13 September 2008

London (Part 2)

Pagi itu London benar-benar cerah. Matahari bersinar dengan gagahnya, akhir winter yang mengundang setiap orang untuk menikmati hangatnya sruputan kopi, atau sekadar susuk-susuk sambil membaca novel di Hyde Park yang bersih dan asri.

Kulangkahkan kakiku menuju sudut paling dicari para maniak belanja, Knigtsbridge. Hari belum terlalu siang, hiruk-pikuk stasiun subway sudah terasa. Berbagai ras manusia lalu-lalang dalam balutan overcoat yang tidak sepenuhnya dibekapkan. Memang hari itu tidak terlalu dingin. Salah satu episentrum sudut itu adalah Harrods, pusat pertokoan presitisius, delapan lantai, dengan dominasi warna hijau daun di sekujur kanopinya.

07 Agustus 2008

London (Part-1)


Setengah jam sudah aku meninggalkan penatnya kabin Malaysia Airlines, waktu menunjuk jam 7:00 pagi, Heathrow International Airport, terpaan udara dingin segera menyergap. Matahari belum nampak, bahkan ufuk timur pun belum menunjukkan rona merahnnya, pertanda hari masih belum akan bangun. Taxi stand segera dipenuhi antrean mengular.

Kucermati jalanan, London taxi melaju di jalurnya. Meski hanya dibatasi garis kuning, tak satu pun kendaraan pribadi yang berani masuk ke jalur angkutan umum ini. Beda sekali dengan Jakarta, yang meski sudah dipasang separator tetap saja kendaraan pribadi (bahkan sepeda motor) melenggang masuk ke jalur busway.

Ternyata benar, setengah jam kemudian, sesampainya di pusat kota, hari masih gelap meski hampir jam 8 pagi. Grosvenor Square masih lengang, hanya penyapu jalan dengan mesin sapunya yang menderu-deru dan perawat taman yang sudah nampak sibuk di Roosevelt Memorial Park itu.

Ketidakberuntungan nampaknya menerpaku, meski reservasiku di Millenium Hotel sudah confirmed, tapi saya terlalu pagi untuk check-in, hingga aku baru akan dapat kamar nanti jam dua siang, alamak... Di saat penat setelah 12 jam terbang dari Kuala Lumpur seperti ini, mau mengumpat kok nampaknya tak ada gunanya. Atas nama kedisiplinan, resepsionis itu hanya berkata singkat: You're too early to check-in, it's not my responsible.... segera naluri kejawaan saya muncul seketika, yowislah... Terlebih setelah orang-orang sekaliber Menko Perekonomian (waktu itu) Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Agus D. Martowardoyo, Indra Setiawan, Theo F. Toemion, Eddie Haryoto dan beberapa orang Dirut BUMN yang lain pun tertimpa nasib serupa, akhirnya semua kusikapi dengan ringan.

Kucoba membunuh waktu dengan berjalan-jalan di taman. Tulip warna-warni masih tersisa mengembang, kursi kayu risban yang bersih menjadi menjadi penghibur di sela kepenatan. Burung gagak meloncat-loncat mengejar serangga kecil yang hinggap di pucuk-pucuk daun tulip. Patung Franklin Delano Roosevelt yang menjadi episentrum taman itu tampak gagah, perunggunya menghitam, tatapan ekspresinya dingin di balik overcoat-nya yang kedodoran.

Di tengah-tengah mengamati gedung-gedung yang melingkari Grosvenor Square, ada sesuatu yang membuatku terkejut, bangga, trenyuh dan sekaligus malu. Tepat di depan saya nampak Gedung Kedutaan Amerika, berjajar melingkar dengan kedutaan Rusia, Kanada, China, dan Indonesia !! Grosvenor Square adalah tempat yang sangat prestisius di jantung London. Distrik Mayfair merupakan prime location yang (tentunya) hanya negara-negara yang sangat dihormati dan disegani Inggris lah yang kedutaan besarnya ditempatkan di area itu.

Sampai di sini lamunan saya jadi terbang. Kesimpulannya, Indonesia (pada waktu itu) di mata Inggris telah dipandang sebagai negara yang perlu diperhitungkan di percaturan politik dunia. Tidak bisa tidak, kekaguman itu harus selayaknya ditujukan kepada para founding father kita. Jika kini Indonesia telah menjadi bangsa paria di mata internasional, akibat ulah para pengelolanya yang tidak mampu meneruskan reputasi pendahulunya, maka keberadaan kedutaan Indonesia persis satu lokasi dengan negara-negara besar itu (betapapun) telah menunjukkan bahwa kita pernah menjadi bangsa terhormat.

***

Udara pagi sudah mulai menghangat. Matahari bersinar begitu terik, meski kehangatan pancarannya tidak mampu sepenuhnya menyelimuti permukaan bumi London. Setidaknya ada keberuntungan yang bisa diraih hari itu. Sinar matahari, sesuatu yang cukup langka keberadaannya bagi warga London. Dalam setahun, tak lebih dari tiga persen saja waktu siang hari dihangatkan dengan sinar matahari, dan aku mendapatkan yang tiga persen itu pas di saat kepenatan menghinggapiku.

Lima jam menunggu, waktu yang sangat membosankan. Kuisi dengan jalan-jalan di sepanjang Oxford Street. Suasana masih lengang, hari masih terlalu pagi untuk menemukan sekadar kedai kopi yang buka. Hanya beberapa minimart 24 jam yang mengisi kesibukan pagi itu. Di salah satu sudutnya, kulihat gelandangan yang masih tertidur lelap, di balik overcoat-nya yang lusuh nampak tidak menghiraukan semua yang melintas.

***

Salah satu episentrum London, dan menjadi landmark bagi kota tua itu adalah Hyde Park. Memang, London, kota tua yang kaya akan taman-taman publik, dan Hyde Park salah satu di antaranya. Taman ini adalah taman terluas dan (menurutku) terindah di seantero London. Di sebelahnya, dalam ukuran yang lebih kecil ada The Green Park dan St. James Park yang asri.

Entah berapa puluh hektar luas Hyde Park, yang jelas, butuh waktu lebih dari sejam untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Kulangkahkan kakiku melawan arah jarum jam, kuawali dari Marble Arch, sudut taman dengan bangunan tua yang masih gagah dan anggun.

Marble Arch, kita menyebutnya semacam gapura marmer, ya seluruhnya terbuat dari marmer. Konstruksi empat pilar kukuh itu nampak dibuat secara knock down. Cahaya lampu kristal di selangkangannya berpendar-pendar, tidak menyilaukan, dan justru menambah keanggunan. Dibangun pertama kali pada tahun 1828, sebagai pintu gerbang utama memasuki Buckingham Palace. Ketika istana ratu itu diperluas pada tahun 1851, gapura pualam itu dipindahkan ke tempatnya sekarang, di sudut timur laut Hyde Park yang bersih dan tertata.

Kulanjutkan langkahku menyusuri Bayswater Road. Ada beberapa pintu gerbang untuk memasuki Hyde Park, tak satu pun yang dijaga petugas. Di sisi utara, gerbang yang paling besar dan terkenal paling adalah Victoria Gate, gerbang baja yang kokoh, meski lebar, tak satu pun kendaraan yang boleh melintas, hanya pejalan kaki. Gerbang selebar 4 meter ini merupakan jalan pintas dari Bayswater menuju Kensington melalui The Ring, poros tengah yang membelah taman ini menjadi dua: Hyde Park dan Kensington Garden.

Hari belum begitu siang, para pelukis jalanan mulai menggelar karyanya di sepanjang trotoar Bayswater. Lukisan-lukisan dan karya kriya dipajang dan digantung di sepanjang pagar Hyde Park. Mereka umumnya berlisensi, sehingga tak ada kekhawatiran akan digaruk aparat.

Di seberang taman, Gloucester Street, kulihat Corus Hotel dengan tembok putih pucat. Bendera Inggris berjajar dengan bendera Malaysia berkibar-kibar, cuaca dingin yang menyergap London di akhir winter selalu disertai dengan tiupan angin (windy time), dingin seperti menyayat wajah yang diterpanya.

Langkahku terhenti di sudut Kensington Garden, ada obyek menarik yang sangat dominan di sepanjang tatapan mata. Monumen untuk mengenang sang putri rakyat, Princess Diana Memorial Children's Playground. Syahdan, di tempat itulah dulu sang Mawar Brtitania itu sering mengajak anak-anaknya bermain, di awal summer.

Di tengah taman itu, dibangun replika kapal bajak laut, entah apa maksudnya, terbuat dari kayu oak. Kucermati prasastinya, taman ini dibuka untuk umum pada tanggal 30 Juni 2000, sebagai penghormatan kepada sang putri yang sangat mencintai dunia anak-anak yang innocence.

Setiap tahun, tak kurang dari 750 ribu anak-anak dari seluruh dunia yang menikmati taman ini. Anak-anak bisa bermain sepuasnya, melayangkan imajinasi yang dibangkitkan oleh berpuluh-puluh obyek dan beratus mainan yang disediakan. Nampaknya, pengelola taman ini ingin menampilkan suasana Peter Pan, lengkap dengan replika kapal bajak laut-nya.

C
ontinued to London Part-2

30 Juli 2008

Humanisme dan Kebersahajaan


Saya ingin bercerita tentang Toyota Kijang, karena ada ungkapan ekspresi yang perlu saya artikulasikan. Mobil itu, yang saat ini kondisinya sudah renta, tapi catatan tentang eksistensinya sungguh luar biasa, dan sangat pantas untuk saya tempatkan secara amat terhormat dalam tulisan ini.

Ide ini muncul ketika kami sekeluarga menghabiskan waktu liburan sekolah anak-anak di desa kelahiran saya, beberapa minggu yang lalu. Kami sekeluarga sengaja mengisi liburan ini dengan sesuatu yang eksploratif. Anak-anak saya wajibkan menulis apa yang telah mereka temui selama liburan di kampung. Sementara saya mencoba untuk menemukan kembali jejak-jejak masa remaja yang pernah saya lalui di desa ini. Pilihan saya ternyata tepat. Tanpa sengaja, saya menemukan “monumen sosial” yang masih tersisa di desa kami, yang dari sanalah perjalanan eksploratif itu lalu muncul. Monumen itu adalah sebuah mobil tua, Toyota Kijang komando warna biru tua.

Meski kami sekeluarga datang kembali ke desa ini dengan Kijang Innova, sengaja kami mencarter Kijang tua yang telah menjadi legenda itu untuk menemani kami berkeliling, menemukan jejak-jejak lama. Istriku, yang tentunya tidak pernah mengalami masa remaja di desaku tentunya terheran, meskipun akhirnya juga bersemangat setelah saya ceritakan latar-belakang pilihan saya itu.

****

Dua puluh delapan tahun kemudian, ternyata desa kami tidak lagi sesepi dulu. Namun demikian, hingga kini, Toyota Kijang hadiah undian itu tetap saja menjadi kisah, meski desa itu kini telah tenggelam dengan kesibukannya. Siapa pun yang kembali dari rantau, setelah sekian tahun meninggalkan desa ini, masih saja dengan mudah menemukan cerita tentang kemenangan yang dulu pernah menghebohkan seisi kampung. Cerita itu telah menjadi sejarah desa kami.

Teringat saya akan pepatah Cina; masa depan itu adalah masa lalu yang dimasukkan melalui pintu yang lain. Dan bahwa sejarah senantiasa berulang, itulah keniscayaan. Tapi, entah apa pun bentuknya, bahwa sejarah adalah serangkaian catatan gelap terang yang kandungan kebenarannya selalu dapat dibuktikan, atas nama obyektivitas.

Anak desa yang kembali dari rantau itu, saya, kembali tercengang setelah menemukan kenyataan bahwa monumen itu masih mewarnai kehidupan keseharian masyarakatnya, masih dalam posisi dan kapasitasnya seperti dulu ketika hari pertama kehebohan itu menemukan bentuknya.

Saya ingat persis, saat itu tahun 1980-an, suatu pagi tersiar kabar yang menghebohkan seisi kampung, bahwa Pak Yadi -- si tukang ojek itu -- telah meraih hadiah undian dari Rexona (merek dagang deodoran). Bagi kami, orang desa, kemenangan itu tentu menjadi ledakan kehebohan, episentrum kehebohan itu pasti mudah ditebak, karena nilai hadiahnya, bukan sekadar sebuah kaos atau sebentuk cincin yang sangat umum diperoleh ketika membeli sebotol shampo atau sebungkus rokok, tapi sebuah mobil Toyota Kijang minibus !

Antara percaya dan tidak, Pak Yadi, sang tukang ojek itu segera menjadi buah bibir di seantero kampung. Terlebih lagi setelah mobil itu benar-benar datang, tak lama setelah kehebohan itu meledak beberapa hari sebelumnya. Toyota Kijang komando, warna biru tua, karoseri bikinan PPL, dan tentu saja logo Rexona ditempel tegas di kedua pintunya. Saat itu juga, tukang ojek itu telah “naik kelas” dan tercatatlah dalam sejarah desa ini bahwa dialah orang ke dua yang memiliki mobil di kampung ini.

Keberadaan Kijang Rexona ini menjadi istimewa. Mobil pertama, milik Pak Babinsa, adalah mobil pribadi yang tidak mampu menyentuh sendi kehidupan warga sekitar, ia menjadi lambang supermasi atas pencapaian ekonomi keluarga itu. Oleh karenanya tak banyak manfaat yang didapat masyarakat atas kehadirannya. Setidaknya, mobil itu hanya sebuah menara gading bagi keluarganya, yang mengundang decak orang-orang desa, sebagai atraksi yang memaksa orang untuk mengagumi atas superioritas pemiliknya.

Lain halnya dengan mobil ke dua ini. Yang kehadirannya dinilai dan diposisikan sebagai benda tiban yang membawa berkah bagi masyarakat, ia tidak lagi milik si tukang ojek semata, tetapi telah menjadi "milik" masyarakat. Latar belakang kedua pemilik yang berbeda, membuat eksistensi keduanya pun berbeda pula. Oleh karena itu, mengapresiasi keduanya sungguh menjadi hal yang sangat menarik.

Pak Yadi, tukang ojek itu, menjadikan mobil itu sebagai komplemen bagi sepeda motornya. Dengan mobil itu ia dan keluarganya mencari nafkah. Sejak awal kehadirannya, Kijang biru tua itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik dalam suka maupun duka.

Hingga kini, setelah dua puluh delapan tahun mengabdi, kiranya sudah tak terhitung lagi: berapa ratus orang sakit yang telah diantarkan ke rumah sakit; berapa banyak perempuan hamil yang diantarkan ke klinik bersalin hingga pulang menjemput bayi yang telah dilahirkannya; berapa banyak orang tua yang telah diantarkan ke upacara wisuda anaknya ke kota; berapa puluh pasang pengantin yang telah dimeriahkan pestanya; berapa banyak turnamen sepak bola yang telah dia angkut supporter-nya. Mungkin hanya menjemput mayat dari rumah sakit saja yang (barangkali) belum pernah dilakoninya, meski sang mayat itulah yang beberapa hari sebelumnya diangkutnya dalam bentuk orang sakit dan gagal disembuhkan.

Catatan akan eksistensi panjang ini tentu sangat menarik. Pengabdiannya nyaris tak mengenal waktu. Bukan hanya karena waktu dua puluh delapan tahun itu yang membuktikan, tetapi bahwa eksistensinya telah mampu membuktikan kebenaran (sekaligus kesalahan) serangkaian teori sosiokultural yang banyak diyakini di meja-meja akademis.

Bahwa kehadirannya diperlukan setiap saat adalah kenyataan. Catatan Pak Yadi mengingatkan, bahwa ternyata mayoritas bayi di desa ini, yang meronta ingin dilahirkan sebagian besar terjadi di malam hari. Demikian juga orang sakit yang perlu dibawa ke rumah sakit, juga banyak terjadi di saat-saat orang sedang terlelap. Komplementasi antara kebersahajaan sosok manusia dan keandalan teknologi yang dicapai manusia dalam bentuk kendaraan, telah mampu mencipta sebuah piwulang yang sangat dalam.

****

Bahwa dua puluh delapan tahun kemudian desa kami tidak lagi sesepi dulu adalah juga keniscayaan. Namun demikian, bahwa modernisme dan kebangkitan ekonomi telah mengubah tatanan masyarakat tidak sepenuhnya menemukan jawaban yang segaris. Toyota Kijang tua, milik Pak Yadi sang mantan tukang ojek, dan Kijang Innova V-series milik saya, atau mobil pertama milik Pak Babinsa, bagaimana pun telah membuktikan bahwa perjalanan sejarah tak serta-merta menghapus tata nilai. Aksioma yang mengatakan bahwa modernisme telah memenuhi kebutuhan masyarakat ternyata tidak menemukan kebenarannya. Yang ada justru adalah keabadian dualisme, yang oleh Boeke telah difatwakan akan terus terjadi, sedinamis apapun kompleksitas tata nilai dan peradaban masyarakat.

Contoh konkret yang paling mudah dilihat, di alam reformasi dan di tengah derasnya tuntutan akan kualitas kehidupan dan model kepemimpinan masyarakat yang teknokratis, ternyata masih ada inspirasi, ada getaran, imajinasi, gairah, dan bahkan sedikit kegilaan. Sebab dengan kontradiksi, juga dengan kedewasaan dialog, di antara kedua dunia itulah maka obyektivitas sejarah akan berkembang.

Analogi lain, ketika jagad seni pertunjukan kita dikejutkan dengan Dongeng dari Dirah, koreografi ala Sardono W. Kusumo, sebuah komposisi gerak nan ganjil, semua orang terkejut. Bukankah selama ini Sardono dikenal sebagai ”anak manis” yang sangat setia dengan tatanan-tatanan klasik sebagaimana ditekuninya berpuluh tahun di arena sendratari Ramayana Prambanan? Kebingungan itu perlahan-lahan berubah menjadi penerimaan. Satu kemungkinan ekspresi baru telah terbuka, satu era baru tercipta, dan tentunya manusia merasa menjadi lebih bebas, lebih leluasa.

Kijang biru tua, hadiah dari Rexona, dan profil lugu dari seorang tukang ojek, adalah potret yang teramat jernih, bahwa tata nilai dan kebersahajaan senantiasa awet, di tengah hiruk-pikuk dinamika kehidupan yang tiada berujung pangkal. ”Biarkan orang memilih, mau Kijang Innova atau Kijang komando tua ini” kata Pak Yadi. Kalimatnya pendek, dan sesungguhnya maknanya sangat dalam. Ini mengingatkan saya pada Daniel Bell, dalam bukunya The Cultural Contradiction of Capitalism tentang sebuah gejala sosial yang dicatatnya di Amerika tiga puluhan tahun yang lalu, yang ternyata tidak sepenuhnya terbukti, minimal di desa kami yang bersahaja ini.

Setidaknya, Kijang biru tua itu telah memberikan pelajaran bagi kita. Tidak terhitung lagi sekarang berapa banyak populasi mobil di desa ini. Masing-masing telah memposisikan dalam kapasitasnya. Juga Kijang tua itu, yang sampai detik ini masih menggelinding, entah sampai kapan pengabdiannya akan berakhir. Yang jelas, perpaduan antara kebersahajaan, tetesan keringat, dan sejuknya keikhlasan telah menempatkan mobil renta itu dalam kubah sejarah yang teramat berharga bagi desa kami. Betapa indahnya. ***


Note: Ucapan terima kasih kepada Pak Yadi (Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah) atas kesediannya menemani eksplorasi perjalanan budaya yang sangat apresiatif tempo hari.

24 Juni 2008

Sang Buron


Tanpa sengaja, ketika mengobrak-abrik gudang di rumah, saya menemukan buku lama tulisan Prof Dr Suhartono yang dulu kudapat dari teman kos, tapi tidak sempat tuntas kubaca, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, terbitan Aditya Media Yogyakarta 1995.

Sejarah senantiasa berulang. Di samping melahirkan para pahlawan, sejarah juga selalu memunculkan musuh-musuh publik (public enemies). Dulu, pertengahan abad ke-18, mungkin buron masyarakat itu bernama Entong Tolo, penjahat dari Jatinegara. Kini public enemy itu bisa bernama Nurdin M Top, atau Sjamsul Nursalim, atau bahkan Munarman yang tidak pernah berhasil ditangkap polisi (sebelum ia menyerahkan diri) meski hanya bersembunyi di sekitar Jakarta.

Di era kolonial dulu, para penjahat melakukan perampokan dan teror terhadap para priyayi dan pemerintah kolonial. Kini, para bandit modern, merampok harta negara dan menipu rakyat. "Sejarah memang senantiasa berulang. Karena itulah, untuk mengatasi persoalan-persoalan masa kini, kita bisa menggunakan ingatan kita kepada masa lampau,'' ujar Romo Sindhunata, penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin dan Sakitnya Melahirkan Demokrasi.

Ingatan itu, termasuk ingatan untuk menangkap sang buron, agaknya telah tak ada di kepala, sehingga untuk menangkap buron sekelas Munarman saja, sulitnya bukan main. Apalagi menangkap Nurdin M Top atau Adelin Lis yang kemungkinan memiliki pelindung-pelindung setia.

Ternyata jika kita rajin mencermati teks-teks lama, kita akan dengan mudah menemukan berbagai cara untuk memburu para buronan. Sebagai contoh, untuk memburu Entong Tolo, pemerintah kolonial berulang-ulang mencoba memejahijaukan bandit besar dari Jatinegara pada abad ke-18 itu. Karena kesulitan, mereka "menghabisi'' anak-anak kandung Tolo, yang kebetulan juga melakukan perampokan. Tak tahan melihat anak-anaknya disiksa, Tolo akhirnya tak mengadakan perlawanan ketika ditangkap.

Prof Suhartono juga mencatat beberapa taktik menghabisi penjahat. Sebagaimana pengamatan staf pengajar Jurusan Sejarah FIB UGM itu, pada abad ke-18, ada seorang bandit populer bernama Sakam. Ia sangat ganas dengan menyerang desa dan tidak segan-segan membakar rumah dan atau membunuh korbannya. Pemerintah putus asa menangkap Sakam hidu-hidup. Akhirnya dicarikan alibi pada seorang bernama Suhari yang pada tahun 1886 divonis pengadilan Batavia atas nama Sakam.

Apa yang terjadi kemudian? Pengendoran pengawasan terhadap Sakam justru menyebabkan bandit kenamaan itu, lengah. Karena itulah, dengan mudah dia dibunuh oleh Jaksa Serang. Anehnya, "Masyarakat setempat percaya bahwa Sakam adalah manusia luar biasa. Ia tidak mati, tetapi masih hidup terus sebagaimana biasa karena mempunyai kesaktian yang diyakini masyarakat,'' tulis Suhartono.

Ada juga cara lain, sebagaimana yang dilakukan FBR untuk menangkap laki-laki berpistol yang terekam di Monas pada bentrok 1 Juli 2008, yakni dengan memberikan hadiah bagi publik untuk menangkap para bandit. Cara yang tidak terlalu efektif itu tetap diterapkan para pamongpraja Banten sampai menjelang abad ke-19. Sayang sekali, masyarakat sering tak melaporkan perampokan yang mereka alami, sehingga perbanditan terus merajalela. Satu hal yang layak dipuji, meski perbanditan merebak, pemerintah kolonial tetap bertindak tegas dan terus-menerus memburu bandit-bandit besar itu.

Tak semua kejahatan dilakukan oleh para bandit. Ternyata perbuatan melawan hukum itu juga bisa dilakukan oleh putra mahkota Sri Susuhunan (Raja Surakarta). Sebagaimana ditulis oleh Dr HJ De Graaf, pada tahun 1637 dia melarikan "salah seorang istri Tumenggung Wiraguna yang termanis dan tercantik (liefste ende schoonste wijn)''.

Wiraguna tidak tinggal diam. Dia mengadukan perbuatan putra mahkota kepada Sri Susuhunan, dan Sri Susuhunan pun murka. Akhirnya dengan tegas beliau menghukum putra mahkota. Sang anak tidak diperbolehkan bertemu muka dengannya. Tak ada kata ampun. Sang putra mahkota menerima dan dia menahan kesedihannya, tidak mau bergaul dengan wanita selama tiga tahun, bahkan menyuruh mengurung selir-selirnya.

Apa yang menarik dari kisah ini? Sri Susuhunan ternyata patuh hukum. Dia menghukum anaknya sendiri, karena sang anak kepergok melakukan kesalahan besar. Sri Susuhunan juga sangat kooperatif dan menganggap aib putra mahkota adalah aib keluarga. Dia sama sekali tak menghalang-halangi eksekusi', bahkan menjadi leader eksekusi itu sendiri.

Lebih indah lagi, putra mahkota tak keberatan dihukum dan dikucilkan. "Juga dengan cara lain, ia memperlihatkan bahwa telah menyadari kesalahannya. Ia mencukur rambutnya, menyerahkan rakyatnya sekitar 12 sampai 16 orang kepada gurunya, Tumenggung Mataram, dan dengan demikian seakan-akan telah menjadi muridnya lagi. Orang-orang yang dipercayai disuruh menjaga rumahnya,'' tulis De Graaf.

Lalu, karena Putra Mahkota taat menjalankan hukuman, Raja tergerak hatinya untuk memberikan pengampunan. "Setelah tiga tahun berakhir, putra mahkota tanpa banyak keributan dipanggil lagi ke istana dan rupanya segala sesuatu berjalan seakan-akan tidak pernah ada kejadian yang luar biasa,'' tambah sejarahwan Belanda itu.

Kisah Sri Susuhunan dan putra mahkota hanyalah "cerita kecil'' tentang kepatuhan hukum (mantan) elite politik terhadap hukum. Kini, kisah-kisah pelarian perampok, persekongkolan pamong praja dengan para bandit, ternyata lebih banyak dan lebih agung.

Sakam, Sahab, Conat, Ija, Jakaria, dan bandit-bandit legendaris di Banten nyaris tak bisa ditangkap, karena dilindungi oleh masyarakat dan pamong praja. Sang petinggi mau melindungi para bandit, karena mereka mendapat bagian hasil perampokan. Sedangkan publik lebih memilih tutup mulut, karena para bandit sangat ganas dan kejam.

Semua itu, bisa terjadi, paling tidak menurut catatan sejarahwan Djoko Suryo, karena wibawa pemerintah (kolonial) hilang. Malah, Suhartono menyebutkan, para bandit atau public enemy itu sengaja diciptakan untuk merongrong wibawa pemerintah. Mereka tak lebih dan tak kurang merupakan "pemerintah bayangan''. Punya organisasi yang mapan dan dana besar.

Maka, tak mengherankan jika muncul istilah "bandit sosial'' dan "bandit politik'' pada saat itu. Dan melawan bandit-bandit politik (mereka yang mencuri, korupsi, dan merampok) untuk merongrong pemerintah, bukanlah pekerjaan gampang.

Tetapi bukankah Sri Susuhunan telah memberikan pelajaran mengenai penegakan hukum? Bukankah dia bisa tegas memberikan hukuman dan pengampunan. Ya, terkuaknya kasus-kasus hukum yang meruntuhkan citra Kejaksaan Agung dewasa ini menyebabkan ingatan kita terhadap "keindahan kepatuhan'' terhadap hukum kini memang terbang tertiup angin. ***

14 Maret 2008

Idealisme Bermusik


Bagaikan mengurai benang kusut, hubungan antara idealisme bermusik dengan kepentingan bisnis murni semakin sulit untuk ditemukan ujung-pangkalnya. Menilai perkembangan musik pop Indonesia dewasa ini, tentunya akan menjadi perbincangan yang sangat menarik. Di mana perkembangan musik pop telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Yaitu perubahan perlakuan antara musik sebagai produk kesenian, dengan musik sebagai barang dagangan semata-mata. Keadaan ini nampak semakin jelas, ketika kita dihadapkan pada kenyataan menjamurnya lagu-lagu pop yang bersifat konsumsi jangka pendek (short term consumption product), yang kurang memperhatikan aspek apresiasi dan etika berkesenian.

Salah satu karakter yang melekat kuat pada musik pop adalah bahwa musik ini tidak terlalu memakan energi, ketika dinikmati. Ciri lain dapat juga dilihat dari kadar muatan hiburan di dalamnya. Intensitas hiburan akan selalu lebih kuat daripada tujuan lain. Dengan demikian, musik pop akan selalu mengambang, dan berada di atas permukaan selera massa. Musik pop dengan leluasa melekat pada sistem sosial di mana sistem itu tumbuh dan berkembang.

Di tengah hiruk-pikuknya bisnis rekaman di Indonesia, muncul pernyataan yang mengatakan bahwa, perkembangan musik pop dewasa ini lebih mengarah ke orientasi bisnis murni daripada apresiasi sebuah produk kesenian. Terlepas dari unsur subyektivitas, pendapat seperti ini tentunya akan menjadi diskusi yang menarik. Karena bagaimanapun juga, perkembangan musik pop di dewasa ini telah menunjukkan arah yang sangat berbeda dengan beberapa dasa-warsa yang lalu. Kalau beberapa tahun yang lalu peta bisnis rekaman di Indonesia praktis hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan, maka dewasa ini peta tersebut telah berubah total. Keadaan ini akhirnya menyebabkan kompetisi bisnis rekaman menjadi semakin ketat. Ketatnya kompetisi ini terlihat dari fenomena berpindahnya beberapa artis dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Perpindahan tersebut biasanya terjadi karena faktor-faktor ekonomik, walaupun tidak menuntup kemungkinan karena faktor yang lain.

Fenomena lain yang menunjukkan ketatnya kompetisi adalah adanya eksploitasi pasar secara habis-habisan. Hal ini ditunjukkan dengan diorbitkannya (baca: dikarbitnya) beberapa artis yang sebenarnya secara kapabilitas memiliki skill yang pas-pasan. Dengan demikian pameo yang mengatakan bahwa, modal utama seorang penyanyi adalah penampilan, sedangkan skill bisa menjadi prioritas yang ke-dua, ke-tiga, atau bahkan yang ke-sekian, merupakan ungkapan yang ada benarnya. Di sisi lain, perkembangan teknologi rekaman juga memiliki andil yang besar atas terjadinya iklim seperti ini. Canggihnya teknologi rekaman memungkinkan adanya koreksi atas minimnya skill seorang penyanyi.

Eksploitasi pasar juga dapat dilihat dari materi musik yang sedang menjamur di pasaran. Sebuah album yang memiliki angka penjualan tinggi, serta merta akan segera diikuti dengan album lain yang dikemas dalam format yang hampir sama. Atau lagu yang sama tetapi diaransemen dalam irama yang berbeda, misalnya dibuat dalam versi remix, dalam versi disko, atau versi-versi yang lain. Munculnya versi baru dari sebuah lagu akhirnya menimbulkan polemik di kalangan kritisi, sementara pihak mengklaim bahwa tindakan tersebut merupakan kreativitas, di sisi lain dikatakan bahwa tindakan tersebut merupakan perkosaan terhadap sebuah karya seni. Bayangkan, bagaimana rasanya kalau dulu lagu Kaulah Segalanya (Ruth Sahanaya) yang diciptakan Tito Sumarsono dalam nuansa romantis dan asketisme penuh, kemudian diperkosa ke dalam versi disko dangdut? Peristiwa ini sebenarnya analog dengan yang terjadi di era 70/80-an, di mana kesuksesan lagu yang berjudul ABC akan disusul dengan keluarnya lagu yang berjudul Jawaban ABC. Dari semuanya itu akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu eksploitasi pasar. Tidak lebih.

Dewasa ini semakin sulit untuk menemukan lagu pop Indonesia dengan tema yang bermutu (educated music), baik dilihat dari aransemen maupun liriknya. Selain itu, munculnya artis-artis baru yang benar-benar bright juga semakin jarang. Secara kuantitatif memang terjadi boom artis, namun demikian secara jujur kita bisa merasakan bahwa pemunculan mereka memiliki greget yang berbeda dibanding ketika muncul nama-nama seperti Ruth Sahanaya, Trie Utami, Harvey Malaiholo, di peta musik pop Indonesia.

Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi ketika mencermati sebagian besar lirik lagu yang beredar di pasaran. Tema lirik masih berpolar pada masalah cinta anak muda dengan segala asesoriesnya. Transformasi cerita cinta menjadi tema lagu adalah hal yang sangat wajar. Tidak hanya di Indonesia, di belahan bumi manapun tema-tema semacam ini juga menjadi sasaran empuk dalam mencipta lagu, dan itu merupakan tindakan yang sangat sah untuk dilakukan. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana kemampuan seorang pencipta lagu untuk mengungkapkan tema cinta tersebut menjadi bahasa musik dengan kandungan seni dan nilai edukasi yang memadai.

Kekuatan sebuah lirik lagu akan ditentukan dari kejelian pencipta dalam memilih kata. Dan kejelian pencipta pulalah yang akan menentukan kandungan sastra dari lirik lagu yang digubahnya. Karena bagaimanapun juga, nilai seni sebuah lagu tidak akan pernah terlepas dari kadar estetis lirik yang dikandung. Kekuatan lirik inilah yang akan membangkitkan imajinasi pendengar atas tema sebuah lagu. Sementara itu, imajinasi pendengar inilah yang seringkali dimanfaatkan untuk mengeksploitasi pasar. Sehingga muncul polemik tentang perlu tidaknya pencekalan sebuah lagu di televisi, hanya karena lirik lagu tersebut membangkitkan imajinasi negatif di kalangan pendengar.

Untuk melihat perkembangan musik pop dewasa ini, studi komparasi yang yang paling fair yang dapat dilakukan adalah dengan membandingkan kualitas lirik antara lagu-lagu dewasa ini dengan lagu-lagu yang dipasarkan pada beberapa dasawarsa lalu. Di era 80-an lagu-lagu dengan lirik yang bermutu, relatif lebih mudah ditemukan daripada dewasa ini.

Sedikitnya pemunculan lagu pop Indonesia yang memiliki kadar apresiasi yang memadai dapat dicermati melalui tangga lagu Indonesia (radio chart) yang disiarkan oleh beberapa stasiun radio, terutama radio-radio yang cukup selektif dalam menayangkan lagu. Hasilnya akan nampak bahwa banyak lagu yang sudah bertahan beberapa minggu tidak terlempar keluar chart. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa dunia musik pop sedang mengalami krisis, terbukti dengan jarangnya muncul lagu baru Indonesia yang "menggigit". ***

12 Maret 2008

Rem Kereta Api


Di kalangan komunitas pecinta kereta api, masalah sistem rem sangat sering dibicarakan. Mulai dari aspek teknis, sampai aspek lain yang berhubungan dengan keamanan dan kenyamanan berkeretaapi. Hampir semua kereta api yang sekarang operable di Indonesia menggunakan sistem rem angin Westinghouse (ada juga yang varian Knorr) untuk pengereman seluruh rangkaian KA. Selain itu, di dalam sistem lok sendiri juga terdapat independent brake (yang hanya bekerja pengereman lok sendiri).

Pada dasarnya, sistem rem di KA cukup sederhana. Untuk membuka rem hingga sepatu rem tidak menekan roda, maka dalam pipa saluran angin sepanjang KA diisi tekanan udara, tekanan ini mengisi tabung reservoir di tiap-tiap gerbong melalui sebuah katup yang disebut triple-valve. Melalui sebuah kompresor, katup ini akan terus mengisi reservoir untuk menjaga tekanan udara di pipa saluran. Begitu tekanan di pipa saluran ini dikurangi, maka katup akan membuat udara dalam reservoir menekan silinder rem. Semakin mendadak pengurangan tekanan yang ada dalam saluran, maka penekanan silinder rem akan makin kuat.

Sistem ini, kebalikan dari rem angin pada truk atau bis. Pada truk, silinder ditekan dengan memberikan tekanan angin atau oli secara langsung. Kenapa kebalikan? Supaya KA fail safe, misalnya rangkaian terputus, otomatis pipa antar rangkaiannya juga lepas, tekanan akan berkurang mendadak dan rangkaian akan mengerem darurat. Sementara itu, jika yang ditarik rem lokonya, memang roda lokonya akan terkunci, tetapi kalau sang masinis tidak memperhatikan dan main tarik terus, akibatnya roda rangkaian akan menjadi benjol.

Menurut gosip, suara KRL Holec yang bunyinya duk..duk..duk..duk (apalagi kalau pas lagi lewat Gambir dan kita berada di lantai bawahnya, kedengaran jelas). Itu akibat pengisian salurannya kurang cepat, jadi roda sebagian masih terkunci sudah ditarik, jadi pada benjol, akibatnya ya bunyi duk.. duk.. itu!

Bagimana dengan handel rem darurat di setiap gerbong? Alat itu fungsinya untuk membuka katup yang terhubung ke saluran angin yang menjalar di sepanjang KA. Begitu diputar, tekanan udara di saluran akan terbuang, silinder mengunci, KA akan mengerem darurat. Tidak perlu pakai sensor dan lain-lain, murah meriah! Di luar negeri, terutama AS, sekarang memang sedang dikembangkan sistem pemberian komando menggunakan sinyal elektrik ke rangkaian. Soalnya, semakin panjang rangkaian laju rambat angin dalam saluran relatif lambat, sehingga pengereman tidak bisa sekaligus, tapi mulai dari rangkaian yang paling dekat loko.

Penjalaran sinyal elektrik yang cepat, diharapkan dapat mengatasi masalah itu. Sistem Westinghouse sebenarnya relatif aman, tetapi kalau tidak hati hati, misalnya sewaktu menggandeng rangkaian semua reservoirnya kosong, atau katup antar gerbong lupa di buka, sementara masinis menduga kalau saluran angin sudah terisi, akibatnya nanti waktu akan mengerem rangkaian pasti ia akan terkejutnya setengah mati! Makanya sekarang kita sering melihat -- terutama di stasiun pemberangkatan awal -- ada petugas yang membawa manometer yang mengecek ke rangkaian paling belakang dan melakukan pengecekan apakah saluran anginnya sudah penuh terisi oleh kompresor yang dilakukan lokomotif.


Ada lagi masalah, di Indonesia kita sering melihat ada orang yang naik di sambungan antar KA, ini sangat membahayakan (bukan buat orangnya, tapi buat sistem pengereman). Kalau secara tidak sengaja katup saluran antargerbong tersenggol dan tertutup, maka sewaktu masinis megerem, maka hanya sebagian rangkaian saja yang akan mengerem karena salurannya masih terhubung, tetapi untuk gerbong yang salurannya tertutup sampai dengan rangkaian paling belakang remnya tidak akan berfungsi, karena pipa salurannya masih bertekanan dan tertutup, jadi tidak ikut turun tekanannya. Memang untuk membuka dan menutup katup tidak semudah tersenggol, tapi dapat dibayangkan kalau diinjak misalnya, tenaganya cukup untuk memutar katup!.

Kejadian sebaliknya, kalau selangnya terinjak dan lepas, seluruh rangkaian akan mengerem mendadak. Sewaktu zaman SS dulu, sistem pengereman yang digunakan adalah sistem vacuum (makanya orang kita bilang kalau rem mobil, motor, atau sepedanya bagus,disebut remnya “pakem” yang berasal dari kata vacuum). Kalau sistem ini, di sepanjang pipa saluran rem, udara disedot sampai benar-benar vacuum, sehingga silinder rem terbuka (opened). Waktu akan mengerem, udara luar dibocorkan masuk ke dalam saluran, maka silinder akan menekan kampas rem. Kalau rangkaian putus, maka pipa saluran akan langsung terisi udara, jadi otomatis akan mengerem darurat. Kekurangan sistem ini adalah daya tekan remnya tidak bisa sebesar sistem udara tekan Westinghouse, soalnya tekanan udara bebas kan hanya 1 atm, sedang sistem Westinghouse bisa 6-7 atm atau malah lebih.

Lok-lok disel model lama seperti BB301 ada sebagian yang mempunyai dua sistem, Westinghouse dan vacuum, jadi di dalam lok ada kompresor dan pembangkit vacuum. Alat untuk mengeceknya bernama vacuum-manometer. Anda pernah melihat petugas sewaktu akan melangsir gerbong penumpang? Yang dilakukan pertama pasti ia menarik handel di bawah gerbong untuk menghilangkan tekanan yang ada di dalam reservoir, supaya sepatu remnya terangkat. Untuk menghemat waktu, biasanya gerakan langsiran dilakukan tanpa menghubungkan saluran angin rem! Pengereman dilakukan mengandalkan independent brake loko saja. Di stasiun Tugu, saya pernah menyaksikan lok langsir D301 sedang melangsir rangkaian gerbong penumpang. Waktu direm, roda lokonya memang sudah berhenti, tapi masih terseret oleh momentum rangkaian gerbong! Lumayan sih, sampai beberapa meter. ***

01 Februari 2008

Sastra Jawi


PARA sutresna sastra Jawi ingkang minulya, kaparenga kula sumela atur ing blog punika, kanthi urun rembag. Inggih kedah-kedahanipun kepengin dipun wastani "wong Jawa". Nadyan ta sampun boten cetha wangunanipun. Langkung-langkung kula punika tiyang pidak pedarakan, adoh ing sastra cedhak sela, sanes trahing kusuma rembesing madu. Boten wedalan sekolahan, punapa malih paguron agung ingkang nyinau bab sastra utawi kabudayan Jawi.

Tetepangan kula kaliyan sastra Jawi namung sasliringan kewala, nalika kula sesambetan "kapat kasur'' watawis tahun kepengker ing Ngayogyakarta, wonten ing pasamuan pengarang ingkang sampun kasusra ing jagading susastra sarta kabudayan.

Ingkang saking punika, hambokbilih wonten sasar-susuring rembag, wonten klenta-klentunipun atur, kula nyuwun agunging samodra pangaksami. Kula kumawantun matur, namung amargi raos tresna kula dhumateng sastra Jawi, tuwin para paraga ingkang tansah anyengkuyung tuwin ngrengkuh lahir batin.

Saking pamanggih kula ingkang cupet, wonten kalih centhangan kawontenanipun sastra, utawi langkung ageng malih kabudayan Jawi. Sedaya kalawau saking pamanggih dhasar utami, bilih sastra utawi kabudayan Jawi punika kadidene roh. Kadidene sukma ingkang dados wijinipun angger-angger, pitutur, piweling, ingkang boten badhe kendhat, uger taksih wonten sesebatan wong Jawa. Roh punika gesang langgeng sesarengan kaliyan panguripan. Bokmanawi malah dumugi donya-ngakerat.

Saking kalih centhangan kalawau, centhangan ingkang kapisan Roh Jawi, dipun lestantunaken lumantar media cetak kadosta kalawarta, serat kabar, buku, lagu, musik/gamelan, dhagelan, utawi media panggung kadosta wayang, kethoprak, ludruk, utawi malih lumantar pasamuan, piwulang ing sekolah, sayembara panyeratan, sandiwara radio, utawi media-media sanesipun ingkang murakabi. Kahananipun radi nrenyuhaken amargi etangan ingkang kaanggep saking tingalan ekonomis, utawi malah dipun anggep ngirangi dados "wong Indonesia".

Atur kula, petangan-petangan kalawau klentu sanget, malah kapara njlomprongaken. Sastra Jawi saged terus ngrembaka, gegandhengan kaliyan sastra Indonesia utawi sastra donya. Jer ing kabudayan punika mboten wonten "paten-pinaten". Alam kabudayaan punika kasunyatan wontenipun "multikultur", werni-werni kabudayan, kadosdene manungsa inggih benten-benten, tuwuhan inggih benten-benten, sato kewan inggih benten-benten.

Menawi media ingkang nglantaraken sastra Jawi kirang sae kahananipun, kedah kita tampi kanthi lega legawaning manah. Boten prelu dipun getuni, boten prelu dipun tangisi. Ugi boten prelu hanyalahaken ing asanes.

Mangga kita tampi kahanan kalawau kanthi manah ingkang jembar, mbokmenawi ing tengah margi wonten pepadhang. Blog punika mujudaken sarana, lan saged nguripaken malih rasa tresna. "Yoben sithik, tur cilik, nanging bisa terus mendhelik."

Centhangan ing angka kalih, "Roh Jawi" taksih terus tumitis, tumimbal lahir lumantar wewujudan ingkang "beda nanging jan-jane padha'' lumantar wadhag ingkang nami sastra Indonesia utawi sastra donya, utawi malih wewujudan kabudayan kadosdene beksan, sungging, panggung, reca, utawi sinetron.

Roh Jawi lestari, tumimbal lahir, mboten ngalami pejah. "Roh kuwi urip, nanging yen tulisan bisa mati", makaten piwulang ingkang nate kepireng. Pramila, Roh Jawi ingkang tumitis tanpa kendhat punika, sejatosipun minangka "sangkan paraning wong Jawa''. Inggih punika ingkang dipun wastani kejawen, tata cara, tata krama, angger-angger, pitutur, pepeling — menawi dipun bakenaken, dipun organisasi, boten beda kaliyan agami utawi kapitadosan utawi kebatinan. Kejawen dados punjering Roh Jawi utawi dados Suksma Sejati tumprap wong Jawa. Selangkung tahun kepengker ing sawijining pasamuan kados dinten menika, kula ngaturaken pamanggih ingkang sami. Ngantos dinten samangke, kanyatan makaten kalawau dereng owah, dereng gingsir.

Kasunyatan ingkang kita alami dumugi samangke, kejawen boten katata resmi ritualipun, kedah makaten, boten angsal makaten. Kejawen boten kaatur "syariatipun'', boten mawi pranata-pranata ingkang baken, ingkang resmi, ingkang dipun anggep sakral.

Syukur ing Gusti Allah Ingkang Mahaluhur, Roh Jawi ingkang nama kejawen kalawau boten kinunjara ing pranata tuwin tata cara. Dados saged terus ngrembaka, saged tumimbal lair, saged nitis ing sawanci-wanci, ing sadhengah papan, ing sadalan-dalan, kanti wewujudan enggal. Kula pitados, Suksma Sejati taksih wonten ing batin kita sedaya, dinten menika, ngantos satuntasipun zaman.

Kalih centhangan kahananipun sastra Jawa punika lumampah sesarengan. Wonten kalamangsanipun saged lumampah sarimbitan. Ing kalamangsa sanesipun, kados oyak-oyakan. Lampahipun sedaya kalawau boten amargi dipun biyantu pemerintah, boten amargi wontenipun upacara lan proyek, boten amargi samudana.

Lampahipun, mobah-mosikipun sastra Jawa inggih jalaran panjenengan sedaya ingkang nresnani lair batin, ingkang ngrungkebi kanthi tulus, ingkang nembang ing ratri nadyan tanpa swara keprungu, ingkang taksih saged grenengan kanthi solah bawa kejawen. Kula piyambak keraya-raya nyerat ing blog punika amargi pitados bilih sejatosipun Roh Jawi ingkang ngobahaken kita sedaya. Sumangga kersa. ***

Telum


Karakteristik yang melekat kuat pada industri telekomunikasi adalah bahwa industri ini bersifat hi-tech. Dari waktu ke waktu, dalam durasi yang pendek, teknologi senantiasa melompat-lompat. Terlebih lagi setelah terjadi akselerasi besar-besaran dalam teknologi mikroprosesor, storage, internet protocol, dan konfigurasi jaringan.

Dampak langsung yang terjadi, terutama dalam tataran regulasi adalah adanya fenomena tentang tertinggalnya regulasi relatif dengan akselerasi perubahan teknologi. Masalah eksistensi telepon umum (telum), misalnya. Masalah ini menarik untuk diangkat ke permukaan, mengingat eksistensi telepon umum sudah mulai dipertanyakan relevansinya.

Filosofi yang mendasari adanya telepon umum adalah bahwa masyarakat harus diberikan akses telekomunikasi, meskipun yang bersangkutan bukanlah pelanggan satu operator tertentu. Hal ini berkait erat dengan paradigma lama, yang mengaitkan kelangkaan akses ini dengan teledensitas. Akibatnya, muncul suatu regulasi yang mewajibkan penyelenggara jaringan tetap lokal untuk membangun telepon umum.

Regulasi eksisting mensyaratkan bahwa kewajiban membangun telepon umum dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal. Di samping itu, jumlah dan spesifikasi telepon umum pun juga telah ditentukan. Di antaranya, jumlah telepon umum yang dibangun sebanyak 3 persen dari kapasitas sentral. Dari jumlah tersebut, satu persen di antaranya adalah telepon koin. Di sisi lain, pola pricing pun juga ditetapkan, yaitu dengan tarif sebesar Rp 100 per pulsa.

Nah, dari gambaran di atas jelas nampak bahwa regulasi eksisting tentang telepon umum sudah terasa ketinggalan, jadul. Tentunya dapat dimaklumi bahwa regulasi tersebut masih bernuansa atmosfer dunia telekomunikasi lama. Di mana kapasitas dan operator yang masih terbatas. Pada waktu itu, angka 3 persen kapasitas barangkali masih relevan, mengingat circuit switch PSTN memiliki kapasitas yang tidak terlalu besar, relatif dengan era sentral modern dewasa ini. Kelemahan lain, spesifikasi yang mewajibkan satu persen berupa telepon koin sungguh menyulitkan operator. Ukuran koin yang berubah-ubah setiap waktu menjadikan kesulitan untuk melakukan setting, di pihak pengguna pun keberadaan koin juga sudah semakin tersisih.

Dari sisi lain, kalu dicermati okupansi telepon umum dewasa ini, nampak jelas bahwa sudah semakin jarang dipergunakan. Hal ini tidak terlepas dari perubahan pola industri secara umum, di mana masalah akses sudah bukan hal yang relevan lagi, terutama di daerah-daerah perkotaan. Melesatnya penetrasi telekomunikasi seluler juga menjadi penyebab masyarakat sudah semakin jarang menggunakan sarana telepon umum.

Keengganan masyarakat menggunanakan telepon umum, meski tarif lokalnya murah, antara lain karena semakin sulitnya ditemukan telepon umum yang waras, yang bisa digunakan dengan baik. Bila kita cermati, di jalan-jalan atau di mana pun, sebagian besar telepon umum dalam kondisi rusak.

Hal ini menjadi dilematis, bagi operator tingginya vandalisme menyebabkan biaya pemeliharaan telepon umum menjadi sangat mahal. Padahal, pricing-nya sangat murah. Dua hal yang bertolak belakang. Bagi masyarakat, karena kondisi telepon umum yang sering rusak, maka semakin jarang mereka menggunakan. Keduanya tidak menemukan ekuilibriumnya.

Berdasar pada masalah-masalah di atas, maka semua pihak yang terlibat haruslah segera mengambil langkah untuk menyelamatkan keberadaan fasilitas publik ini. Regulator harus segera melakukan revisi regulasi agar tidak lagi jadul. Sementara, operator juga harus melakukan inovasi-inovasi agar telepon umum ini kembali diminati masyarakat. Misalnya dengan menempatkan telepon umum di lokasi-lokasi di mana demand berada.

Keberadaan wartel juga harus mendapat perhatian. Meskipun saat ini sudah ada regulasi khusus tentang wartel, namun keberadaan wartel ini sebaiknya dijadikan satu paket dengan eksistensi telepon umum. Ditinjau dari fungsinya memang wartel juga merupakan telepon umum, tetapi dilihat dari pricing-nya jelas sangat berbeda. ***

30 Januari 2008

Bill


"Hidup ini hanyalah menunggu mati...." Jayasuprana pernah mengucapkan kalimat itu, dengan mimik yang sangat serius. Tidak seperti biasanya, sang kelirumolog itu biasanya mengapresiasi segala hal dengan sangat enteng, tapi tidak untuk kematian. Karena hidup ini hanyalah menunggu mati, maka kematian itu sendiri harus disikapi sebagai keniscayaan, dan untuk itu kehidupan harus diisi dengan kesiapan penuh untuk menyongsongnya.

Sederhana memang, dan tatkala kematian itu menjadi kenyataan, maka makna atas pengisian kehidupan itu menjadi sangat relevan. Kematian akan menjadi kosong, tidak bermakna, jika si pelaku tidak pernah mengisi kehidupannya dengan kesiapan yang cukup, untuk menyambut datangnya kematian.

Dalam sepekan ini, setidaknya kita menyaksikan betapa kematian bisa mengharu-biru. Bangsa Indonesia telah kehilangan beberapa putra terbaiknya. Pak Harto berpulang, Pak Jusuf Ronodipuro juga surut ing kasedan jati. Keduanya memang memiliki arti dan keistimewaan bagi bangsa ini. Namun, ada yang terlupakan, setidaknya dari pantauan media massa, bahwa selain dua tokoh besar itu, Indonesia juga telah ditinggalkan senimannya, Bill Saragih.

Di kalangan jazz, Bill adalah pilar besar. Banyak hal yang telah diperbuat untuk jazz di Indonesia. Dedikasi dan loyalitasnya sungguh mengagumkan. Setidaknya itu yang bisa saya lihat dan rasakan ketika bergaul dengannya. Ia selalu memberikan apresiasi terhadap musisi muda.

Bagi yang belum pernah bergaul dengannya, ejekan kepada player muda terasa sangat menyakitkan, dan bahkan tidak jarang sangat sarkastis. Lepas mengejek, ia tidak berhenti, diajarkannya jurus-jurus yang benar untuk mengobati ejekan itu. Hasilnya, anak-anak muda akan tahu bagaimana cara Bill mengajarkan ilmunya.

Bill sangat precise. Ia mengenal betul presisi nada, bahkan dalam tataran plus minus dalam intensitas yang sangat kecil sekali pun. Suatu saat, ia mengomentari tone alto sax sparring partner-nya, anak muda yang meniup saxophone ala anak sekolahan. Bagi yang tidak peka, tone itu terdengar biasa-biasa saja, wajar, dan nadanya tepat. Namun di telinga Bill tone itu dinilainya tidak precise. Ia mampu mendengar "sepersekian" step terlalu tinggi, yang tidak mampu didengar oleh orang lain. Sampai di sini, naluri keempuannya ia tunjukkan. Tidak sekadar menyuruh sang player muda untuk membetulkan letak mouthpiece sax-nya, tetapi sekaligus memberikan contoh nada yang tepat.

Catatan lain, Bill adalah apresiator yang tulus. Setiap konsernya terasa segar. Ia entertainer sejati. Suatu saat, di belakang panggung Jak Jazz, ia pernah "memarahi" Indra Lesmana, yang dinilainya terlalu asyik dengan dirinya sendiri ketika berada di atas panggung. Ia mengingatkan, bahwa kehadiran penonton, yang notabene sudah meluangkan waktu dan juga biaya, harus diberikan apresiasi yang pantas.

Rasanya terlalu banyak sisi indah yang ditinggalkannya, meski ada pula sisi lain (yang sebagian orang menilainya) negatif, rasanya saya tidak pantas untuk mengungkap dalam tulisan ini. Bagaimana pun Bill Saragih juga manusia (meminjam kredo band Seurieus). Meskipun beliau putera Batak tulen, saya, sebagai orang Jawa tidak segan-segan untuk bersikap mikul dhuwur mendhem jero kepada almarhum.

Selamat jalan Oom Bill, dedikasimu, loyalitasmu, asketismemu pada jazz telah menjadi monumen yang abadi di blantika jazz tanah air. ***

24 Januari 2008

Jazz


Di kejauhan, sayup terdengar suara terompet yang di-mute. Aku bergegas, mencari sumber suara itu. Tak peduli dengan dinginnya senja di Rue St. Michel, jantung kota Paris. Langkahku terhenti, tepat di jembatan beton tua, di samping katedral Notre Dame.

Kafe-kafe di sepanjang sungai Seine telah menyalakan lampunya, meski hari belum terlalu gelap. Heater-heater berdiri tegak seperti petromax, telah lebih dulu disulut sesaat sebelum lampu-lampu menyala, membara, mengalirkan kehangatan pada orang-orang yang mengerumuni, di bawah tenda-tenda bundar, sambil menyeruput secangkir kopi pahit.

Senja itu terasa semakin lengkap, ketika suara sayup terompet itu kutemukan episentrumnya. Seorang lelaki kurus, berkulit hitam legam, dengan cuek terus saja meniup. Di samping casing terompetnya yang lusuh, tergeletak beberapa botol vodka murahan, yang sebagian isinya tumpah ke trotoar, serta berserak keping-keping koin Euro pecahan terkecil.

Someday My Prince Will Come, terdengar sangat lembut, melayangkan lamunan penikmatnya ke layar lebar, di mana Snow White dan tujuh kurcaci bercengkerama. Ya, lagu tema film anak-anak itu sangat indah terdengar. Ia tetap saja cuek. Gemerincing lemparan koin, pertanda apresiasi yang sangat murah, disikapinya dengan santai, se-cuek sikapnya mengulum mouthpiece terompetnya. Bahkan untuk sekadar mengucap ”merci”-pun nampak sangat berat untuk ia lakukan.

Dalam ”kekaguman” itu, aku tertarik untuk mengamati lebih dalam. Si kurus hitam itu meniup dengan sepenuh hati. Di balik overcoat-nya yang lusuh, ia tak peduli sekecil apa pun apresiasi yang dibayar orang yang lalu-lalang di jalanan sibuk, seusai penatnya hari kerja. Nampaknya ia percaya, apa yang terjadi pada orang-orang yang berlalu-lalang itu bukanlah urusannya. Tanggung-jawabnya hanya sebatas menyajikan musik dengan asketisme penuh. Itu saja.

Langit senja, di atas Paris, sudah tidak lagi menyisakan rona merahnya. Akhir winter yang dingin masih terasa menyergap. Sikap peniup terompet itu masih saja terngiang di lamunanku. Sikapnya yang pasrah dan cuek, mengingatkan pada sosok Miles Davis, jawara terompet yang hanya kukenali lewat tulisan-tulisan orang, atau sekadar kupelototi dari tayangan You Tube yang serba singkat itu.

Ya, aku yakin benar, Miles Davis, sang legenda itu memang telah menginspirasinya. Tone yang dikeluarkan dari ujung terompetnya adalah persembahan terbaik yang pernah diberikan kepada umat manusia, penikmat jazz. Saya tahu persis, ketika kulirik goresan engrave di terompetnya, tertulis tegas, le Blanc. Aku terhenyak, kenapa orang ini punya instrumen yang mahal itu, sementara (minimal menurutku) hidupnya tidak pernah lepas dari serakan koin-koin pecahan terendah itu?

Pengamen di seantero Paris selalu menyajikan permainan terbaiknya. Sangat berbeda dengan Jakarta, yang pengamennya hanya berbekal crown cap, tutup botol yang disunduk dengan paku, jadilah tamborin ecek-ecek, sekadarnya. Di Paris, mengapa semua pengamen pasti menyajikan permainan terbaiknya, tidak lain karena adanya lisensi. Sebelum dilepas bebas ke jalanan, mereka harus mengantongi lisensi dari pemerintah kota. Tanpa lisensi itu, ia ilegal, dan siap digaruk polisi tanpa ampun.

Sore berikutnya aku coba mencari jawaban atas rasa penasaranku. Kutelusuri kembali lorong-lorong di sekitar Notre Dame. Meski tak kudengar tiupannya, aku berkeyakinan sang peniup terompet itu pasti tak jauh dari titik di mana ia kutemukan tempo hari. Sore ini Rue St. Michel terlalu gaduh, jam pulang kantor hari Jumat lebih awal dari hari lainnya.

Benar saja, kutemukan ia di depan sebuah brasserie. Di tengah kontrasnya udara hangat di balik kafe yang temaram dan dinginnya udara luar yang menusuk sampai ke tulang. Masih seperti kemarin, cuek. Kali ini kudengar Desafinado, repertoar yang sangat akrab ditelingaku lewat tiupan sang maestro Arturo Sandoval.

Lagu yang aslinya ditulis dalam format bosanova itu terasa menjadi renyah ketika ia berjungkir-balik dengan staccato. Mute cap-nya tak lagi dipasang, ia biarkan tiupan udara dari kerongkongannya mengalir bebas dari pipa kuningan berkelok-kelok itu. Sesampai di luar, aliran udara bebas itu bermetamorfosa menjadi tone yang nikmat membuai telinga.

Lagu demi lagu kucermati, mengalirlah When You Wish Upon a Stars, All of Me, Misty, sampai nomor-nomor jazz tradisional Perancis yang tidak mampu kudeteksi judulnya. Sampai di titik ini, saya sangatlah tidak tega untuk hanya sekadar melempar sebutir koin, dalam pecahan tertinggi sekalipun ke casing terompetnya. Apresiasiku terhadap permainannya menuntunku untuk memberinya selembar lima Euro-an. Aku terkejut, orang yang selama ini kulihat sangat cuek, ternyata juga memberi apresiasi kepadaku, berulang kali ia mengucap “merci”, terima kasih, di mana kata itu tak kudengar sekali pun di hari sebelumnya.

Saat kelahirannya, jazz memang marginal. Hanya keuletan dan kegigihan para pelakunyalah yang mampu mengantarkan jazz pada strata yang sangat di perhitungkan dalam percaturan musik dunia. Jazz, metamorfosanya telah dibayar dengan peluh pedih darah dan air mata para pioniernya. Dan ketika di tempat lain jazz telah memiliki komunitas dengan fanatisme penuh, yang mengapresiasinya dengan sangat terhormat, rasanya amat mengejutkan jika ternyata aku masih menemukan kenyataan bahwa jazz juga masih punya sisi gelap, setidaknya seperti yang kutemukan di pinggiran jalan itu, di jantung Paris yang setengah membeku. ***

23 Januari 2008

Dewabrata


Siapa yang berhak atas sejarah? Dunia selalu diliputi subjektivitas. Kebenaran sejarah selalu melekat pada rezim. Erat sekali. Kebenaran bersaput subjektivitas itulah yang seringkali menjadi bias, ketika sejarah dimaknai sebagai catatan-catatan yang dilekatkan pada entitas eksistensi rezim dan kekuasaan.

Hari itu, dalam pasamuan agung Negeri Astina, lengkap berjajar para priyagung penguasa negeri subur itu. Semua tertunduk, kelu, tak terkecuali Duryudana. Pisowanan agung yang sedianya membahas kelangsungan tahta itu mendadak terhenti. Sebelumnya, perdebatan sengit terjadi ketika muncul kekhawatiran akan tumbuhnya negeri Amarta, yang di luar dugaan para priyagung Astina.

Resi Bisma tiba-tiba menguak kebekuan. Dengan suaranya yang dalam dan berwibawa, ia memulai pembicaraan baru. Suasana sedikit cair. Semua orang yang hadir, satu persatu ditanya, adakah yang mampu menjelaskan sejarah kelahiran negeri besar ini? Arahnya sangat jelas, masalah tahta yang selalu diungkit setiap kali, selalu saja bermuara pada titik yang sama: bagaimana cara melenyapkan para Pandawa.

Mengapa Bisma memulai dengan bertanya tentang sejarah? Ya, sejarah adalah bagian dari masa lalu, yang terkait dengan jelas pada kondisi kekinian, sampai detik di mana pisowanan agung itu digelar. Semua bungkam, ada yang tidak tahu, ada pula yang pura-pura tidak tahu, bahkan ada yang tidak mau tahu. Itulah dinamika politik Astina.

Bisma, jelas dialah yang secara genealogy paling berhak atas tahta panas yang diperebutkan trah Barata itu. Hanya karena ia memegang teguh janji, maka semua kenikmatan tahta yang diperebutkan itu telah menjadi fatamorgana masa lalu, yang telah jauh hari ia singkirkan, demi sebuah janji luhur yang telah ia ucapkan.

Dalam pisowanan agung itu, komitmen janji kembali ia tunjukkan ke semua orang. Bisma memulai mengurai sejarah Astina yang kini terlupakan. Semua masih terdiam.

Setelah Prabu Sentanu tidak lagi tega melarung anaknya yang ke sembilan, bayi tampan bernama Dewabrata ia besarkan sendirian. Seorang raja yang sekaligus duda beranak satu. Dengan mata berkaca-kaca, Bisma memulai mengurai sejarah Astina. Ketika negeri Wiratha menggelar sayembara pilih, dengan taruhan sang permata kedhaton Dewi Durgandini, berangkatlah Prabu Sentanu melamar Durgandini. Hari-hari sebelum sayembara itu digelar, Durgandini telah menetapkan satu syarat kepada ayahnya. Ia hanya mau dilamar oleh ksatria yang datang menggendong bayi lelaki.

Mengapa? Tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya Dewi Durgandini telah melahirkan anak lelaki dari calon suaminya, Prabu Palasara. Dengan taktik seperti itu, ia sangat berharap dalam moment itu ia akan dipertemukan dengan Prabu Palasara yang akan datang menggendong anak kandungnya, Abiyasa.

Malang tak dapat ditolak, harapan akan datangnya Prabu Palasara menggendong Abiyasa ternyata tidak tercapai. Ia datang terlambat. Yang datang lebih dulu justru Prabu Sentanu yang menggendong Dewabrata. Sorak-sorai pun memecah keheningan. Dewi Durgandini telah menemukan jodohnya, sayembara pilih telah usai, demikian pengumuman resmi itu berkumandang.

Tak ingin mencabut persyaratan itu, dengan berat hati Dewi Durgandini bersedia diperistri Prabu Sentanu, raja agung negeri Astinapura. Persyaratan kembali ia berikan. Durgandini hanya mau diperistri Prabu Sentanu dengan syarat jika kelak anaknya lahir laki-laki, maka ialah yang berhak atas tahta negeri Astina.

Sejenak menjadi hening, beku. Prabu Sentanu sadar bahwa sudah ada Dewabrata, sang Bisma kecil yang seharusnya paling berhak atas tahta itu. Sentanu pun menjadi gamang. Pesta pernikahan ditunda sampai Dewabrata dewasa dan bisa diajak berembug.


Di saat kedewasaan telah tiba, Dewabrata kembali diutus ayahnya untuk melamar ulang Dewi Durgandini. Kembali persyaratan itu diangkat ke permukaan. Sampai di titik ini, sikap ksatria Dewabrata kembali diuji.

"Tidak masalah bagiku untuk tidak menduduki tahta Astina, wahai bundaku" ujarnya takzim.

"Aku percaya dengan kata-katamu wahai Dewabrata, tetapi bagaimana dengan anak turunmu kelak?" lanjut Dewi Durgandini.

"Ibundaku, jika memang itu yang Bunda khawatirkan, maka aku bersumpah demi bumi dan langit serta ke haribaan para dewa, aku tidak akan menikah selama hidupku" ujarnya tegas.

Langit seakan pecah, sumpah wadat itu telah jatuh, dan disaksikan bumi langit seisinya. Para dewa di khayangan pun menjadi saksi. Jutaan bidadari turun ke bumi, menyambut sumpah wadat sang ksatria utama.

Hari demi hari, dari pernikahan Prabu Sentanu dan Dewi Durgandini membuahkan dua anak lelaki, Wicitrawirya dan Wicitrasena. Sayang, belum sampai menduduki tahta, keduanya meninggal. Dalam kondisi kekosongan itu, kembali kearifan dan mentalitas Bisma diuji. Janji wadat itu tetap mampu mengalahkan manisnya tawaran tahta Astina.

Di tengah dilema, Bisma tetap tidak bergeming, dan keputusan besar pun ditempuh. Tiada pilihan lain, diundanglah putra Dewi Durgandini yang lahir dari dari Prabu Palasara untuk menduduki tahta. Saat itulah tahta Astina sudah lepas dari pancer-nya. Trah Barata telah terputus. Abiyasa yang akhirnya menduduki tahta, dari sana pulalah pancer baru itu melahirkan keturunannya, Kurawa dan Pandawa.

Suasana tetap hening, burung kutilang di pucuk kemuning, yang kicaunya jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk bangsal Prabayasa kini terdengar jelas, jernih sekali. Sejarah panjang Astina, yang telah dibeberkan Bisma dengan sangat wijang pun tetap tidak mampu menutup subjektivitas. Perang besar, Baratayuda tetap saja terjadi.

Hanya kearifan dan keteguhan Bisma, sang ksatria sejati, yang tidak mampu dihapus hanya oleh sekadar subjektivitas penulisan sejarah. ****

22 Januari 2008

My Romance


Ketika Tony Bennett melantunkan My Romance, tak ada yang bisa dinilai dari desah vokal biduan sepuh itu kecuali satu kata, excellent. Lagu itu sejatinya sederhana banget, melodinya, terlebih liriknya. Namun, kesederhanaan itu nampaknya justru menjadi episentrum kekuatannya.

Dalam American Song Book, My Romance ditempatkan dalam posisi yang sangat terhormat. Ia telah direkam tak kurang dari 60 artis dalam berbagai versi. Mulai dari Tony Bennett yang merdu mendesah, atau pada tiupan tenor sax Scott Hamilton dengan tone yang sangat bersih, bahkan ketika dalam tataran nada paling rendah tenor yang terkenal sangat sulit untuk dikendalikan.

Sejatinya, My Romance digarap oleh Richard Rogers dan lirik yang simpel itu ditulis Lorenz Hart sudah lebih dari 70 tahun lalu. Lagu itu ditulis untuk Billy Rose, sebagai tembang tema untuk film Jumbo pada tahun 1935. Baru pada tahun 1962, levat vokal Doris Day, lagu ini mendunia justru melebihi movie version-nya.

Sama halnya seperti lagu-lagu standar lainnya, selalu berangkat dari kotak musik populer. Saking populernya, hampir setiap telinga akan selalu mengenal lagu itu, walaupun disajikan dalam format apa pun. Atas semua itu, nampaknya kita harus berterima kasih kepada jazz. Daya adaptifnya yang sangat luas membuat My Romance menjadi legenda yang tak lekang ditelan zaman.

Dalam salah satu versi yang lain, Dave Brubeck menggarap lagu ini dengan sangat rapi. Ia memasukkannya dalam album Time Out yang prestisius itu. Peran Paul Desmon di belakang alto sax terasa sangat dominan, meski sering ditimpa dalam line melodinya oleh denting piano Brubeck, hebatnya tone alto sax Desmond yang ”flat” itu tidaklah kehilangan ruh. Sampai di sini kita jadi bertanya, semangat apakah yang sebenarnya terkandung dalam lagu yang sesungguhnya sederhana itu?

Kita coba mulai dari salah satu versi. Scott Hamilton mengangkatnya dalam Ballads Essential. Ia menggarap lagu ini dalam nada dasar aslinya (Bb). Biasanya, orang jazz cenderung mengangkat atau menurunkan satu atau dua step nada dasar itu, dan menjungkir-balikkan melodinya dalam interlude. Namun Hamilton justru tidak melakukan itu. Ia lebih memilih untuk tampil flat, dengan sedikit polesan vibrato. Kesan yang timbul sangat utuh, bersih dan sekaligus romantis. Saya rasa itu merupakan bentuk penghormatan atas eksistensi lagu yang (sesungguhnya) sudah sangat bagus sejak format aslinya ditulis.

Akibat langsung dari garapan Hamilton itu, yang tidak beranjak dari nada dasar aslinya, menyebabkan tone tenor sax-nya menjadi sering melengking. Bagi yang tidak membaca credit title dari album ini, tentunya orang pasti akan mengira kalau Hamilton sedang meniup alto. Jelas ini luar biasa, tenor rasa alto !!!

Lantas bagaimana dengan gaya Brubeck? My Romance di tangan Brubeck menjadi ”hancur”, fingering akustik piano yang sangat powerful dan meledak-ledak (khas Brubeck) menyebabkan lagu ini hanya terasa saat disruput intro-nya saja. Selebihnya justru seakan menjadi arena jungkir balik antara Paul Desmond yang nampak kegerahan meniup alto sax dengan Dave Brubeck yang bak kesetanan menekan tuts piano.

Dua contoh itu memang ekstrem adanya. Di antara keduanya, tak kurang dari 58 versi yang mencoba mengangkat My Romance. Para artis menerjemahkannya ke dalam idealisme masing-masing. Mulai dari Roberta Flack yang sangat ngepop sampai dengan petikan gitar duo Tuck and Patty yang terasa sungguh futuristik. Dalam berbagai versinya, cita rasa yang dibangkitkan My Romance tetap saja nikmat. Ketika disajikan encer menjadi segar, dan ketika digarap kental (dan bahkan pekat pun) masih saja menunjukkan keindahannya.

My romance doesn’t have to have a moon in the sky
My romance doesn’t need a blue lagoon standing by
No month of May, no twinklin’ stars
No hide away, no soft guitars

My romance doesn’t need a castle rising in Spain
Nor a dance to a constantly surprising refrain
Wide awake I can make my most fantastic dreams come true

My romance doesn’t need a thing but you
My romance doesn’t need a thing but you …. …

Durna


Debu bercampur asap sendawa beterbangan memenuhi alun-alun Wiratha. Bangkai kuda berserak bertumpuk dengan potongan-potongan tubuh manusia. Bau anyir menyebar di mana-mana. Darah setengah kering membercak di sepanjang pagar beringin kurung. Langit mendung, bahkan di beberapa sudut kota gerimis mulai turun. Saat itu hari siang masih belum usai. Baru setengah jalan matahari menunaikan tugasnya menerangi jagat raya. Hanya kegelapan hati dan kepongahan Kurawa telah menutup sang surya dengan asap sendawa. Di atas alun-alun Wiratha.

Pintu kori kemandhungan masih terkunci rapat. Gapura utama negeri Wiratha yang tertutup rapat itulah satu-satunya penanda bahwa negeri itu belum bedhah. Eksistensi Wiratha masih belum tumbang di bawah kendali Astina, meski beratus-ratus prajuritnya mati berkalang tanah di sepanjang benteng dan alun-alun. Gempuran meriam bertubi-tubi meninggalkan asap sendawa yang menutup sinar matahari.

Di tengah histeria Kurawa, di antara para senopati yang beringas setengah mabuk. Berdiri tegak di atas kereta perang, Sang Durna. Meski tubuh telah renta dimakan usia, namun sisa-sisa kegagahannya masih memancar tegas, terlebih di antara mata sayu para Kurawa yang berat terbawa pengaruh arak dan alkohol. Dalam keyakinannya yang dalam, sang pendeta percaya bahwa tak mudah untuk mendobrak kori kemandhungan itu.

Ia mencium gelagat itu sejak pertama memasuki tapal batas Wiratha. Keyakinan itu tergambar jelas dari raut wajahnya yang menyimpan rindu pada murid-murid kesayangannya, Pandawa. Ya, Wiratha, negeri lemah yang seharusnya dengan mudah ditumbangkan. Tiba-tiba saja menjadi begitu kokoh menahan gempuran meriam dan senjata. Ia begitu yakin, kuatnya Wiratha tidak semata karena lemahnya Kurawa yang terlelap di bawah tenggakan arak. Pasti ada sesuatu yang segera menjawab kerinduan sang maha guru.

Jauh hari sebelum geger Wiratha itu terjadi, ketika Pandhawa masih bocah dan keahlian me-menthang gendewa ia turunkan pada ksatria kecil, Arjuna, sang maha guru begitu yakin akan talenta si bocah. Saat Pandawa harus menerima kenyataan akan kekalahannya dalam bermain dadu. Mereka harus membayar mahal. Dua belas tahun hidup di rimba Kamiyaka dan setahun bersembunyi dari kejaran Kurawa.

Dua belas tahun telah berlalu, 364 hari persembunyian telah dilampaui. Hari inilah, hari di mana matahari tak kuasa menembus alun-alun Wiratha nampaknya ada sesuatu yang akan segera datang. Hari penentuan. Sesuai dengan janji, jika di hari terakhir itu persembunyai Pandawa terkuak, maka tak ada pilihan lain bagi Pandawa untuk mengulang periode kepedihan yang sama. Dua belas tahun ditambah satu tahun. Begitulah, betapa hari itu sangat bermakna, bagi Kurawa yang seolah sudah kehabisan waktu. Juga bagi Pandawa yang tinggal menghitung hari untuk menuju hari pembebasan.

Dari kejauhan, melesatlah sebilah anak panah. Muncul dari balik ririmbunan pohon kepel, dari balik kori kemandhungan Wiratha. Anak panah itu, melesat hingga meninggalkan suara berdesing. Menimpa tepat di ujung rambut sang Durna. Berkali-kali. Kerinduan sang guru semakin terjawab. Sekaligus jawaban atas kukuhnya benteng Wiratha pun dapat ia rasakan dengan jelas. Jelas sekali.

Saat anak panah terakhir membelai leher jenjangnya, kesadaran itu telah pulih seratus persen. Ia tahu persis, jika sang pemanah benar-benar ingin mengakhiri hidup sang senapati, tentu tidaklah terlalu sulit. Ada seberkas pesan yang disampaikan pemanah yang titis itu. Salam sungkem sebagai tanda bakti murid kepada sang maha guru.

Durna segera bangkit. Kesadarannya pulih, tugas yang diembannya untuk menemukan Pandawa sekaligus menakhlukkan Wiratha justru ia kesampingkan. Sengaja ia mengulur permainan. Para prajurit diperintahkan menjauh kori kemandhungan. Dan saat matahari sudah menyentuh ufuk barat, pertanda hari telah berganti, genaplah sudah tiga belas tahun berlalu. Pandawa telah berhasil melalui masa-masa sulitnya.

****

Durna, yang dalam jagat keseharian selalu ditempatkan pada sisi gelap, ternyata memiliki sisi lain yang tidak dijangkau akal. Terlebih oleh para Kurawa yang selalu terlena dengan manisnya kehidupan. Durna selalu menepati janjinya, meski realitas dan perilakunya sering tidak menunjukkan arahnya.

Memahami Durna haruslah dengan visi yang luas dan terawang jang panjang (visioner). Pandawa, sakti mandraguna adalah hasil dari tempaan dan asahnya. Sebut saja, Bimasena yang telah berhasil menemukan jati dirinya, lewat tirta pawitra mahening suci, sangatlah tidak mungkin jika sang Durna tidak menunjukannya, meski dengan cara (yang menurut orang lain) nampak menjerumuskan. "Temukan pawitra mahening suci di dasar samudera, tapi ingat itu semua harus di-tohi pati, nyawalah taruhannya" katanya suatu saat. (dengarkan dialog dramatis itu dalam rekaman Ki Nartosabdho dalam lakon Dewa Ruci)

Bagi orang awam, perintah Durna kepada Bimasena untuk terjun ke dasar laut adalah suatu penjerumusan. Namun demikian, di balik "penjerumusan" itu sebenarnya terkandung niat luhur untuk menempa sang murid agar dapat menemukan jati dirinya.

Dalam huru-hara Wiratha yang seru itu, jika ia bermaksud jahat, tak sulit baginya untuk menemukan Arjuna, sang pemanah yang telah membelai rambut tuanya dengan takzim. Tapi itu tak ia lakukan, bahkan di hari terakhir yang menjadi penanda penggal janji itu. Hanya uluran waktu Durna lah yang mampu menahan beratnya hari penentuan itu.

Durna memang selalu berada di persimpangan dilema. Di satu pihak, ia harus mampu menunjukkan darma bakti dan loyalitasnya pada pihak yang telah memberinya penghidupan. Namun demikian, di lain pihak ia harus juga menyuarakan kebenaran, meski harus berseberangan dengan orang yang memberinya kehidupan. Durna telah berhasil mengemas semua kontradiksi dan paradoksal itu dengan indah, mulus, anggun, dan elegan. Minimal di mata orang yang mampu memahami misi luhurnya. ***

Mengapresiasi Keris


Bagi orang awam, diskursus mengenai keris selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis, klenik, kanuragan, dan sejenisnya. Tentu hal tersebut tidaklah salah, mengingat eksistensi keris dalam blantika sosial politik masyarakat telah mengakar dan terpatri dalam setiap percaturan. Namun demikian, sebenarnya masih terdapat sisi lain dari keris yang dapat didiskusikan secara lebih konstruktif, terlepas dari stigma "klenik" yang sudah telanjur melekat erat dalam perbeicangan mengenainya.

Keris, sejak zaman dulu (entah periodisasinya harus dimulai dari mana) selalu menjadi lambang supremasi bagi eksistensi kehidupan seseorang (tidak peduli lelaki atau wanita), yang jelas jika kita amati perkembangannya selalu menarik untuk didiskusikan.

Secara fisik, keris tidak beda dengan senjata-senjata tradisional lainnya, bermata tajam, dan digunakan sebagai alat untuk memotong, menusuk, atau mengiris. Namun demikian, di balik semua itu ternyata keris memiliki nilai-nilai yang - jika dikupas - tidak ditemukan dalam diskursus mengenai senjata tajam lainnya.

Saya lebih tertarik untuk mendiskusikan keris sebagai benda budaya, yang sekaligus dapat dimaknai sebagai simbul peradaban suatu rezim. Ketika kita mengamati sebuah keris tangguh kuno seperti era Pajajaran atau yang sebelumnya, misalnya bethok budha, kesimpulan yang muncul adalah bahwa makna keris pada era itu telah mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat penggunanya. Keris adalah lambang supermasi, kewibawaa, investasi, sekaligus juga sebagai media psikologis bagi pemiliknya untuk menambah kewibawaan, percaya diri, dan sejenisnya.

Secara ilmiah, bangkitnya berbagai macam aura yang ditimbulkan oleh keris tidak terlepas dari kandungan materi dalam keris itu sendiri. Dalam dunia perkerisan yang benar, keris selalu dibuat dari bahan dasar baja yang dicampur sedemikian rupa dengan berbagai material, misalnya dengan meteorit, nikel, dan logam-logam lain yang menimbulkan keindahan fisik tertentu. Apresiasi terhadap seni pencampuran ini tergambar jelas ketika pamor keris menjadi ukuran tinggi rendahnya apresiasi.

Kekaguman kita terhadap seni olah logam ini adalah bahwa para empu telah berhasil menembus kecanggihan teknologi sedemikian rupa, sehingga material logam yang secara ilmu metalurgi modern diklaim sangat sulit untuk disatukan, tetapi justru para empu itu telah menjawabnya berabad-abad yang lalu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan perubahan molekuler meteorit yang mampu membentuk keindahan fisik keris.

Dalam dunia perkerisan, dikenal dengan pamor daden dan pamor rekan. Pamor daden adalah pamor yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu untuk diarahkan menjadi motif tertentu. Konsekuensinya, pamor keris hanya dapat diketahui setelah keris sempurna digarap. Perbedaan yang sangat tipis antara satu pamor dengan pamor lainnya telah memunculkan berbagai tafsiran dan penamaan pamor yang sangat banyak. Dewasa ini, dikenal tidak kurang dari 250 macam pamor keris, yang kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan perbedaan di antaranya.

Di sisi lain, percobaan laboratorium radioaktif menunjukkan bahwa keris-keris yang tergolong "panas" biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi. Konsekuensinya, pancaran radiasi yang ditimbulkan menyebabkan tidak semua orang mampu secara fisik menahannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi tersebut dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu-kayu tertentu, yang secara ilmiah dapat meredam.

Yang paling populer dalam dunia pembuatan rangka keris di antaranya adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendhana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, bahkan kadang-kadang juga gading gajah. Sebagai tangkai (ukiran atau dhedher) biasanya dibuat dari kayu Kemuning, Tayuman, dan sejenisnya.

Kayu-kayu tersebut secara laboratorium telah membuktikan mampu menahan daya radioaktivitas dalam kategori yang bagus. Artinya, jika keris disarungkan dalam rangka yang terbuat dari kayu-kayu tersebut maka afek negatif radioaktif yang dipancarkan akibat menyatunya material keris dapat diredam.

Dalam terminologi gugon tuhon (takhyul) selama ini akhirnya dikenal dengan berbagai istilah: keris panas, tidak kuat kanggonan, dan sejenisnya. Padahal, semua itu sudah dapat dibuktikan secara ilmiah. Hanya saja, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana para empu mampu memilih bahannya, sekaligus menciptakan dhapur-dhapur yang tergolong panas tersebut.

Seperti diketahui, keris dengan bahan yang sama tetapi dengan bentuk (dhapur) yang berbeda seringkali memiliki kadar radioaktivitas yang jauh berbeda. Misalnya, keris dengan dhapur Buta Ijo dengan pamor Ganggeng Kanyut dengan keris dhapur Jalak dengan pamor yang sama, seringkali diapresiasi dengan nilai yang sangat berbeda. Buta Ijo selalu dikonotasikan negatif dan beraura panas, sebaliknya dhapur Jalak dikonotasikan sebagai keris dingin yang baik untuk dikoleksi.

Lain halnya dengan pamor rekan, atau pamor buatan. sejak awal sang empu telah menginginkan keris buatannya akan menjadi pamor tertentu, oleh karena itu sejak awal penempaan bahan pamor sudah ditata sedemikian rupa sehingga di akhir pembuatan akan muncul pamor yang diinginkan. Hasil dari pamor ini biasanya lebih dekoratif, dan relatif lebih mudah untuk ditentukan nama pamornya.

Pamor, atau gegambaran yang muncul di tubuh keris, mengandung sejumlah makna, terutama jika diapresiasi secara integral dengan tangguh dan dhapur keris yang bersangkutan. Tangguh keris menunjukkan era kapan keris tersebut diciptakan. Secara politis, tangguh keris juga dapat mencerminkan kondisi sosio kultural masyarakat pada waktu itu. Misalnya, keris era Pajajaran yang biasanya berpostur ramping, bilah yang tipis, serta garap yang sederhana menunjukkan bahwa di era tersebut masyarakat lebih mengapresiasi keris sebagai benda supremasi.

Lain halnya tangguh Tuban, Blambangan, atau Kartasura. Bilah keris biasanya sangat mentap, garap yang halus, material yang bagus, serta memiliki greget, semu, dan wanda yang berwibawa. Politik yang terjadi pada era tersebut memang menuntut adanya sosok tokoh yang berwibawa, kuat secara fisik, dan anggun secara guwaya.

Salah satu hal yang paling mudah memahami bahwa keris merupakan cermin dari karakter budaya setempat adalah persandingan antara tangguh Solo dengan Jogja. Keris-keris keluaran Solo (yang high level) biasanya memilih dhapur-dhapur populer seperti Sengkelat, macam-macam dhapur naga, Parungsari, atau bahkan keris-keris kalawijan (jumlah luk di atas 13). Demikian pula asesorisnya, keris Solo banyak yang bertatahkan berlian, berangka kayu cendana wangi, pendhok emas/selaka, mendhak intan, dan selut berlian. Selain itu, badan keris pun tidak jarang yang bertatahkan emas berlian, dari ujung sampai ganja-nya.

Apa yang dapat disimpulkan? Sudah menjadi stigma bagi orang Solo, konon para bangsawannya berkarakter suka pamer dan senang dipuji. Oleh karenanya, dalam tata perkerisan pun juga mencerminkan yang serba gebyar. Keris adalah lambang supermasi yang harus tampil mewah, terlebih di dalam suatu perhelatan besar.

Lain halnya dengan keris-keris gaya Mataraman (Jogja). Biasanya keris Jogja yang bagus diapresiasi dari sisi yang lain. Dhapur-nya mungkin biasa-biasa saja (lurus, jalak, tilam upih, atau luk-luk sederhana). Tetapi, kebanggaannya adalah bahwa garap dan materialnya yang tergolong langka. Semboyannya, orang berduitpun belum tentu bisa memperoleh keris yang langka. Warangka terbuat dari kayu Timoho yang langka (pelet kendhit, ilat-ilatan, dan sebagainya), dengan model rangka yang sederhana khas Jogja.

Begitulah Jogja, stigma orang Jogja yang suka ngglembuk (merayu secara halus jika punya keinginan) dicerminkan dari model keris yang sederhana, tapi langka. Dalam bahasa anak muda sekarang diistilahkan dengan: merendahkan diri meninggikan mutu.

to be continued ...