
Bagi orang awam, diskursus mengenai keris selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis, klenik, kanuragan, dan sejenisnya. Tentu hal tersebut tidaklah salah, mengingat eksistensi keris dalam blantika sosial politik masyarakat telah mengakar dan terpatri dalam setiap percaturan. Namun demikian, sebenarnya masih terdapat sisi lain dari keris yang dapat didiskusikan secara lebih konstruktif, terlepas dari stigma "klenik" yang sudah telanjur melekat erat dalam perbeicangan mengenainya.
Keris, sejak zaman dulu (entah periodisasinya harus dimulai dari mana) selalu menjadi lambang supremasi bagi eksistensi kehidupan seseorang (tidak peduli lelaki atau wanita), yang jelas jika kita amati perkembangannya selalu menarik untuk didiskusikan.
Secara fisik, keris tidak beda dengan senjata-senjata tradisional lainnya, bermata tajam, dan digunakan sebagai alat untuk memotong, menusuk, atau mengiris. Namun demikian, di balik semua itu ternyata keris memiliki nilai-nilai yang - jika dikupas - tidak ditemukan dalam diskursus mengenai senjata tajam lainnya.
Saya lebih tertarik untuk mendiskusikan keris sebagai benda budaya, yang sekaligus dapat dimaknai sebagai simbul peradaban suatu rezim. Ketika kita mengamati sebuah keris tangguh kuno seperti era Pajajaran atau yang sebelumnya, misalnya bethok budha, kesimpulan yang muncul adalah bahwa makna keris pada era itu telah mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat penggunanya. Keris adalah lambang supermasi, kewibawaa, investasi, sekaligus juga sebagai media psikologis bagi pemiliknya untuk menambah kewibawaan, percaya diri, dan sejenisnya.
Secara ilmiah, bangkitnya berbagai macam aura yang ditimbulkan oleh keris tidak terlepas dari kandungan materi dalam keris itu sendiri. Dalam dunia perkerisan yang benar, keris selalu dibuat dari bahan dasar baja yang dicampur sedemikian rupa dengan berbagai material, misalnya dengan meteorit, nikel, dan logam-logam lain yang menimbulkan keindahan fisik tertentu. Apresiasi terhadap seni pencampuran ini tergambar jelas ketika pamor keris menjadi ukuran tinggi rendahnya apresiasi.
Kekaguman kita terhadap seni olah logam ini adalah bahwa para empu telah berhasil menembus kecanggihan teknologi sedemikian rupa, sehingga material logam yang secara ilmu metalurgi modern diklaim sangat sulit untuk disatukan, tetapi justru para empu itu telah menjawabnya berabad-abad yang lalu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan perubahan molekuler meteorit yang mampu membentuk keindahan fisik keris.
Dalam dunia perkerisan, dikenal dengan pamor daden dan pamor rekan. Pamor daden adalah pamor yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu untuk diarahkan menjadi motif tertentu. Konsekuensinya, pamor keris hanya dapat diketahui setelah keris sempurna digarap. Perbedaan yang sangat tipis antara satu pamor dengan pamor lainnya telah memunculkan berbagai tafsiran dan penamaan pamor yang sangat banyak. Dewasa ini, dikenal tidak kurang dari 250 macam pamor keris, yang kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan perbedaan di antaranya.
Di sisi lain, percobaan laboratorium radioaktif menunjukkan bahwa keris-keris yang tergolong "panas" biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi. Konsekuensinya, pancaran radiasi yang ditimbulkan menyebabkan tidak semua orang mampu secara fisik menahannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi tersebut dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu-kayu tertentu, yang secara ilmiah dapat meredam.
Yang paling populer dalam dunia pembuatan rangka keris di antaranya adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendhana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, bahkan kadang-kadang juga gading gajah. Sebagai tangkai (ukiran atau dhedher) biasanya dibuat dari kayu Kemuning, Tayuman, dan sejenisnya.
Kayu-kayu tersebut secara laboratorium telah membuktikan mampu menahan daya radioaktivitas dalam kategori yang bagus. Artinya, jika keris disarungkan dalam rangka yang terbuat dari kayu-kayu tersebut maka afek negatif radioaktif yang dipancarkan akibat menyatunya material keris dapat diredam.
Dalam terminologi gugon tuhon (takhyul) selama ini akhirnya dikenal dengan berbagai istilah: keris panas, tidak kuat kanggonan, dan sejenisnya. Padahal, semua itu sudah dapat dibuktikan secara ilmiah. Hanya saja, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana para empu mampu memilih bahannya, sekaligus menciptakan dhapur-dhapur yang tergolong panas tersebut.
Seperti diketahui, keris dengan bahan yang sama tetapi dengan bentuk (dhapur) yang berbeda seringkali memiliki kadar radioaktivitas yang jauh berbeda. Misalnya, keris dengan dhapur Buta Ijo dengan pamor Ganggeng Kanyut dengan keris dhapur Jalak dengan pamor yang sama, seringkali diapresiasi dengan nilai yang sangat berbeda. Buta Ijo selalu dikonotasikan negatif dan beraura panas, sebaliknya dhapur Jalak dikonotasikan sebagai keris dingin yang baik untuk dikoleksi.
Lain halnya dengan pamor rekan, atau pamor buatan. sejak awal sang empu telah menginginkan keris buatannya akan menjadi pamor tertentu, oleh karena itu sejak awal penempaan bahan pamor sudah ditata sedemikian rupa sehingga di akhir pembuatan akan muncul pamor yang diinginkan. Hasil dari pamor ini biasanya lebih dekoratif, dan relatif lebih mudah untuk ditentukan nama pamornya.
Pamor, atau gegambaran yang muncul di tubuh keris, mengandung sejumlah makna, terutama jika diapresiasi secara integral dengan tangguh dan dhapur keris yang bersangkutan. Tangguh keris menunjukkan era kapan keris tersebut diciptakan. Secara politis, tangguh keris juga dapat mencerminkan kondisi sosio kultural masyarakat pada waktu itu. Misalnya, keris era Pajajaran yang biasanya berpostur ramping, bilah yang tipis, serta garap yang sederhana menunjukkan bahwa di era tersebut masyarakat lebih mengapresiasi keris sebagai benda supremasi.
Lain halnya tangguh Tuban, Blambangan, atau Kartasura. Bilah keris biasanya sangat mentap, garap yang halus, material yang bagus, serta memiliki greget, semu, dan wanda yang berwibawa. Politik yang terjadi pada era tersebut memang menuntut adanya sosok tokoh yang berwibawa, kuat secara fisik, dan anggun secara guwaya.
Salah satu hal yang paling mudah memahami bahwa keris merupakan cermin dari karakter budaya setempat adalah persandingan antara tangguh Solo dengan Jogja. Keris-keris keluaran Solo (yang high level) biasanya memilih dhapur-dhapur populer seperti Sengkelat, macam-macam dhapur naga, Parungsari, atau bahkan keris-keris kalawijan (jumlah luk di atas 13). Demikian pula asesorisnya, keris Solo banyak yang bertatahkan berlian, berangka kayu cendana wangi, pendhok emas/selaka, mendhak intan, dan selut berlian. Selain itu, badan keris pun tidak jarang yang bertatahkan emas berlian, dari ujung sampai ganja-nya.
Apa yang dapat disimpulkan? Sudah menjadi stigma bagi orang Solo, konon para bangsawannya berkarakter suka pamer dan senang dipuji. Oleh karenanya, dalam tata perkerisan pun juga mencerminkan yang serba gebyar. Keris adalah lambang supermasi yang harus tampil mewah, terlebih di dalam suatu perhelatan besar.
Lain halnya dengan keris-keris gaya Mataraman (Jogja). Biasanya keris Jogja yang bagus diapresiasi dari sisi yang lain. Dhapur-nya mungkin biasa-biasa saja (lurus, jalak, tilam upih, atau luk-luk sederhana). Tetapi, kebanggaannya adalah bahwa garap dan materialnya yang tergolong langka. Semboyannya, orang berduitpun belum tentu bisa memperoleh keris yang langka. Warangka terbuat dari kayu Timoho yang langka (pelet kendhit, ilat-ilatan, dan sebagainya), dengan model rangka yang sederhana khas Jogja.
Begitulah Jogja, stigma orang Jogja yang suka ngglembuk (merayu secara halus jika punya keinginan) dicerminkan dari model keris yang sederhana, tapi langka. Dalam bahasa anak muda sekarang diistilahkan dengan: merendahkan diri meninggikan mutu.
to be continued ...