrasena. Sayang, belum sampai menduduki tahta, keduanya meninggal. Dalam kondisi kekosongan itu, kembali kearifan dan mentalitas Bisma diuji. Janji wadat itu tetap mampu mengalahkan manisnya tawaran tahta Astina.

Di tengah dilema, Bisma tetap tidak bergeming, dan keputusan besar pun ditempuh. Tiada pilihan lain, diundanglah putra Dewi Durgandini yang lahir dari dari Prabu Palasara untuk menduduki tahta. Saat itulah tahta Astina sudah lepas dari pancer-nya. Trah Barata telah terputus. Abiyasa yang akhirnya menduduki tahta, dari sana pulalah pancer baru itu melahirkan keturunannya, Kurawa dan Pandawa.

Suasana tetap hening, burung kutilang di pucuk kemuning, yang kicaunya jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk bangsal Prabayasa kini terdengar jelas, jernih sekali. Sejarah panjang Astina, yang telah dibeberkan Bisma dengan sangat wijang pun tetap tidak mampu menutup subjektivitas. Perang besar, Baratayuda tetap saja terjadi.

Hanya kearifan dan keteguhan Bisma, sang ksatria sejati, yang tidak mampu dihapus hanya oleh sekadar subjektivitas penulisan sejarah. ****

22 Januari 2008

My Romance


Ketika Tony Bennett melantunkan My Romance, tak ada yang bisa dinilai dari desah vokal biduan sepuh itu kecuali satu kata, excellent. Lagu itu sejatinya sederhana banget, melodinya, terlebih liriknya. Namun, kesederhanaan itu nampaknya justru menjadi episentrum kekuatannya.

Dalam American Song Book, My Romance ditempatkan dalam posisi yang sangat terhormat. Ia telah direkam tak kurang dari 60 artis dalam berbagai versi. Mulai dari Tony Bennett yang merdu mendesah, atau pada tiupan tenor sax Scott Hamilton dengan tone yang sangat bersih, bahkan ketika dalam tataran nada paling rendah tenor yang terkenal sangat sulit untuk dikendalikan.

Sejatinya, My Romance digarap oleh Richard Rogers dan lirik yang simpel itu ditulis Lorenz Hart sudah lebih dari 70 tahun lalu. Lagu itu ditulis untuk Billy Rose, sebagai tembang tema untuk film Jumbo pada tahun 1935. Baru pada tahun 1962, levat vokal Doris Day, lagu ini mendunia justru melebihi movie version-nya.

Sama halnya seperti lagu-lagu standar lainnya, selalu berangkat dari kotak musik populer. Saking populernya, hampir setiap telinga akan selalu mengenal lagu itu, walaupun disajikan dalam format apa pun. Atas semua itu, nampaknya kita harus berterima kasih kepada jazz. Daya adaptifnya yang sangat luas membuat My Romance menjadi legenda yang tak lekang ditelan zaman.

Dalam salah satu versi yang lain, Dave Brubeck menggarap lagu ini dengan sangat rapi. Ia memasukkannya dalam album Time Out yang prestisius itu. Peran Paul Desmon di belakang alto sax terasa sangat dominan, meski sering ditimpa dalam line melodinya oleh denting piano Brubeck, hebatnya tone alto sax Desmond yang ”flat” itu tidaklah kehilangan ruh. Sampai di sini kita jadi bertanya, semangat apakah yang sebenarnya terkandung dalam lagu yang sesungguhnya sederhana itu?

Kita coba mulai dari salah satu versi. Scott Hamilton mengangkatnya dalam Ballads Essential. Ia menggarap lagu ini dalam nada dasar aslinya (Bb). Biasanya, orang jazz cenderung mengangkat atau menurunkan satu atau dua step nada dasar itu, dan menjungkir-balikkan melodinya dalam interlude. Namun Hamilton justru tidak melakukan itu. Ia lebih memilih untuk tampil flat, dengan sedikit polesan vibrato. Kesan yang timbul sangat utuh, bersih dan sekaligus romantis. Saya rasa itu merupakan bentuk penghormatan atas eksistensi lagu yang (sesungguhnya) sudah sangat bagus sejak format aslinya ditulis.

Akibat langsung dari garapan Hamilton itu, yang tidak beranjak dari nada dasar aslinya, menyebabkan tone tenor sax-nya menjadi sering melengking. Bagi yang tidak membaca credit title dari album ini, tentunya orang pasti akan mengira kalau Hamilton sedang meniup alto. Jelas ini luar biasa, tenor rasa alto !!!

Lantas bagaimana dengan gaya Brubeck? My Romance di tangan Brubeck menjadi ”hancur”, fingering akustik piano yang sangat powerful dan meledak-ledak (khas Brubeck) menyebabkan lagu ini hanya terasa saat disruput intro-nya saja. Selebihnya justru seakan menjadi arena jungkir balik antara Paul Desmond yang nampak kegerahan meniup alto sax dengan Dave Brubeck yang bak kesetanan menekan tuts piano.

Dua contoh itu memang ekstrem adanya. Di antara keduanya, tak kurang dari 58 versi yang mencoba mengangkat My Romance. Para artis menerjemahkannya ke dalam idealisme masing-masing. Mulai dari Roberta Flack yang sangat ngepop sampai dengan petikan gitar duo Tuck and Patty yang terasa sungguh futuristik. Dalam berbagai versinya, cita rasa yang dibangkitkan My Romance tetap saja nikmat. Ketika disajikan encer menjadi segar, dan ketika digarap kental (dan bahkan pekat pun) masih saja menunjukkan keindahannya.

My romance doesn’t have to have a moon in the sky
My romance doesn’t need a blue lagoon standing by
No month of May, no twinklin’ stars
No hide away, no soft guitars

My romance doesn’t need a castle rising in Spain
Nor a dance to a constantly surprising refrain
Wide awake I can make my most fantastic dreams come true

My romance doesn’t need a thing but you
My romance doesn’t need a thing but you …. …

Durna


Debu bercampur asap sendawa beterbangan memenuhi alun-alun Wiratha. Bangkai kuda berserak bertumpuk dengan potongan-potongan tubuh manusia. Bau anyir menyebar di mana-mana. Darah setengah kering membercak di sepanjang pagar beringin kurung. Langit mendung, bahkan di beberapa sudut kota gerimis mulai turun. Saat itu hari siang masih belum usai. Baru setengah jalan matahari menunaikan tugasnya menerangi jagat raya. Hanya kegelapan hati dan kepongahan Kurawa telah menutup sang surya dengan asap sendawa. Di atas alun-alun Wiratha.

Pintu kori kemandhungan masih terkunci rapat. Gapura utama negeri Wiratha yang tertutup rapat itulah satu-satunya penanda bahwa negeri itu belum bedhah. Eksistensi Wiratha masih belum tumbang di bawah kendali Astina, meski beratus-ratus prajuritnya mati berkalang tanah di sepanjang benteng dan alun-alun. Gempuran meriam bertubi-tubi meninggalkan asap sendawa yang menutup sinar matahari.

Di tengah histeria Kurawa, di antara para senopati yang beringas setengah mabuk. Berdiri tegak di atas kereta perang, Sang Durna. Meski tubuh telah renta dimakan usia, namun sisa-sisa kegagahannya masih memancar tegas, terlebih di antara mata sayu para Kurawa yang berat terbawa pengaruh arak dan alkohol. Dalam keyakinannya yang dalam, sang pendeta percaya bahwa tak mudah untuk mendobrak kori kemandhungan itu.

Ia mencium gelagat itu sejak pertama memasuki tapal batas Wiratha. Keyakinan itu tergambar jelas dari raut wajahnya yang menyimpan rindu pada murid-murid kesayangannya, Pandawa. Ya, Wiratha, negeri lemah yang seharusnya dengan mudah ditumbangkan. Tiba-tiba saja menjadi begitu kokoh menahan gempuran meriam dan senjata. Ia begitu yakin, kuatnya Wiratha tidak semata karena lemahnya Kurawa yang terlelap di bawah tenggakan arak. Pasti ada sesuatu yang segera menjawab kerinduan sang maha guru.

Jauh hari sebelum geger Wiratha itu terjadi, ketika Pandhawa masih bocah dan keahlian me-menthang gendewa ia turunkan pada ksatria kecil, Arjuna, sang maha guru begitu yakin akan talenta si bocah. Saat Pandawa harus menerima kenyataan akan kekalahannya dalam bermain dadu. Mereka harus membayar mahal. Dua belas tahun hidup di rimba Kamiyaka dan setahun bersembunyi dari kejaran Kurawa.

Dua belas tahun telah berlalu, 364 hari persembunyian telah dilampaui. Hari inilah, hari di mana matahari tak kuasa menembus alun-alun Wiratha nampaknya ada sesuatu yang akan segera datang. Hari penentuan. Sesuai dengan janji, jika di hari terakhir itu persembunyai Pandawa terkuak, maka tak ada pilihan lain bagi Pandawa untuk mengulang periode kepedihan yang sama. Dua belas tahun ditambah satu tahun. Begitulah, betapa hari itu sangat bermakna, bagi Kurawa yang seolah sudah kehabisan waktu. Juga bagi Pandawa yang tinggal menghitung hari untuk menuju hari pembebasan.

Dari kejauhan, melesatlah sebilah anak panah. Muncul dari balik ririmbunan pohon kepel, dari balik kori kemandhungan Wiratha. Anak panah itu, melesat hingga meninggalkan suara berdesing. Menimpa tepat di ujung rambut sang Durna. Berkali-kali. Kerinduan sang guru semakin terjawab. Sekaligus jawaban atas kukuhnya benteng Wiratha pun dapat ia rasakan dengan jelas. Jelas sekali.

Saat anak panah terakhir membelai leher jenjangnya, kesadaran itu telah pulih seratus persen. Ia tahu persis, jika sang pemanah benar-benar ingin mengakhiri hidup sang senapati, tentu tidaklah terlalu sulit. Ada seberkas pesan yang disampaikan pemanah yang titis itu. Salam sungkem sebagai tanda bakti murid kepada sang maha guru.

Durna segera bangkit. Kesadarannya pulih, tugas yang diembannya untuk menemukan Pandawa sekaligus menakhlukkan Wiratha justru ia kesampingkan. Sengaja ia mengulur permainan. Para prajurit diperintahkan menjauh kori kemandhungan. Dan saat matahari sudah menyentuh ufuk barat, pertanda hari telah berganti, genaplah sudah tiga belas tahun berlalu. Pandawa telah berhasil melalui masa-masa sulitnya.

****

Durna, yang dalam jagat keseharian selalu ditempatkan pada sisi gelap, ternyata memiliki sisi lain yang tidak dijangkau akal. Terlebih oleh para Kurawa yang selalu terlena dengan manisnya kehidupan. Durna selalu menepati janjinya, meski realitas dan perilakunya sering tidak menunjukkan arahnya.

Memahami Durna haruslah dengan visi yang luas dan terawang jang panjang (visioner). Pandawa, sakti mandraguna adalah hasil dari tempaan dan asahnya. Sebut saja, Bimasena yang telah berhasil menemukan jati dirinya, lewat tirta pawitra mahening suci, sangatlah tidak mungkin jika sang Durna tidak menunjukannya, meski dengan cara (yang menurut orang lain) nampak menjerumuskan. "Temukan pawitra mahening suci di dasar samudera, tapi ingat itu semua harus di-tohi pati, nyawalah taruhannya" katanya suatu saat. (dengarkan dialog dramatis itu dalam rekaman Ki Nartosabdho dalam lakon Dewa Ruci)

Bagi orang awam, perintah Durna kepada Bimasena untuk terjun ke dasar laut adalah suatu penjerumusan. Namun demikian, di balik "penjerumusan" itu sebenarnya terkandung niat luhur untuk menempa sang murid agar dapat menemukan jati dirinya.

Dalam huru-hara Wiratha yang seru itu, jika ia bermaksud jahat, tak sulit baginya untuk menemukan Arjuna, sang pemanah yang telah membelai rambut tuanya dengan takzim. Tapi itu tak ia lakukan, bahkan di hari terakhir yang menjadi penanda penggal janji itu. Hanya uluran waktu Durna lah yang mampu menahan beratnya hari penentuan itu.

Durna memang selalu berada di persimpangan dilema. Di satu pihak, ia harus mampu menunjukkan darma bakti dan loyalitasnya pada pihak yang telah memberinya penghidupan. Namun demikian, di lain pihak ia harus juga menyuarakan kebenaran, meski harus berseberangan dengan orang yang memberinya kehidupan. Durna telah berhasil mengemas semua kontradiksi dan paradoksal itu dengan indah, mulus, anggun, dan elegan. Minimal di mata orang yang mampu memahami misi luhurnya. ***

Mengapresiasi Keris


Bagi orang awam, diskursus mengenai keris selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis, klenik, kanuragan, dan sejenisnya. Tentu hal tersebut tidaklah salah, mengingat eksistensi keris dalam blantika sosial politik masyarakat telah mengakar dan terpatri dalam setiap percaturan. Namun demikian, sebenarnya masih terdapat sisi lain dari keris yang dapat didiskusikan secara lebih konstruktif, terlepas dari stigma "klenik" yang sudah telanjur melekat erat dalam perbeicangan mengenainya.

Keris, sejak zaman dulu (entah periodisasinya harus dimulai dari mana) selalu menjadi lambang supremasi bagi eksistensi kehidupan seseorang (tidak peduli lelaki atau wanita), yang jelas jika kita amati perkembangannya selalu menarik untuk didiskusikan.

Secara fisik, keris tidak beda dengan senjata-senjata tradisional lainnya, bermata tajam, dan digunakan sebagai alat untuk memotong, menusuk, atau mengiris. Namun demikian, di balik semua itu ternyata keris memiliki nilai-nilai yang - jika dikupas - tidak ditemukan dalam diskursus mengenai senjata tajam lainnya.

Saya lebih tertarik untuk mendiskusikan keris sebagai benda budaya, yang sekaligus dapat dimaknai sebagai simbul peradaban suatu rezim. Ketika kita mengamati sebuah keris tangguh kuno seperti era Pajajaran atau yang sebelumnya, misalnya bethok budha, kesimpulan yang muncul adalah bahwa makna keris pada era itu telah mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat penggunanya. Keris adalah lambang supermasi, kewibawaa, investasi, sekaligus juga sebagai media psikologis bagi pemiliknya untuk menambah kewibawaan, percaya diri, dan sejenisnya.

Secara ilmiah, bangkitnya berbagai macam aura yang ditimbulkan oleh keris tidak terlepas dari kandungan materi dalam keris itu sendiri. Dalam dunia perkerisan yang benar, keris selalu dibuat dari bahan dasar baja yang dicampur sedemikian rupa dengan berbagai material, misalnya dengan meteorit, nikel, dan logam-logam lain yang menimbulkan keindahan fisik tertentu. Apresiasi terhadap seni pencampuran ini tergambar jelas ketika pamor keris menjadi ukuran tinggi rendahnya apresiasi.

Kekaguman kita terhadap seni olah logam ini adalah bahwa para empu telah berhasil menembus kecanggihan teknologi sedemikian rupa, sehingga material logam yang secara ilmu metalurgi modern diklaim sangat sulit untuk disatukan, tetapi justru para empu itu telah menjawabnya berabad-abad yang lalu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan perubahan molekuler meteorit yang mampu membentuk keindahan fisik keris.

Dalam dunia perkerisan, dikenal dengan pamor daden dan pamor rekan. Pamor daden adalah pamor yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu untuk diarahkan menjadi motif tertentu. Konsekuensinya, pamor keris hanya dapat diketahui setelah keris sempurna digarap. Perbedaan yang sangat tipis antara satu pamor dengan pamor lainnya telah memunculkan berbagai tafsiran dan penamaan pamor yang sangat banyak. Dewasa ini, dikenal tidak kurang dari 250 macam pamor keris, yang kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan perbedaan di antaranya.

Di sisi lain, percobaan laboratorium radioaktif menunjukkan bahwa keris-keris yang tergolong "panas" biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi. Konsekuensinya, pancaran radiasi yang ditimbulkan menyebabkan tidak semua orang mampu secara fisik menahannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi tersebut dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu-kayu tertentu, yang secara ilmiah dapat meredam.

Yang paling populer dalam dunia pembuatan rangka keris di antaranya adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendhana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, bahkan kadang-kadang juga gading gajah. Sebagai tangkai (ukiran atau dhedher) biasanya dibuat dari kayu Kemuning, Tayuman, dan sejenisnya.

Kayu-kayu tersebut secara laboratorium telah membuktikan mampu menahan daya radioaktivitas dalam kategori yang bagus. Artinya, jika keris disarungkan dalam rangka yang terbuat dari kayu-kayu tersebut maka afek negatif radioaktif yang dipancarkan akibat menyatunya material keris dapat diredam.

Dalam terminologi gugon tuhon (takhyul) selama ini akhirnya dikenal dengan berbagai istilah: keris panas, tidak kuat kanggonan, dan sejenisnya. Padahal, semua itu sudah dapat dibuktikan secara ilmiah. Hanya saja, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana para empu mampu memilih bahannya, sekaligus menciptakan dhapur-dhapur yang tergolong panas tersebut.

Seperti diketahui, keris dengan bahan yang sama tetapi dengan bentuk (dhapur) yang berbeda seringkali memiliki kadar radioaktivitas yang jauh berbeda. Misalnya, keris dengan dhapur Buta Ijo dengan pamor Ganggeng Kanyut dengan keris dhapur Jalak dengan pamor yang sama, seringkali diapresiasi dengan nilai yang sangat berbeda. Buta Ijo selalu dikonotasikan negatif dan beraura panas, sebaliknya dhapur Jalak dikonotasikan sebagai keris dingin yang baik untuk dikoleksi.

Lain halnya dengan pamor rekan, atau pamor buatan. sejak awal sang empu telah menginginkan keris buatannya akan menjadi pamor tertentu, oleh karena itu sejak awal penempaan bahan pamor sudah ditata sedemikian rupa sehingga di akhir pembuatan akan muncul pamor yang diinginkan. Hasil dari pamor ini biasanya lebih dekoratif, dan relatif lebih mudah untuk ditentukan nama pamornya.

Pamor, atau gegambaran yang muncul di tubuh keris, mengandung sejumlah makna, terutama jika diapresiasi secara integral dengan tangguh dan dhapur keris yang bersangkutan. Tangguh keris menunjukkan era kapan keris tersebut diciptakan. Secara politis, tangguh keris juga dapat mencerminkan kondisi sosio kultural masyarakat pada waktu itu. Misalnya, keris era Pajajaran yang biasanya berpostur ramping, bilah yang tipis, serta garap yang sederhana menunjukkan bahwa di era tersebut masyarakat lebih mengapresiasi keris sebagai benda supremasi.

Lain halnya tangguh Tuban, Blambangan, atau Kartasura. Bilah keris biasanya sangat mentap, garap yang halus, material yang bagus, serta memiliki greget, semu, dan wanda yang berwibawa. Politik yang terjadi pada era tersebut memang menuntut adanya sosok tokoh yang berwibawa, kuat secara fisik, dan anggun secara guwaya.

Salah satu hal yang paling mudah memahami bahwa keris merupakan cermin dari karakter budaya setempat adalah persandingan antara tangguh Solo dengan Jogja. Keris-keris keluaran Solo (yang high level) biasanya memilih dhapur-dhapur populer seperti Sengkelat, macam-macam dhapur naga, Parungsari, atau bahkan keris-keris kalawijan (jumlah luk di atas 13). Demikian pula asesorisnya, keris Solo banyak yang bertatahkan berlian, berangka kayu cendana wangi, pendhok emas/selaka, mendhak intan, dan selut berlian. Selain itu, badan keris pun tidak jarang yang bertatahkan emas berlian, dari ujung sampai ganja-nya.

Apa yang dapat disimpulkan? Sudah menjadi stigma bagi orang Solo, konon para bangsawannya berkarakter suka pamer dan senang dipuji. Oleh karenanya, dalam tata perkerisan pun juga mencerminkan yang serba gebyar. Keris adalah lambang supermasi yang harus tampil mewah, terlebih di dalam suatu perhelatan besar.

Lain halnya dengan keris-keris gaya Mataraman (Jogja). Biasanya keris Jogja yang bagus diapresiasi dari sisi yang lain. Dhapur-nya mungkin biasa-biasa saja (lurus, jalak, tilam upih, atau luk-luk sederhana). Tetapi, kebanggaannya adalah bahwa garap dan materialnya yang tergolong langka. Semboyannya, orang berduitpun belum tentu bisa memperoleh keris yang langka. Warangka terbuat dari kayu Timoho yang langka (pelet kendhit, ilat-ilatan, dan sebagainya), dengan model rangka yang sederhana khas Jogja.

Begitulah Jogja, stigma orang Jogja yang suka ngglembuk (merayu secara halus jika punya keinginan) dicerminkan dari model keris yang sederhana, tapi langka. Dalam bahasa anak muda sekarang diistilahkan dengan: merendahkan diri meninggikan mutu.

to be continued ...

18 Januari 2008

Tarif SMS Indonesia


Polemik tentang tarif SMS masih terus bergulir. terlebih setelah KPPU turut campur tangan dalam kasus dugaan praktik kartel (fixed pricing) yang dilakukan para operator. Masalah tarif SMS inis sebenarnya sudah muncul sejak dua tahun lalu, di mana indikasi kuat adanya over pricing mulai digulirkan BRTI. Tulisan pendek ini mencoba untuk mengupas secara singkat apa dan bagaimana tentang dinamika pasar SMS di Indonesia.

Secara historis, layanan SMS diperkenalkan sejak dimulainya era komunikasi seluler digital, di mana kapasitas infrastruktur yang terjadi saat itu, oleh operator, dicoba untuk dioptimumkan dengan cara menjadikan idle capacity tersebut dengan layanan nilai tambah (value added services). Layanan SMS semula "menumpang" pada jaringan suara voice, baik dari sisi akses maupun transmisinya. Pada awalnya, tentu layanan ini tidaklah murah karena rasio antara investasi dan volume trafik yang tidak proporsional, jauh dari kondisi optimal.

Dalam perjalannannya, layanan ini menjadi booming setelah semua operator sepakat untuk membuka interkoneksi bagi lalu-lintas SMS. Perlu dicatat, pada awalnya SMS hanya bisa dilakukan dalam satu jaringan operator. Hal ini terkait dengan investasi dan adanya keraguan operator akan prospek pasar. Setelah konfidensi operator terhadap SMS menemukan bukti nyata berupa volume trafik yang semakin besar, maka investasi besar-besaran mulai dilakukan dan semua operator membuka dirinya atas kedatangan trafik SMS dari operator lain.

Dibukanya arus SMS antaroperator tentunya mengandung sejumlah konsekuensi. Pertama, volume trafik yang semakin membengkak, yang akhirnya menuntut operator untuk menyediakan infrastruktur yang tersendiri (yang tadinya hanya menumpang). Kedua, perilaku masyarakat pengguna pun juga berubah (shifted) dari komunikasi suara ke komunikasi berbasis teks.

Dua hal tersebut bagaikan gayung bersambut. Di satu pihak terus membengkaknya volume mengakibatkan daya tarik investasi di layanan ini juga terpacu. Hal ini tidak terlepas, dan kini sudah nyata terbukti, bahwa sumbangan SMS sebagai revenue center bagi operator sudah terjadi. bahkan beberapa operator secara transparan menyebutkan bahwa lebih dari 25 persen revenue-nya berasal dari trafik SMS.

"Price Fixing"

Perdebatan mengenai tarif SMS akhir-akhir ini tidak terlepas dari dugaan KPPU atas adanya persekongkolan para operator untuk menetapkan harga. Memang, kalau dilihat dari price-list yang dirilis para operator nampak bahwa tarif SMS semua operator relatif sama. Jika saya coba untuk telusuri historisnya, penyamaan harga SMS ini tidak terlepas dari dua hal. Pertama, secara regulasi SMS dikategorikan sebagai layanan nilai tambah yang tidak diatur secara khusus. Hal ini sama dengan layanan nilai tambah yang lain seperti MMS, GPRS, serta layanan lain yang ditawarkan operator.

Kedua, secara teknis pada waktu itu muncul satu kekhawatiran adanya kongesti dalam jaringan apabila terdapat lalu-lintas SMS dalam volume yang besar, akibat perbedaan tarif. Dengan rezim sender keeps all (SKA), maka operator penerima tidak mendapatkan bagian tarif yang dibayar konsumen. Oleh karena itu, jika salah satu operator menerapkan tarif yang murah, maka akan ada "banjir" SMS ke operator lain (spam).

Berdasarkan dua hal tersebut, maka operator "seolah-olah" mendapatkan justifikasi untuk melakukan penyeragaman harga SMS. Bagaimana dengan kondisi mutakhir? Kita semua menyadari bahwa saat ini SMS tidak lagi dapat dipandang sebagai kebutuhan sekunder telekomunikasi, tetapi sudah bergeser menjadi kebutuhan esensial. Bahkan banyak pelanggan yang justru lebih banyak menggunakan layanan SMS daripada layanan suara. Dengan demikian, perlakuan regulasi yang menggolongkan SMS sebagai layanan nilai tambah harus segera diakhiri.

Dari sisi operator, kini mereka telah memperlakukan layanan SMS sebagai andalan dalam mengeruk revenue. Di samping itu, pembangunan infrastruktur untuk SMS juga telah dilakukan secara besar-besaran. SMS bukan lagi sekadar usaha sampingan, tetapi telah menjelma menjadi salah satu usaha pokok yang menjadi pilar menopang bagi upaya mengeruk keuntungan.

Dari dua argumentasi tersebut nampaklah bahwa justifikasi teknis atas penyeragaman tarif SMS juga sudah tidak relevan lagi. Kapasitas infrastruktur SMS sudah jauh lebih besar dibanding saat kelahirannya, hal ini terbukti dengan minimnya kongesti di daerah-daerah tujuan pada saat mudik lebaran tempo hari. Di mana hal tersebut dulu selalu terjadi. Dari sisi regulasi pun, perlakukan SMS sebagai layanan nilai tambah sudah saatnya ditinjau kembali. SMS bukan lagi hal yang mewah, tetapi sudah menjadi kebutuhan esensial setingkat dengan komunikasi suara.

Biaya Produksi SMS

Salah satu hal yang juga "diributkan" banyak pihak adalah adanya publikasi mengenai biaya produksi SMS. Dalam beberapa publikasi disebutkan bahwa ongkos produksi SMS sekitar Rp 70, dengan demikian tarif ritel sebesar Rp 250-350 dinilai sangatlah jauh dari ongkos, artinya untung operator terlalu gemuk. Benarkah hitungan sederhana tersebut?

Perlu diketahui, BRTI memang telah melakukan perhitungan, yang dibantu oleh konsultan independen. Di sana disebutkan bahwa biaya interkoneksi SMS 2007 sebesar Rp 26, artinya kalau dihitung dua sisi (originasi dan terminasi) maka angkanya sekitar Rp 26 x 2 = 52. Perlu diingat bahwa angka tersebut adalah elemen biaya jaringan (network element cost-NEC) saja. Di luar biaya tersebut masih ada biaya lain yaitu biaya aktivitas ritel (SDM, promosi, dll) serta marjin keuntungan. Di sinilah esensi permasalahannya, banyak orang yang tidak begitu paham dalam membaca angka-angka tersebut.

Tarif SMS yang saat ini rata-rata sebesar Rp 250 (post paid), memang kelewat mahal jika dibandingkan dengan total cost-nya. Dugaan sementara, jauhnya tarif dengan ongkos produksi juga disebabkan karena operator melakukan kompensasi atas investasi bagi produk-produk serupa yang relatif "kurang laku". Misalnya MMS dan GPRS. Bagaimana pun juga kedua produk tersebut sudah menelan investasi yang besar, dengan minimnya pendapatan dari keduanya, maka tekornya akan dikompensasikan ke produk lain, salah satunya dari produk SMS. Angka NEC yang dihitung regulator adalah murni biaya produksi SMS tanpa memperhitungkan faktor-faktor tersebut, yang tentu sangat sulit untuk dilakukan kalkulasinya.

Dengan demikian, kunci dari penurunan tarif SMS kini terletak pada willingness operator untuk melakukannya. Kalau kita cermati, sebenarnya tarif riil SMS sudah mulai diturunkan sejak beberapa tahun ini. Hal ini bisa dicermati dari paket-paket promosi mereka. Secara ekstrem, bahkan ada operator yang menggratiskan SMS antar penggunanya. Secara costing dapat dipastikan mereka akan tekor, tetapi di balik itu terdapat benefit lain berupa tambahan pelanggan dan naiknya tingkat okupansi jaringan. ***

17 Januari 2008

Ekonomi Makro vs Kearifan Lokal


Bila tidak menarik pelajaran dari kesalahan-kesalahannya, maka negara yang bersangkutan akan terkutuk untuk mengulangi kembali sejarah tersebut. (George Santayana)


Sengaja saya mengutip kata-kata bijak yang dilontarkan oleh seorang sastrawan dan filsuf termasyhur Amerika berdarah Hispanik, George Santayana, semata-mata karena kalimat bijak itu sangat tepat (precise) untuk menjadi sebuah "peringatan" (warning) bagi bangsa yang sudah terlalu lama berada dalam kesulitan ini.

Bangsa Indonesia, sepanjang sejarahnya telah melalui berbagai pembabakan. Mulai dari era kejayaan Nusantara lama (Sriwijaya dan Majapahit), yang tak lama setelah keruntuhannya segera disambut oleh era kolonialisme yang menyakitkan, sampai dengan era kemerdekaan yang di dalamnya juga telah terisi dengan lembaran-lembaran sejarah perekonomian yang kelam. Sesungguhnya, sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.

Jika suatu bangsa dengan sengaja melupakan catatan faktual sejarah, maka bangsa itu tidak akan pernah mencapai kemakmuran dan kecerdasan. Bahkan sangat mungkin akan menjadi sebuah blunder, yang dapat menjerumuskan bangsa itu ke tataran yang lebih hina dari seekor keledai. Bukankah seekor keledai yang bodoh sekalipun tidak pernah terantuk batu yang sama?

Sebagaimana yang kita dapatkan dari teori ekonomi pembangunan yang kita pelajari di bangku kuliah dan juga berdasarkan pengalaman sejarah, sistem ekonomi pasar selalu mengalami pasang surut yang dapat digambarkan dalam sebuah kurva konjungtur ekonomi. Kurva tersebut terdiri dari beberapa bagian, antara lain: masa pertumbuhan, masa puncak kemakmuran (peak of wealth), masa kemunduran, masa keterpurukan (peak of crises). Setelah krisis dapat teratasi, maka akan disambung dengan masa pemulihan (recovery), pertumbuhan, dan seterusnya hingga membentuk seperti gelombang sinus.

Ditinjau dari periode waktunya, masing-masing babak memiliki durasi yang hampir konsisten, yaitu membentuk siklus waktu yang relatif tidak jauh berbeda antara gelombang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, gabungan dari gelombang-gelombang siklus ekonomi tersebut dapat ditarik menjadi kesimpulan yang dikenal dengan konjungtur perekonomian.

Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia sejak era kemerdekaan sampai sekarang, panjang gelombang tersebut dapat dikategorikan dalam gelombang jangka pendek (tujuh tahunan) dan gelombang jangka panjang (35 tahunan).

Masing-masing tahap dalam siklus tersebut telah ditandai dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada periode sebelum dan sesudahnya. Misalnya, pada periode Ekonomi Konglomerasi, periode ini dipicu oleh liberalisasi sektor perbankan, yang disusul dengan tumbuhnya imperium usaha konglomerasi yang bermunculan seperti cendawan di musim hujan.

Pada periode tersebut ditandai dengan pembangunan ekonomi bersifat sentralistis, rezim penguasa yang otoriter, serta birokrasi yang korup. Pembangunan yang "kebablasan" tersebut akhirnya mengantar bangsa besar ini ke arah periode krisis yang menyakitkan.

Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah tumbuhnya kesadaran akan kekeliruan strategi pembangunan yang dilakukan selama ini. Oleh karena itu, periode ini segera disambung dengan babak baru yang lebih membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, dengan didukung oleh iklim dan perhatian negara yang memadai. Era ini oleh banyak ekonom dikenal dengan era ekonomi kerakyatan, dengan segala pro kontra yang menyertainya.

Tulisan pendek ini hanya akan difokuskan pada dua isu besar yang pernah mengemuka, yaitu isu globalisasi ekonomi dan pembahasan pada periode krisis ekonomi. Dua isu besar ini sangat relevan untuk diangkat, sehubungan dengan besarnya pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Isu globalisasi telah membuat "kalang kabut" negara-negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur ekonomi yang memadai. Di lain pihak, isu globalisasi ini menjadi semacam "bahan bakar" bagi negara-negara maju untuk meningkatkan ekselerasi pertumbuhan ekonomi dan penetrasi ke pasar internasional.

Isu Globalisasi

Salah satu refleksi dari kegagapan bangsa Indonesia dalam menyikapi sejarah ekonominya adalah ketika dihadapkan pada isu santer yang dikenal dengan globalisasi, yang di dalamnya terkandung sejumlah obsesi, tantangan, konsekuensi, dan harapan akan kehidupan di masa depan. Globalisasi ekonomi hanya membuat makmur sebagian kecil orang (atau negara) di dunia ini, tetapi lebih banyak orang (bangsa/negara) yang dibuat susah, repot dan capek. Melelahkan.

Jika kita mau belajar dari sejarah, globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru dalam kancah panjang ekonomi Indonesia. Jauh hari sebelum muncul nation state, arus perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak lama. Jauh hari sebelumnya, perdagangan regional juga telah membuat interaksi antarsuku bangsa terjadi secara alamiah, natural.

Dua dekade menjelang Perang Dunia I, arus uang internasional telah mempererat ikatan antara negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik. Sementara itu, bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan portofolionya, dari Argentina terus melingkar Pasifik hingga ke Singapura. Namun demikian, sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia, gelombang globalisasi pun juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan yang melatarbelakangi adalah adanya tarik-menarik antara paham internasionalisme dengan paham nasionalisme atau bahkan dengan isolasionisme.

Dicermati dari segi intensitas dan cakupannya, sebenarnya gelombang globalisasi yang melanda seluruh dunia sejak dekade 1980-an telah jauh berbeda dari gelombang yang sama pada periode sebelumnya. Proses konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tidak saja merambah di segala bidang (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ideologi), melainkan juga telah menjamah ke dalam tataran sistem, proses, pelaku, dan events. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya selalu berjalan dengan mulus. Ada kecenderungan bahwa gelombang globalisasi yang dahsyat menerpa itu ternyata juga disertai dengan fragmentasi.

Dewasa ini, banyak ekonom dan kritikus yang memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, oleh karena itu terjangan arusnya tak mungkin dapat dibendung lagi. Pandangan semacam ini muncul sebagai reaksi atas pendapat sebagian (kecil) ekonom yang justru prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan sangat rentan dengan gejolak. Terutama akibat dari arus finansial global yang semakin "liar". Padahal, kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki daya tahan (dan daya saing) yang cukup untuk terlibat langsung dalam kancah lalu-lintas finansial global, yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial negara, dan cenderung semakin sulit untuk dikontrol oleh pemerintah sebuah negara yang berdaulat.

Globalisasi juga dikhawatirkan akan memunculkan suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu eksploitasi oleh financial-driven economy terhadap good-producing economy. Kelompok pertama memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya "semu". Artinya, transaksi yang mereka lakukan sebenarnya tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. Ini semua terjadi karena "uang" dan "aset finansial" lainnya saling diperdagangkan sebagaimana halnya sebuah komoditas.

Bagaimanapun juga, sektor finansial tidak pernah terlepas kaitannya dengan sektor riil. Keberadaan sektor finansial, dengan segala bentuk kerumitan instrumen dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya, tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Sehebat dan secanggih apa pun sektor finansial itu, pada intinya mereka tetap merupakan fasilitator bagi eksistensi sektor riil.

Jika dalam kenyataan kini makin nampak bahwa kedua sektor ini telah mengalami lepas kaitan (decoupling), maka masyarakat tinggal menunggu waktu akan datangnya kehancuran peradaban. Atau (minimal) bersiap-siap untuk hidup dalam kegemerlapan artifisial dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi kita untuk sungguh-sungguh mengupayakan terbentuknya suatu tatanan baru, yang menempatkan kembali sektor finansial pada fungsinya yang hakiki.

Sayangnya, dewasa ini kita hidup dalam alam realitas yang sudah terlanjur menempatkan uang dan perangkat finansial lainnya sebagai suatu komoditas. Telah banyak negara yang tersungkur dan terseret oleh arus permainan kapitalisme finansial yang berperilaku semakin "buas". Suatu perekonomian yang menapaki tahap demi tahap perkembangan, yang telah ditumbuhkan oleh peluh keringat berjuta-juta rakyatnya, tiba-tiba saja bisa diluluh-lantakkan dalam sekejap dengan cara mengguncang nilai mata uangnya (Lenin’s dictum) hingga tersungkur tanpa kekuatan untuk membela diri.

Sebetulnya, kesadaran akan buasnya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang ini sudah mulai tumbuh. Di antaranya justru datang dari kalangan pemikir Barat sendiri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Hanya anehnya, justru kesadaran seperti itulah yang saat ini kurang muncul di negara kita (dan negara berkembang pada umumnya) sehingga secara "sukarela" mereka mau menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang sangat "buas" ini.

Pemikiran-pemikiran alternatif sebagaimana sudah sangat sering dilontarkan oleh ekonom seperti Mubyarto (Alm) atau juga oleh para "ekonom nyentrik & kontemporer" lain seperti Hartojo Wignjowijoto, atau Sritua Arief, nampaknya perlu diwartakan dan ditawarkan kepada masyarakat dunia, untuk benar-benar menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat. Tentu saja, gagasan bagi terbentuknya tatanan baru itu membutuhkan waktu dan pengkajian yang cermat. Target awal yang paling penting dari semua itu adalah memunculnya kesadaran masyarakat akan rapuh dan rentannya sistem yang berlaku sekarang ini.

Sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini nyata-nyata telah mendorong perilaku konsumtif masyarakat dan telah menyeret begitu jauh perekonomian nasional untuk tumbuh secara instant. Hanya negara-negara kaya dengan perangkat kelembagaan ekonomi politik yang mantaplah yang bisa mengeliminasikan dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global ini.

Negara-negara yang kuat tidak perlu lagi bergelimangan peluh untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mereka cukup melakukan rekayasa finansial yang menghasilkan kemelimpahan dana untuk membeli berbagai macam kebutuhan fisiknya. Sebaliknya, negara-negara yang menghasilkan produk riil (barang) tidak pernah bisa menikmati hasil yang layak. Sebelum peluh mereka mengering, nilai uang riil yang dihasilkan itu telah disedot oleh gejolak kurs dan tercekik oleh tingginya suku bunga. Bukankah hidup di dunia seperti ini sungguh sangat berisiko bagi peradaban umat manusia itu sendiri?

Perilaku ekonomi yang "tidak wajar" seperti itu tidak hanya dilakukan oleh para aktor pasar finansial internasional sekaliber George Soros, tetapi juga telah meracuni para pelaku bisnis di Indonesia. Hampir semua imperium bisnis di Indonesia telah melakukan beragam rekayasa finansial, sehingga memungkinkan mereka menjelma dalam bentuk gurita konglomerasi secara instant. Langkah mereka semakin mulus setelah disangga oleh sistem politik yang otoriter dan birokrasi yang korup.


Krisis Ekonomi

Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia terus menerus mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.

Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter di akhir milenium lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.

Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, kearifan lokal beserta sumber daya yang mendukungnya seperti sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.

Kedua, rezim pemerintahan (sejak Orde Baru hingga kini) yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor tradisional. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.

Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. State-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.

Ketiga, rezim yang korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.

Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan (tapi pasti) telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik itu.

Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998 yang lalu.

Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

Penutup

Tumbangnya imperium konglomerasi membuat indikasi di atas semakin kuat. Bahwa sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara "habis-habisan" (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.

Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu kearifan ekonomi lokal yang dulu pernah populer dengan jargon “ekonomi rakyat”. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah "gulung tikar" sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.

Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi sektor ekonomi tradisional? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya.

Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi tradisional dan sektor informal sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah. ***

Apa dan Bagaimana Kode Akses SLJJ



Beberapa minggu lalu di media
massa ramai dengan perdebatan mengenai kode akses SLJJ. Dari polemik itu nampak jelas tarik menarik antara operator dengan regulator. Sayangnya, wacana yang muncul tidak memberikan kejelasan tentang duduk persoalan masalah ini, terlebih bagi masyarakat awam. Kecenderungan polemik justru mulai berbelok dari episentrumnya. Tulisan ini mencoba untuk memberikan pemahaman yang lebih sederhana tentang apa dan bagaimana kode akses SLJJ, beserta dampak yang ditimbulkan terhadap operator, terlebih lagi terhadap masyarakat pengguna telekomunikasi.

Ide dasar kebijakan kode akses SLJJ tidak terlepas dari tekad pemerintah untuk mengakhiri era monopoli di sektor telekomunikasi. Pengakhiran monopoli tersebut ditandai dengan diakhirinya hak eksklusif PT Telkom atas layanan lokal dan SLJJ, serta PT Indosat untuk layanan SLI. Kedua operator ini diberikan lisensi sebagai penyelenggara penuh (full service and network provider) untuk ketiga layanan tersebut.


Mengapa Diperlukan Kode Akses

Kebijakan kode akses SLJJ sejalan dengan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 19 yang mengamanatkan bahwa: Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi. Artinya, operator tidak dibenarkan “memaksa” pelanggannya untuk hanya menggunakan jasa dan atau jaringan tertentu.

Contoh implementasi kebijakan ini terlihat dalam penyelenggaraan SLI, pelanggan seluler bisa dengan bebas menggunakan SLI 007 (Telkom), maupun 001 dan 008 (Indosat). Telkom tidak dibenarkan memaksa pelanggannya untuk hanya bisa menggunakan SLI 007 miliknya, sebaliknya pelanggan Indosat pun juga bebas untuk menggunakan jasa SLI 007 dan tidak harus dengan SLI 001 atau 008. Kalau pelanggan tidak menentukan preferensi SLI tertentu, maka ia cukup mengawali panggilan SLI-nya dengan prefiks ”+” yang artinya ia menyerahkan kepada operatornya untuk memilihkan jaringan SLI yang akan digunakan.

Dengan diberikannya lisensi penyelenggaraan SLJJ kepada Indosat, maka masyarakat seharusnya telah memiliki pilihan akan jasa SLJJ, melalui SLJJ Telkom atau Indosat. Untuk memilih jasa SLJJ tersebut, diperlukan sarana berupa kode akses. Pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya adalah dalam SLI. Pada waktu era monopoli, panggilan SLI dilakukan hanya dengan prefiks “00”. Setelah penyelenggara SLI lebih dari satu operator, maka angka awalan “00” tidak bisa lagi dipergunakan. Setelah prefiks “00”, pelanggan harus memilih apakah melalui kode akses SLI Indosat 00-1 ataukah melalui kode akses SLI Satelindo 00-8.

Analogi yang sama diperlukan ketika pelanggan ingin memilih jasa SLJJ. Telkom telah memilih kode akses SLJJ 017 dan Indosat telah memilih 011. Dengan demikian, jika pelanggan ingin melakukan panggilan SLJJ, maka yang dilakukan haruslah memilih terlebih dahulu operator SLJJ yang akan digunakan menyalurkan panggilannya. Misalnya, jika akan memanggil PSTN Surabaya melalui SLJJ Telkom maka pelanggan harus menekan 01731+nomer tujuan, atau 01131+nomer tujuan jika ingin melalui SLJJ Indosat. Begitulah kira-kira gambaran sederhana dan ide dasar mengapa kode akses SLJJ diperlukan.

Kesulitan penerapan terjadi karena secara teknis ternyata sentral-sentral Telkom tidak siap mengakomodasikan kebijakan ini. Diperlukan biaya yang besar untuk meng-up grade sentral-sentral tua tersebut. Selain itu, atas dasar kendala bisnis dan sosial, maka kebijakan ini tidak segera bisa diimplementasikan. Misalnya, jika kebijakan ini serta-merta diterapkan sesuai dengan KM. 4 tahun 2000 tentang Fundamental Technical Plan (FTP) Nasional, maka akan terjadi kerugian publik yang cukup besar, yaitu tingginya angka kegagalan panggil (reject call). Hal ini menyangkut kebiasaan masyarakat, yaitu hanya dengan menekan awalan 0 untuk melakukan panggilan SLJJ.

Untuk mengatasi masalah ini, maka diambil jalan tengah dengan dirilisnya KM. 28 tahun 2004, yang intinya antara lain memperbolehkan prefiks “0” dipergunakan sebagai default masing-masing operator SLJJ. Artinya, jika pelanggan Telkom tidak memilih jasa SLJJ tertentu dan hanya menekan awalan “0” diikuti kode area dan nomer tujuan, maka otomatis panggilan ini akan disalurkan melalui jaringan SLJJ Telkom. Demikian sebaliknya, jika pelanggan Indosat hanya menekan awalan nol, maka akan disalurkan melalui SLJJ Indosat. Awalan “0” dapat diartikan bahwa pelanggan tidak memilih jasa SLJJ tertentu, dalam terminologi SLI hal ini sama dengan kalau pelanggan mengawali panggilan SLI dengan menekan prefiks “+”.

Bagi masyarakat, dengan dibukanya kompetisi pasar SLJJ tersebut tentunya akan memberikan keuntungan berupa tarif dan kualitas SLJJ yang bersaing. Selama ini masyarakat tidak mempunyai pilihan ketika melakukan panggilan SLJJ.


Mitos dan Kenyataan

Kondisi smooth yang terjadi di SLI tersebut ternyata tidak identik dengan yang terjadi di layanan SLJJ. Sampai sekarang, Telkom belum bersedia membuka kode akses SLJJ kompetitornya pada jaringannya. Artinya, pelanggan Telkom belum bisa menggunakan jasa SLJJ Indosat 011 untuk panggilan SLJJ- nya.

Dengan diberikannya lisensi SLJJ kepada Indosat beberapa tahun lalu, seharusnya mereka segera bisa memasarkan SLJJ-nya kepada semua pelanggan telepon, tidak peduli pelanggan itu ”milik” siapa. Dengan demikian, semua pelanggan telepon berhak untuk memilih jasa SLJJ mana yang paling menguntungkan baginya.

Di luar aspek teknis sebagaimana disebut di atas, masih terdapat beberapa keberatan dari Telkom. Di antara beberapa keberatan tersebut, terdapat mitos-mitos yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara empiris maupun akademis. Mitos-mitos tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, adanya kerugian masyarakat karena harus mengubah cetakan nomer telepon dalam kartu nama, kop surat, papan nama kantor, dan barang-barang lain yang memerlukan cetakan nomer telepon dalam alamatnya.

Hal ini tidaklah benar, kode area suatu wilayah tidak berubah dengan adanya kebijakan ini. Jakarta tetap 021, Bandung tetap 022, Semarang tetap 031, Yogyakarta tetap 0274, dan seterusnya. Yang berubah hanyalah cara untuk menuju kode area tersebut, apakah melalui Telkom dengan awalan 017 (atau cukup ”0” bagi pelanggan Telkom) atau melalui Indosat dengan prefiks ”011” (atau cukup ”0” bagi pelanggan Indosat). Sekali lagi, bukankah dengan adanya kode akses SLI kita tetap saja mencantumkan kode negara Indonesia dengan +62 (tidak 00162 atau 00762).

Mitos kedua adalah “konon” dengan dimanfaatkannya basis pelanggan Telkom oleh operator lain (Indosat) dengan kode akses SLJJ menyebabkan Telkom “gigit jari” alias tidak mendapatkan apa-apa. Isu ini jelas salah total, mengingat setiap panggilan akan dihitung network element cost-nya. Jika pelanggan Telkom Jakarta menghubungi pelanggan Telkom Bandung dengan menggunakan jasa SLJJ Indosat, maka pola kliring akan dilakukan, yaitu Telkom akan memperoleh bagian pendapatan dari penggal originasi lokal dan terminasi lokal, sedang Indosat hanya akan memperoleh komponen SLJJ-nya. Secara bisnis, Telkom masih juga berhak untuk bernegosiasi dengan operator lain mengenai biaya pungut (collecting cost) dan biaya costumer retention yang semua itu diserahkan sepenuhnya atas kesepakatan bisnis kedua pihak.

Meskipun pola SLJJ dengan kode akses seperti di atas nampak sangat mudah dilakukan Indosat, sehingga “seakan-akan” Indosat hanya tinggal mengail ikan tanpa harus menyiapkan kolamnya, sesungguhnya tidaklah sedemikian mudah bagi Indosat untuk masuk ke pasar SLJJ ini. Harus diingat bahwa pertemuan antara jartap lokal dengan jartap SLJJ terjadi di level trunk exchange (bukan di sentral lokal), sehingga jika kota tujuan SLJJ bukan merupakan kota yang terdapat trunk Indosat, maka Indosat hanya mampu membawa sampai dengan trunk terdekat. Selanjutnya, Telkom yang akan meneruskan panggilan tersebut sampai ke kota tujuan. Konsekuensinya, Telkom akan men-charge interkoneksi Indosat dengan tarif terminasi jarak jauh, yang saat ini tarif interkoneksinya sebesar Rp 850 per menit. Dengan demikian, untuk tujuan kota di luar trunk Indosat, seberapa rendah Indosat akan membanting harga SLJJ-nya, tentu tidak akan mampu bersaing dengan Telkom (how low can you go !).

Mitos ketiga, adalah tidak seimbangnya jumlah pelanggan yang dimiliki masing-masing operator. Telkom telah memiliki 8,5 juta pelanggan fixed line dan sekitar 5 juta FWA dihadapkan pada jumlah pelanggan FWA Indosat yang hanya sekitar 500 ribu pelanggan.

Jika hanya ditinjau dari jumlah pelanggan telepon tetap, memang antara Telkom dan Indosat tidaklah seimbang. Hal ini tidak terjadi begitu saja, selama puluhan tahun memegang hak monopoli penyelenggaraan jartap lokal, otomatis hanya Telkomlah yang bisa mambangun basis pelanggan. Dengan demikian, jika operator baru dituntut untuk membangun basis pelanggan telepon tetap sebagaimana yang telah dimiliki oleh Telkom hal ini sangatlah mustahil, mengingat titik start keduanya tidak bersamaan.

Yang justru perlu juga dipertimbangkan adalah pelanggan telepon bergerak seluler yang jumlahnya kini telah menyentuh angka 80 juta dan pelanggan FWA operator lain yang sudah hampir mencapai 5 juta pelanggan. Dengan dibukanya kode akses SLJJ di semua operator, maka angka pelanggan Telkom yang 13,5 juta tersebut justru yang menjadi tidak seimbang dengan keseluruhan pelanggan yang akan menikmati jasa SLJJ.

Jika manajemen Telkom jeli dan inovatif, sesungguhnya hal ini justru menjadi peluang bagi mereka untuk memasarkan jasa SLJJ-nya kepada 85 juta pelanggan operator lain. Peluang tersebut sangat terbuka, mengingat regulasi masih memberikan hak transit kepada penyelenggara jartap. Telkom sesungguhnya dapat menawarkan kepada operator lain untuk menjadikan “SLJJ 017” mereka sebagai pilihan bagi jaringan SLJJ yang akan digunakan untuk menyalurkan trafik. Inilah peluang bisnis yang dimaksudkan.

Dengan demikian, jika penerapan kode akses ini menyebabkan basis pelanggan Telkom sebanyak 13,5 juta (8,5 juta fixed dan 5 juta FWA) merasa “dimanfaatkan” orang lain, maka sesungguhnya Telkom pun juga dapat melakukan hal yang sama terhadap 85 juta pelanggan operator lain.

Mitos keempat, kebijakan ini tidak adil karena penyelenggara baru cukup membangun Sentral Gerbang SLJJ (gateway) tanpa diwajibkan untuk membangun jaringan pelanggan untuk meningkatkan angka teledensitas.

Secara teknis memang penyelenggara jasa SLJJ diwajibkan membangun backbone dan gerbang SLJJ di kota-kota di mana mereka akan berinterkoneksi. Masalah kode akses ini sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan pembangunan jaringan pelanggan dan teledensitas. Mengapa? Dua hal tersebut (pembangunan dan teledensitas) merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, dan semuanya sudah tercantum dalam lisensi yang dimiliki. Artinya, Indosat pun juga sudah diikat dengan kewajiban membangun yang sangat jelas dan tegas dalam lisensinya, kapan harus membangun, di lokasi mana, dan dalam jumlah kapasitas berapa, semua tercantum dengan jelas dan tegas.

Kewajiban membangun semacam ini tidak hanya diberlakukan pada satu operator saja, tetapi kepada semua operator juga diberikan kewajiban yang proporsional dan semua sudah tercantum jelas dalam modern license yang dipegangnya. Tugas regulator adalah memantau apakah komitmen pembangunan tersebut sudah dilakukan ataukah belum, jika memang operator yang bersangkutan tidak/belum memenuhi kewajibannya, maka sudah terdapat aturan yang jelas tentang penalti apa yang harus dibebankan kepada mereka. ***