22 Januari 2008

Durna


Debu bercampur asap sendawa beterbangan memenuhi alun-alun Wiratha. Bangkai kuda berserak bertumpuk dengan potongan-potongan tubuh manusia. Bau anyir menyebar di mana-mana. Darah setengah kering membercak di sepanjang pagar beringin kurung. Langit mendung, bahkan di beberapa sudut kota gerimis mulai turun. Saat itu hari siang masih belum usai. Baru setengah jalan matahari menunaikan tugasnya menerangi jagat raya. Hanya kegelapan hati dan kepongahan Kurawa telah menutup sang surya dengan asap sendawa. Di atas alun-alun Wiratha.

Pintu kori kemandhungan masih terkunci rapat. Gapura utama negeri Wiratha yang tertutup rapat itulah satu-satunya penanda bahwa negeri itu belum bedhah. Eksistensi Wiratha masih belum tumbang di bawah kendali Astina, meski beratus-ratus prajuritnya mati berkalang tanah di sepanjang benteng dan alun-alun. Gempuran meriam bertubi-tubi meninggalkan asap sendawa yang menutup sinar matahari.

Di tengah histeria Kurawa, di antara para senopati yang beringas setengah mabuk. Berdiri tegak di atas kereta perang, Sang Durna. Meski tubuh telah renta dimakan usia, namun sisa-sisa kegagahannya masih memancar tegas, terlebih di antara mata sayu para Kurawa yang berat terbawa pengaruh arak dan alkohol. Dalam keyakinannya yang dalam, sang pendeta percaya bahwa tak mudah untuk mendobrak kori kemandhungan itu.

Ia mencium gelagat itu sejak pertama memasuki tapal batas Wiratha. Keyakinan itu tergambar jelas dari raut wajahnya yang menyimpan rindu pada murid-murid kesayangannya, Pandawa. Ya, Wiratha, negeri lemah yang seharusnya dengan mudah ditumbangkan. Tiba-tiba saja menjadi begitu kokoh menahan gempuran meriam dan senjata. Ia begitu yakin, kuatnya Wiratha tidak semata karena lemahnya Kurawa yang terlelap di bawah tenggakan arak. Pasti ada sesuatu yang segera menjawab kerinduan sang maha guru.

Jauh hari sebelum geger Wiratha itu terjadi, ketika Pandhawa masih bocah dan keahlian me-menthang gendewa ia turunkan pada ksatria kecil, Arjuna, sang maha guru begitu yakin akan talenta si bocah. Saat Pandawa harus menerima kenyataan akan kekalahannya dalam bermain dadu. Mereka harus membayar mahal. Dua belas tahun hidup di rimba Kamiyaka dan setahun bersembunyi dari kejaran Kurawa.

Dua belas tahun telah berlalu, 364 hari persembunyian telah dilampaui. Hari inilah, hari di mana matahari tak kuasa menembus alun-alun Wiratha nampaknya ada sesuatu yang akan segera datang. Hari penentuan. Sesuai dengan janji, jika di hari terakhir itu persembunyai Pandawa terkuak, maka tak ada pilihan lain bagi Pandawa untuk mengulang periode kepedihan yang sama. Dua belas tahun ditambah satu tahun. Begitulah, betapa hari itu sangat bermakna, bagi Kurawa yang seolah sudah kehabisan waktu. Juga bagi Pandawa yang tinggal menghitung hari untuk menuju hari pembebasan.

Dari kejauhan, melesatlah sebilah anak panah. Muncul dari balik ririmbunan pohon kepel, dari balik kori kemandhungan Wiratha. Anak panah itu, melesat hingga meninggalkan suara berdesing. Menimpa tepat di ujung rambut sang Durna. Berkali-kali. Kerinduan sang guru semakin terjawab. Sekaligus jawaban atas kukuhnya benteng Wiratha pun dapat ia rasakan dengan jelas. Jelas sekali.

Saat anak panah terakhir membelai leher jenjangnya, kesadaran itu telah pulih seratus persen. Ia tahu persis, jika sang pemanah benar-benar ingin mengakhiri hidup sang senapati, tentu tidaklah terlalu sulit. Ada seberkas pesan yang disampaikan pemanah yang titis itu. Salam sungkem sebagai tanda bakti murid kepada sang maha guru.

Durna segera bangkit. Kesadarannya pulih, tugas yang diembannya untuk menemukan Pandawa sekaligus menakhlukkan Wiratha justru ia kesampingkan. Sengaja ia mengulur permainan. Para prajurit diperintahkan menjauh kori kemandhungan. Dan saat matahari sudah menyentuh ufuk barat, pertanda hari telah berganti, genaplah sudah tiga belas tahun berlalu. Pandawa telah berhasil melalui masa-masa sulitnya.

****

Durna, yang dalam jagat keseharian selalu ditempatkan pada sisi gelap, ternyata memiliki sisi lain yang tidak dijangkau akal. Terlebih oleh para Kurawa yang selalu terlena dengan manisnya kehidupan. Durna selalu menepati janjinya, meski realitas dan perilakunya sering tidak menunjukkan arahnya.

Memahami Durna haruslah dengan visi yang luas dan terawang jang panjang (visioner). Pandawa, sakti mandraguna adalah hasil dari tempaan dan asahnya. Sebut saja, Bimasena yang telah berhasil menemukan jati dirinya, lewat tirta pawitra mahening suci, sangatlah tidak mungkin jika sang Durna tidak menunjukannya, meski dengan cara (yang menurut orang lain) nampak menjerumuskan. "Temukan pawitra mahening suci di dasar samudera, tapi ingat itu semua harus di-tohi pati, nyawalah taruhannya" katanya suatu saat. (dengarkan dialog dramatis itu dalam rekaman Ki Nartosabdho dalam lakon Dewa Ruci)

Bagi orang awam, perintah Durna kepada Bimasena untuk terjun ke dasar laut adalah suatu penjerumusan. Namun demikian, di balik "penjerumusan" itu sebenarnya terkandung niat luhur untuk menempa sang murid agar dapat menemukan jati dirinya.

Dalam huru-hara Wiratha yang seru itu, jika ia bermaksud jahat, tak sulit baginya untuk menemukan Arjuna, sang pemanah yang telah membelai rambut tuanya dengan takzim. Tapi itu tak ia lakukan, bahkan di hari terakhir yang menjadi penanda penggal janji itu. Hanya uluran waktu Durna lah yang mampu menahan beratnya hari penentuan itu.

Durna memang selalu berada di persimpangan dilema. Di satu pihak, ia harus mampu menunjukkan darma bakti dan loyalitasnya pada pihak yang telah memberinya penghidupan. Namun demikian, di lain pihak ia harus juga menyuarakan kebenaran, meski harus berseberangan dengan orang yang memberinya kehidupan. Durna telah berhasil mengemas semua kontradiksi dan paradoksal itu dengan indah, mulus, anggun, dan elegan. Minimal di mata orang yang mampu memahami misi luhurnya. ***

Tidak ada komentar: