24 Januari 2008

Jazz


Di kejauhan, sayup terdengar suara terompet yang di-mute. Aku bergegas, mencari sumber suara itu. Tak peduli dengan dinginnya senja di Rue St. Michel, jantung kota Paris. Langkahku terhenti, tepat di jembatan beton tua, di samping katedral Notre Dame.

Kafe-kafe di sepanjang sungai Seine telah menyalakan lampunya, meski hari belum terlalu gelap. Heater-heater berdiri tegak seperti petromax, telah lebih dulu disulut sesaat sebelum lampu-lampu menyala, membara, mengalirkan kehangatan pada orang-orang yang mengerumuni, di bawah tenda-tenda bundar, sambil menyeruput secangkir kopi pahit.

Senja itu terasa semakin lengkap, ketika suara sayup terompet itu kutemukan episentrumnya. Seorang lelaki kurus, berkulit hitam legam, dengan cuek terus saja meniup. Di samping casing terompetnya yang lusuh, tergeletak beberapa botol vodka murahan, yang sebagian isinya tumpah ke trotoar, serta berserak keping-keping koin Euro pecahan terkecil.

Someday My Prince Will Come, terdengar sangat lembut, melayangkan lamunan penikmatnya ke layar lebar, di mana Snow White dan tujuh kurcaci bercengkerama. Ya, lagu tema film anak-anak itu sangat indah terdengar. Ia tetap saja cuek. Gemerincing lemparan koin, pertanda apresiasi yang sangat murah, disikapinya dengan santai, se-cuek sikapnya mengulum mouthpiece terompetnya. Bahkan untuk sekadar mengucap ”merci”-pun nampak sangat berat untuk ia lakukan.

Dalam ”kekaguman” itu, aku tertarik untuk mengamati lebih dalam. Si kurus hitam itu meniup dengan sepenuh hati. Di balik overcoat-nya yang lusuh, ia tak peduli sekecil apa pun apresiasi yang dibayar orang yang lalu-lalang di jalanan sibuk, seusai penatnya hari kerja. Nampaknya ia percaya, apa yang terjadi pada orang-orang yang berlalu-lalang itu bukanlah urusannya. Tanggung-jawabnya hanya sebatas menyajikan musik dengan asketisme penuh. Itu saja.

Langit senja, di atas Paris, sudah tidak lagi menyisakan rona merahnya. Akhir winter yang dingin masih terasa menyergap. Sikap peniup terompet itu masih saja terngiang di lamunanku. Sikapnya yang pasrah dan cuek, mengingatkan pada sosok Miles Davis, jawara terompet yang hanya kukenali lewat tulisan-tulisan orang, atau sekadar kupelototi dari tayangan You Tube yang serba singkat itu.

Ya, aku yakin benar, Miles Davis, sang legenda itu memang telah menginspirasinya. Tone yang dikeluarkan dari ujung terompetnya adalah persembahan terbaik yang pernah diberikan kepada umat manusia, penikmat jazz. Saya tahu persis, ketika kulirik goresan engrave di terompetnya, tertulis tegas, le Blanc. Aku terhenyak, kenapa orang ini punya instrumen yang mahal itu, sementara (minimal menurutku) hidupnya tidak pernah lepas dari serakan koin-koin pecahan terendah itu?

Pengamen di seantero Paris selalu menyajikan permainan terbaiknya. Sangat berbeda dengan Jakarta, yang pengamennya hanya berbekal crown cap, tutup botol yang disunduk dengan paku, jadilah tamborin ecek-ecek, sekadarnya. Di Paris, mengapa semua pengamen pasti menyajikan permainan terbaiknya, tidak lain karena adanya lisensi. Sebelum dilepas bebas ke jalanan, mereka harus mengantongi lisensi dari pemerintah kota. Tanpa lisensi itu, ia ilegal, dan siap digaruk polisi tanpa ampun.

Sore berikutnya aku coba mencari jawaban atas rasa penasaranku. Kutelusuri kembali lorong-lorong di sekitar Notre Dame. Meski tak kudengar tiupannya, aku berkeyakinan sang peniup terompet itu pasti tak jauh dari titik di mana ia kutemukan tempo hari. Sore ini Rue St. Michel terlalu gaduh, jam pulang kantor hari Jumat lebih awal dari hari lainnya.

Benar saja, kutemukan ia di depan sebuah brasserie. Di tengah kontrasnya udara hangat di balik kafe yang temaram dan dinginnya udara luar yang menusuk sampai ke tulang. Masih seperti kemarin, cuek. Kali ini kudengar Desafinado, repertoar yang sangat akrab ditelingaku lewat tiupan sang maestro Arturo Sandoval.

Lagu yang aslinya ditulis dalam format bosanova itu terasa menjadi renyah ketika ia berjungkir-balik dengan staccato. Mute cap-nya tak lagi dipasang, ia biarkan tiupan udara dari kerongkongannya mengalir bebas dari pipa kuningan berkelok-kelok itu. Sesampai di luar, aliran udara bebas itu bermetamorfosa menjadi tone yang nikmat membuai telinga.

Lagu demi lagu kucermati, mengalirlah When You Wish Upon a Stars, All of Me, Misty, sampai nomor-nomor jazz tradisional Perancis yang tidak mampu kudeteksi judulnya. Sampai di titik ini, saya sangatlah tidak tega untuk hanya sekadar melempar sebutir koin, dalam pecahan tertinggi sekalipun ke casing terompetnya. Apresiasiku terhadap permainannya menuntunku untuk memberinya selembar lima Euro-an. Aku terkejut, orang yang selama ini kulihat sangat cuek, ternyata juga memberi apresiasi kepadaku, berulang kali ia mengucap “merci”, terima kasih, di mana kata itu tak kudengar sekali pun di hari sebelumnya.

Saat kelahirannya, jazz memang marginal. Hanya keuletan dan kegigihan para pelakunyalah yang mampu mengantarkan jazz pada strata yang sangat di perhitungkan dalam percaturan musik dunia. Jazz, metamorfosanya telah dibayar dengan peluh pedih darah dan air mata para pioniernya. Dan ketika di tempat lain jazz telah memiliki komunitas dengan fanatisme penuh, yang mengapresiasinya dengan sangat terhormat, rasanya amat mengejutkan jika ternyata aku masih menemukan kenyataan bahwa jazz juga masih punya sisi gelap, setidaknya seperti yang kutemukan di pinggiran jalan itu, di jantung Paris yang setengah membeku. ***