07 Oktober 2009

Petromax

Kenangan apa yang kau peroleh dari sekadar lampu petromaks? Bahwa benda itu kini tidak banyak dikenal generasi anakku. Bahwa benda itu pun pernah berjasa menerangi dunia ini, juga tidak mampu diraba eksistensinya oleh generasi anakku.

Petromaks, lampu ajaib ciptaan Max Graetz yang dipatenkan pada tahun 1910 (seumur dengan usia Pabrik Semen Padang). Lampu ini merupakan upaya mengoptimalkan hasil pembakaran minyak tanah menjadi sumber cahaya.

Dengan tambahan tekanan
(pressure) udara dan temperatur tinggi, maka terjadi sublimasi oktan minyak tanah pada nozzel. Semburan uap minyak panas ini kemudian didistribusikan melalui VA-burner yang berakhir sebagai pijaran bara api pada serat nilon atau asbes, yang memendarkan warna putih keperakan dengan intensitas ansi lument-nya lebih dari bola lampu konvensional 100 watt.

Saya tidak akan menulis tentang lampu ini secara teknis. Tidak menarik, kata anakku. Lebih baik saya akan mencoba untuk kembali mengingat pernik-pernik tentangnya, yang saya berharap -- setidaknya -- anakku akan tertarik membaca tulisan bapaknya.

Di masa kecilku, sebelum pijar listrik membunuh sinar bulan dan melenyapkan kerlip kunang-kunang di kampungku, lampu inilah satu-satunya penerang yang menjadi penanda adanya secercah superioritas di tengah kegelapan dan kerlip lampu
teplok.

Petromax, sejatinya adalah merek dagang. Nama ini menjadi generik setelah mayoritas pasar saat itu dikuasai oleh merek ini. Sama halnya dengan merek Honda yang sudah menjadi nama generik untuk sepeda motor. Orang desa, umumnya tidak peduli apakah lampunya bermerek Butterfly, Thingkwan, Owl, Solar, mereka tetap saja menyebutnya sebagai Petromax.

Tentang nama generik ini, sebelum salah satu merek mendominasi dan mereknya menjadi nama generik, dulu orang-orang di desaku menyebutnya dengan nama ”dian pom”. Lampu yang – untuk menyalakannya – perlu dilakukan pemompaan.

Di daerah lain, ada yang menyebutnya dengan nama ”srongking”. Usut punya usut, ternyata merek dagang yang merajai daerah itu adalah merek Strong King, dan lidah jawapun lebih mudah melafalkan dengan sebutan ”srongking”.

Ada dua versi lampu ini yang beredar, pertama versi duduk yang biasa kita lihat artefaknya saat ini, dan versi gantung yang sudah masuk kategori
collectors item sekarang ini. Merek Strom King ternyata lebih banyak menjual versi kedua. Setidaknya saya tidak menemukan merek lain selain Strong King untuk versi gantung ini dalam jajaran koleksi saya.

Komponen petromak yang sifatnya
fast moving antara lain kaos lampu, klep pompa, nozzle (orang desa menyebutnya spuyer), jarum pembersih lubang spuyer, VA burner (keramik rumah tawon, tempat kaos lampu diikat), serta kaca berbentuk silinder.

Kaos lampu pada saat itu tersedia di hampir semua toko kelontong. Demikian juga klep dan suku cadang
fast moving lainnya. Keadaan ini sungguh berbeda dengan sekarang, di mana sudah sangat sulit menemukan toko yang menjual kaos lampu ini.

Di Yogyakarta, saya masih menemukan beberapa toko yang masih setia menjual kelengkapan lampu yang sudah
old fashioned ini. Di Jl. Diponegoro, Jl. Gondomanan, dan di sebuah toko di dekat Pasar Prambanan. Di toko terakhir ini, saya masih menemukan juga spuyer dan klep pompa.

Dulu, kaos pasar lampu diramaikan oleh beberapa merek. Yang paling kondang adalah merek Butterfly (cap kupu, kata orang desaku), ada juga merek Owl Mantle (cap ceguk), cap bintang, setidaknya empat merek itu yang masih bisa saya ingat.

Komponen lain yang sangat penting adalah kaca silinder sebagaimana
semprong untuk lampu teplok. Kaca silinder orisinal terbuat dari kaca solid, yang dari pabriknya memang didesain dan dicetak khusus untuk lampu ini.

Versi lain adalah kaca belimbing, yang terbuat dari potongan-potongan kaca berukuran 1-2 centimeter, yang biasanya berasal dari limbah toko kaca. Potongan-potongan ini kemudian dirangkai dengan pelat tipis berbentuk gelang, yang merangkainya hingga membentuk silinder.

Kerusakan kaca pada umumnya disebabkan oleh percikan air, terutama yang digunakan untuk berburu belut di sawah atau sungai. Selain itu, korban paling sering disebabkan karena kaos lampu yang berlubang. Jika kaos lampu berlubang, maka semburan panas akan terfokus pada lubang itu, yang menyebabkan kaca tidak kuat menahan panasnya temperatur semburan.

***

Petromaks yang
genuine, tabung minyaknya terbuat dari kuningan, yang dilapis krom. Jika sudah usang, maka lapisan krom ini biasanya akan lepas dan nampak warna asli kuningan. Petromax tergolong merek yang ”mewah”. Tidak semua keluarga mampu membeli lampu merek ini. Pada sebuah toko barang antik di Surabaya, saya menemukan lampu merek ini dalam kondisi yang masih prima, setahun lalu harganya sudah mencapai Rp 300 ribu.

Selain merek Petromax, belakangan muncul merek-merek lain yang harganya jauh lebih murah seperti Butterfly, cap Mata (saya lupa nama persisnya), Thingkwan, Owl, Quick, Storm King, dan masih banyak lagi.

Di televisi (TVRI tentunya) dulu sempat diiklankan lampu merek Thingkwan dengan talent iklan Djalal, seorang komedian asal Surabaya bertubuh tambun, yang berakting sebagai nelayan yang berhasil mendapat banyak ikan karena terangnya lampu Thingkwan. Sungguh
memorable.

Yang menarik dari reklame tersebut, terutama jika diukur dengan teknologi dan estetika periklanan zaman sekarang, adalah adanya ”kebocoran” adegan yang tidak dilakukan editing. Kebocoran itu adalah digantinya kaos lampu dengan bohlam listrik, lengkap dengan kabel yang menjuntai. Saat itu, adegan itu mungkin tidak masalah, tetapi jika dinilai dengan tolok ukur mutakhir, jelas itu kecerobohan sutradara yang amat norak.

Petromaks, selain digunakan para nelayan seperti dalam iklan di televisi itu, juga digunakan untuk berbagai keperluan. Fleksibilitas penempatan lampu inilah yang menjadi keunggulan dibanding lampu listrik, lampu ini lebih unggul karena memang
wireless, jadi mudah dipindah-pindah.

Selain
wireless, lampu ini juga sangat mobile. Bisa ditenteng ke mana saja si empunya mau. Lampu ini menjadi sarana penerang utama ketika seseorang punya hajat. Menjadi penerang ketika anak-anak desa mencari belut (nyuluh) di sawah, bahkan juga menjadi penerang sekaligus lighting dalam pentas kethoprak dan wayang orang. Ya, petromaks juga telah menjadi bagian dari ekspresi berkesenian rakyat pada waktu itu.

Dalam perjalanannya, lambat laun lampu ini mulai punah dari peredaran. Kepunahan ini seakan-akan sekadar mentaati hukum keniscayaan, bahwa di saat ia mampu menggusur keberadaan generasi sebelumnya, maka harus pula dibekali kesadaran bahwa suatu saat pun ia juga akan mengalami nasib yang sama, tergusur.

Gambaran riil dari semua itu saya mengalaminya. Awal tahun 80-an, ayah saya sempat menukar lampu gantung antik warisan kakek dengan sebuah petromaks baru. Kini, saya yakin harga lampu gantung itu sudah berlipat sekian puluh kali, seiring dengan semakin kukuhnya identitas keantikan yang melekat.

Pada awal-awal masa kemahasiswaan saya di Yogyakarta pertengahan tahun 80-an, saya melihat satu keluarga di Karangmalang yang mampu hidup layak dari jasa penyewaan lampu ini. Setiap hari, saya lihat dia berkutat dengan puluhan biji lampu yang setiap sore disewakan.

Pelanggan yang menyewa lampu itu adalah para pedagang lesehan atau warung-warung tenda di sepanjang Jl. Gejayan dan Jl. Kolombo. Kenapa para pedagang itu menyewa? Umumnya mereka tidak mau repot-repot dengan urusan lampu minyak tanah, yang jelas-jelas berisiko bagi kelangsungan dan kredibilitas warungnya? Lho kok bisa?

Salah satu sensitivitas tertinggi bagi warung makan adalah kontaminasi makanan oleh bau khas minyak tanah. Selezat apapun masakan, jika sudah terkontaminasi bau minyak tanah sekecil apapun, dipastikan akan sangat mengganggu kecerdasan lidah dan menurunkan selera makan.

Inilah yang saya maksud. Dengan cara
outsourching seperti ini, maka urusan bersih-membersihkan lampu menjadi tanggung-jawab vendor dari Karangmalang itu. Ia menyewa lampu dalam kondisi menyala, full tank, dan setiap kali ada ketidakberesan maka tinggal klaim pada si vendor. Tangan tidak bau minyak, dan risiko kontaminasi terhadap dagangan juga dapat diminimalkan.

Bisnis sewa-menyewa petromaks ini masih bertahan sampai pertengahan tahun 90-an. Meskipun saat itu lampu listrik bukan lagi barang mewah, tapi akses untuk mendapatkan masih cukup sulit.

Munculnya genset
portable, berbahan bakar bensin atau minyak tanah, yang lebih praktis (yang paling terkenal saat itu merek Honda dan Robin) lambat laun menggusur keberadaan petromaks dalam blantika persewaan alat penerangan.

Puncak kepunahan, yang ditandai dengan berhentinya bisnis persewaan petromaks di Karangmalang, adalah ketika era reformasi mulai bergulir. Bagaimana transmisi era reformasi sampai berpengaruh terhadap bisnis ini?

Gegap gempita reformasi direspon dalam berbagai cara. Salah satunya adalah meningkatnya radikalisme, turunnya kewibawaan aparat, dan munculnya keberanian masyarakat untuk mencuri
public utilities.

Mulai saat itu, warung-warung di sepanjang jalan tidak lagi menggunakan lampu petromaks. Mereka sudah mulai menarik kabel untuk menyalakan lampu listrik. Sumber arus listrik itu berasal dari berbagai titik. Mulai dari rumah sebelah, kantor pemerintah, bahkan tidak jarang yang nekat mem-
bypass dari lampu penerang jalan.

Mencuri lisrik, sesuatu yang tabu dan menakutkan di era sebelumnya, menjadi hal yang wajar di era “kebebasan” ini. Sungguh sesuatu hal yang memprihatinkan, ketika seseorang melakukan pelanggaran dan ia tidak merasa sama sekali kalau melanggar aturan. Tidak tahu kalau tidak tahu. Sungguh menyesakkan.

Saat ini, yang saya lihat masih setia memanfaatkan keunggulan petromaks
(wireless and mobile) adalah pedagang keliling mi Surabaya di kampungku. Petromaks masih menjadi perlengkapan standar di samping kentongan bambu sebagai penanda kehadirannya, yang bunyinya sudah terdengar jelas meski ia masih berada di gang blok sebelah.

Mempertahankan petromaks ternyata juga bukan perkara sederhana bagi Cak Dullah, si pedagang mi Surabaya itu. Lenyapnya minyak tanah akibat konversi ke gas elpiji merupakan keniscayaan yang sulit dicari solusinya. Tidak ada pilihan baginya, menggunakan petromaks dengan konsekuensi harga minyak tanah non-subsidi yang mahal, atau tidak sama sekali.

Jika kompor minyak sudah mampu digantikan kompor gas, maka minyak tanah sebagai bahan bakar petromaks nampaknya belum tergantikan. Konon, bisa saja tankinya diisi dengan solar, tetapi kualitas nyalanya tidak seterang minyak tanah.

Lain dulu lain pula sekarang. Anakku memandang kagum jenis lampu di sebuah kafe, petromaks antik yang di dalamnya bukan lagi menyala kaos lampu cap kupu-kupu, tetapi sudah diganti dengan bola lampu hemat energi bermerek Osram (merek bola lampu buatan pabrikan Jerman, negara yang dulu melahirkan petromaks).

Proses peminggiran petromaks, dari
main utilities menjadi sekadar pajangan di kafe-kafe dan lobi hotel, nampaknya menjadi penanda betapa perubahan itu sesungguhnya juga dapat dimaknai sebagai keabadian. Dari petromaks, ternyata kita banyak menemukan banyak hal di sana. ***