22 Januari 2008

My Romance


Ketika Tony Bennett melantunkan My Romance, tak ada yang bisa dinilai dari desah vokal biduan sepuh itu kecuali satu kata, excellent. Lagu itu sejatinya sederhana banget, melodinya, terlebih liriknya. Namun, kesederhanaan itu nampaknya justru menjadi episentrum kekuatannya.

Dalam American Song Book, My Romance ditempatkan dalam posisi yang sangat terhormat. Ia telah direkam tak kurang dari 60 artis dalam berbagai versi. Mulai dari Tony Bennett yang merdu mendesah, atau pada tiupan tenor sax Scott Hamilton dengan tone yang sangat bersih, bahkan ketika dalam tataran nada paling rendah tenor yang terkenal sangat sulit untuk dikendalikan.

Sejatinya, My Romance digarap oleh Richard Rogers dan lirik yang simpel itu ditulis Lorenz Hart sudah lebih dari 70 tahun lalu. Lagu itu ditulis untuk Billy Rose, sebagai tembang tema untuk film Jumbo pada tahun 1935. Baru pada tahun 1962, levat vokal Doris Day, lagu ini mendunia justru melebihi movie version-nya.

Sama halnya seperti lagu-lagu standar lainnya, selalu berangkat dari kotak musik populer. Saking populernya, hampir setiap telinga akan selalu mengenal lagu itu, walaupun disajikan dalam format apa pun. Atas semua itu, nampaknya kita harus berterima kasih kepada jazz. Daya adaptifnya yang sangat luas membuat My Romance menjadi legenda yang tak lekang ditelan zaman.

Dalam salah satu versi yang lain, Dave Brubeck menggarap lagu ini dengan sangat rapi. Ia memasukkannya dalam album Time Out yang prestisius itu. Peran Paul Desmon di belakang alto sax terasa sangat dominan, meski sering ditimpa dalam line melodinya oleh denting piano Brubeck, hebatnya tone alto sax Desmond yang ”flat” itu tidaklah kehilangan ruh. Sampai di sini kita jadi bertanya, semangat apakah yang sebenarnya terkandung dalam lagu yang sesungguhnya sederhana itu?

Kita coba mulai dari salah satu versi. Scott Hamilton mengangkatnya dalam Ballads Essential. Ia menggarap lagu ini dalam nada dasar aslinya (Bb). Biasanya, orang jazz cenderung mengangkat atau menurunkan satu atau dua step nada dasar itu, dan menjungkir-balikkan melodinya dalam interlude. Namun Hamilton justru tidak melakukan itu. Ia lebih memilih untuk tampil flat, dengan sedikit polesan vibrato. Kesan yang timbul sangat utuh, bersih dan sekaligus romantis. Saya rasa itu merupakan bentuk penghormatan atas eksistensi lagu yang (sesungguhnya) sudah sangat bagus sejak format aslinya ditulis.

Akibat langsung dari garapan Hamilton itu, yang tidak beranjak dari nada dasar aslinya, menyebabkan tone tenor sax-nya menjadi sering melengking. Bagi yang tidak membaca credit title dari album ini, tentunya orang pasti akan mengira kalau Hamilton sedang meniup alto. Jelas ini luar biasa, tenor rasa alto !!!

Lantas bagaimana dengan gaya Brubeck? My Romance di tangan Brubeck menjadi ”hancur”, fingering akustik piano yang sangat powerful dan meledak-ledak (khas Brubeck) menyebabkan lagu ini hanya terasa saat disruput intro-nya saja. Selebihnya justru seakan menjadi arena jungkir balik antara Paul Desmond yang nampak kegerahan meniup alto sax dengan Dave Brubeck yang bak kesetanan menekan tuts piano.

Dua contoh itu memang ekstrem adanya. Di antara keduanya, tak kurang dari 58 versi yang mencoba mengangkat My Romance. Para artis menerjemahkannya ke dalam idealisme masing-masing. Mulai dari Roberta Flack yang sangat ngepop sampai dengan petikan gitar duo Tuck and Patty yang terasa sungguh futuristik. Dalam berbagai versinya, cita rasa yang dibangkitkan My Romance tetap saja nikmat. Ketika disajikan encer menjadi segar, dan ketika digarap kental (dan bahkan pekat pun) masih saja menunjukkan keindahannya.

My romance doesn’t have to have a moon in the sky
My romance doesn’t need a blue lagoon standing by
No month of May, no twinklin’ stars
No hide away, no soft guitars

My romance doesn’t need a castle rising in Spain
Nor a dance to a constantly surprising refrain
Wide awake I can make my most fantastic dreams come true

My romance doesn’t need a thing but you
My romance doesn’t need a thing but you …. …

Durna


Debu bercampur asap sendawa beterbangan memenuhi alun-alun Wiratha. Bangkai kuda berserak bertumpuk dengan potongan-potongan tubuh manusia. Bau anyir menyebar di mana-mana. Darah setengah kering membercak di sepanjang pagar beringin kurung. Langit mendung, bahkan di beberapa sudut kota gerimis mulai turun. Saat itu hari siang masih belum usai. Baru setengah jalan matahari menunaikan tugasnya menerangi jagat raya. Hanya kegelapan hati dan kepongahan Kurawa telah menutup sang surya dengan asap sendawa. Di atas alun-alun Wiratha.

Pintu kori kemandhungan masih terkunci rapat. Gapura utama negeri Wiratha yang tertutup rapat itulah satu-satunya penanda bahwa negeri itu belum bedhah. Eksistensi Wiratha masih belum tumbang di bawah kendali Astina, meski beratus-ratus prajuritnya mati berkalang tanah di sepanjang benteng dan alun-alun. Gempuran meriam bertubi-tubi meninggalkan asap sendawa yang menutup sinar matahari.

Di tengah histeria Kurawa, di antara para senopati yang beringas setengah mabuk. Berdiri tegak di atas kereta perang, Sang Durna. Meski tubuh telah renta dimakan usia, namun sisa-sisa kegagahannya masih memancar tegas, terlebih di antara mata sayu para Kurawa yang berat terbawa pengaruh arak dan alkohol. Dalam keyakinannya yang dalam, sang pendeta percaya bahwa tak mudah untuk mendobrak kori kemandhungan itu.

Ia mencium gelagat itu sejak pertama memasuki tapal batas Wiratha. Keyakinan itu tergambar jelas dari raut wajahnya yang menyimpan rindu pada murid-murid kesayangannya, Pandawa. Ya, Wiratha, negeri lemah yang seharusnya dengan mudah ditumbangkan. Tiba-tiba saja menjadi begitu kokoh menahan gempuran meriam dan senjata. Ia begitu yakin, kuatnya Wiratha tidak semata karena lemahnya Kurawa yang terlelap di bawah tenggakan arak. Pasti ada sesuatu yang segera menjawab kerinduan sang maha guru.

Jauh hari sebelum geger Wiratha itu terjadi, ketika Pandhawa masih bocah dan keahlian me-menthang gendewa ia turunkan pada ksatria kecil, Arjuna, sang maha guru begitu yakin akan talenta si bocah. Saat Pandawa harus menerima kenyataan akan kekalahannya dalam bermain dadu. Mereka harus membayar mahal. Dua belas tahun hidup di rimba Kamiyaka dan setahun bersembunyi dari kejaran Kurawa.

Dua belas tahun telah berlalu, 364 hari persembunyian telah dilampaui. Hari inilah, hari di mana matahari tak kuasa menembus alun-alun Wiratha nampaknya ada sesuatu yang akan segera datang. Hari penentuan. Sesuai dengan janji, jika di hari terakhir itu persembunyai Pandawa terkuak, maka tak ada pilihan lain bagi Pandawa untuk mengulang periode kepedihan yang sama. Dua belas tahun ditambah satu tahun. Begitulah, betapa hari itu sangat bermakna, bagi Kurawa yang seolah sudah kehabisan waktu. Juga bagi Pandawa yang tinggal menghitung hari untuk menuju hari pembebasan.

Dari kejauhan, melesatlah sebilah anak panah. Muncul dari balik ririmbunan pohon kepel, dari balik kori kemandhungan Wiratha. Anak panah itu, melesat hingga meninggalkan suara berdesing. Menimpa tepat di ujung rambut sang Durna. Berkali-kali. Kerinduan sang guru semakin terjawab. Sekaligus jawaban atas kukuhnya benteng Wiratha pun dapat ia rasakan dengan jelas. Jelas sekali.

Saat anak panah terakhir membelai leher jenjangnya, kesadaran itu telah pulih seratus persen. Ia tahu persis, jika sang pemanah benar-benar ingin mengakhiri hidup sang senapati, tentu tidaklah terlalu sulit. Ada seberkas pesan yang disampaikan pemanah yang titis itu. Salam sungkem sebagai tanda bakti murid kepada sang maha guru.

Durna segera bangkit. Kesadarannya pulih, tugas yang diembannya untuk menemukan Pandawa sekaligus menakhlukkan Wiratha justru ia kesampingkan. Sengaja ia mengulur permainan. Para prajurit diperintahkan menjauh kori kemandhungan. Dan saat matahari sudah menyentuh ufuk barat, pertanda hari telah berganti, genaplah sudah tiga belas tahun berlalu. Pandawa telah berhasil melalui masa-masa sulitnya.

****

Durna, yang dalam jagat keseharian selalu ditempatkan pada sisi gelap, ternyata memiliki sisi lain yang tidak dijangkau akal. Terlebih oleh para Kurawa yang selalu terlena dengan manisnya kehidupan. Durna selalu menepati janjinya, meski realitas dan perilakunya sering tidak menunjukkan arahnya.

Memahami Durna haruslah dengan visi yang luas dan terawang jang panjang (visioner). Pandawa, sakti mandraguna adalah hasil dari tempaan dan asahnya. Sebut saja, Bimasena yang telah berhasil menemukan jati dirinya, lewat tirta pawitra mahening suci, sangatlah tidak mungkin jika sang Durna tidak menunjukannya, meski dengan cara (yang menurut orang lain) nampak menjerumuskan. "Temukan pawitra mahening suci di dasar samudera, tapi ingat itu semua harus di-tohi pati, nyawalah taruhannya" katanya suatu saat. (dengarkan dialog dramatis itu dalam rekaman Ki Nartosabdho dalam lakon Dewa Ruci)

Bagi orang awam, perintah Durna kepada Bimasena untuk terjun ke dasar laut adalah suatu penjerumusan. Namun demikian, di balik "penjerumusan" itu sebenarnya terkandung niat luhur untuk menempa sang murid agar dapat menemukan jati dirinya.

Dalam huru-hara Wiratha yang seru itu, jika ia bermaksud jahat, tak sulit baginya untuk menemukan Arjuna, sang pemanah yang telah membelai rambut tuanya dengan takzim. Tapi itu tak ia lakukan, bahkan di hari terakhir yang menjadi penanda penggal janji itu. Hanya uluran waktu Durna lah yang mampu menahan beratnya hari penentuan itu.

Durna memang selalu berada di persimpangan dilema. Di satu pihak, ia harus mampu menunjukkan darma bakti dan loyalitasnya pada pihak yang telah memberinya penghidupan. Namun demikian, di lain pihak ia harus juga menyuarakan kebenaran, meski harus berseberangan dengan orang yang memberinya kehidupan. Durna telah berhasil mengemas semua kontradiksi dan paradoksal itu dengan indah, mulus, anggun, dan elegan. Minimal di mata orang yang mampu memahami misi luhurnya. ***

Mengapresiasi Keris


Bagi orang awam, diskursus mengenai keris selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis, klenik, kanuragan, dan sejenisnya. Tentu hal tersebut tidaklah salah, mengingat eksistensi keris dalam blantika sosial politik masyarakat telah mengakar dan terpatri dalam setiap percaturan. Namun demikian, sebenarnya masih terdapat sisi lain dari keris yang dapat didiskusikan secara lebih konstruktif, terlepas dari stigma "klenik" yang sudah telanjur melekat erat dalam perbeicangan mengenainya.

Keris, sejak zaman dulu (entah periodisasinya harus dimulai dari mana) selalu menjadi lambang supremasi bagi eksistensi kehidupan seseorang (tidak peduli lelaki atau wanita), yang jelas jika kita amati perkembangannya selalu menarik untuk didiskusikan.

Secara fisik, keris tidak beda dengan senjata-senjata tradisional lainnya, bermata tajam, dan digunakan sebagai alat untuk memotong, menusuk, atau mengiris. Namun demikian, di balik semua itu ternyata keris memiliki nilai-nilai yang - jika dikupas - tidak ditemukan dalam diskursus mengenai senjata tajam lainnya.

Saya lebih tertarik untuk mendiskusikan keris sebagai benda budaya, yang sekaligus dapat dimaknai sebagai simbul peradaban suatu rezim. Ketika kita mengamati sebuah keris tangguh kuno seperti era Pajajaran atau yang sebelumnya, misalnya bethok budha, kesimpulan yang muncul adalah bahwa makna keris pada era itu telah mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat penggunanya. Keris adalah lambang supermasi, kewibawaa, investasi, sekaligus juga sebagai media psikologis bagi pemiliknya untuk menambah kewibawaan, percaya diri, dan sejenisnya.

Secara ilmiah, bangkitnya berbagai macam aura yang ditimbulkan oleh keris tidak terlepas dari kandungan materi dalam keris itu sendiri. Dalam dunia perkerisan yang benar, keris selalu dibuat dari bahan dasar baja yang dicampur sedemikian rupa dengan berbagai material, misalnya dengan meteorit, nikel, dan logam-logam lain yang menimbulkan keindahan fisik tertentu. Apresiasi terhadap seni pencampuran ini tergambar jelas ketika pamor keris menjadi ukuran tinggi rendahnya apresiasi.

Kekaguman kita terhadap seni olah logam ini adalah bahwa para empu telah berhasil menembus kecanggihan teknologi sedemikian rupa, sehingga material logam yang secara ilmu metalurgi modern diklaim sangat sulit untuk disatukan, tetapi justru para empu itu telah menjawabnya berabad-abad yang lalu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan perubahan molekuler meteorit yang mampu membentuk keindahan fisik keris.

Dalam dunia perkerisan, dikenal dengan pamor daden dan pamor rekan. Pamor daden adalah pamor yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu untuk diarahkan menjadi motif tertentu. Konsekuensinya, pamor keris hanya dapat diketahui setelah keris sempurna digarap. Perbedaan yang sangat tipis antara satu pamor dengan pamor lainnya telah memunculkan berbagai tafsiran dan penamaan pamor yang sangat banyak. Dewasa ini, dikenal tidak kurang dari 250 macam pamor keris, yang kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan perbedaan di antaranya.

Di sisi lain, percobaan laboratorium radioaktif menunjukkan bahwa keris-keris yang tergolong "panas" biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi. Konsekuensinya, pancaran radiasi yang ditimbulkan menyebabkan tidak semua orang mampu secara fisik menahannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi tersebut dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu-kayu tertentu, yang secara ilmiah dapat meredam.

Yang paling populer dalam dunia pembuatan rangka keris di antaranya adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendhana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, bahkan kadang-kadang juga gading gajah. Sebagai tangkai (ukiran atau dhedher) biasanya dibuat dari kayu Kemuning, Tayuman, dan sejenisnya.

Kayu-kayu tersebut secara laboratorium telah membuktikan mampu menahan daya radioaktivitas dalam kategori yang bagus. Artinya, jika keris disarungkan dalam rangka yang terbuat dari kayu-kayu tersebut maka afek negatif radioaktif yang dipancarkan akibat menyatunya material keris dapat diredam.

Dalam terminologi gugon tuhon (takhyul) selama ini akhirnya dikenal dengan berbagai istilah: keris panas, tidak kuat kanggonan, dan sejenisnya. Padahal, semua itu sudah dapat dibuktikan secara ilmiah. Hanya saja, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana para empu mampu memilih bahannya, sekaligus menciptakan dhapur-dhapur yang tergolong panas tersebut.

Seperti diketahui, keris dengan bahan yang sama tetapi dengan bentuk (dhapur) yang berbeda seringkali memiliki kadar radioaktivitas yang jauh berbeda. Misalnya, keris dengan dhapur Buta Ijo dengan pamor Ganggeng Kanyut dengan keris dhapur Jalak dengan pamor yang sama, seringkali diapresiasi dengan nilai yang sangat berbeda. Buta Ijo selalu dikonotasikan negatif dan beraura panas, sebaliknya dhapur Jalak dikonotasikan sebagai keris dingin yang baik untuk dikoleksi.

Lain halnya dengan pamor rekan, atau pamor buatan. sejak awal sang empu telah menginginkan keris buatannya akan menjadi pamor tertentu, oleh karena itu sejak awal penempaan bahan pamor sudah ditata sedemikian rupa sehingga di akhir pembuatan akan muncul pamor yang diinginkan. Hasil dari pamor ini biasanya lebih dekoratif, dan relatif lebih mudah untuk ditentukan nama pamornya.

Pamor, atau gegambaran yang muncul di tubuh keris, mengandung sejumlah makna, terutama jika diapresiasi secara integral dengan tangguh dan dhapur keris yang bersangkutan. Tangguh keris menunjukkan era kapan keris tersebut diciptakan. Secara politis, tangguh keris juga dapat mencerminkan kondisi sosio kultural masyarakat pada waktu itu. Misalnya, keris era Pajajaran yang biasanya berpostur ramping, bilah yang tipis, serta garap yang sederhana menunjukkan bahwa di era tersebut masyarakat lebih mengapresiasi keris sebagai benda supremasi.

Lain halnya tangguh Tuban, Blambangan, atau Kartasura. Bilah keris biasanya sangat mentap, garap yang halus, material yang bagus, serta memiliki greget, semu, dan wanda yang berwibawa. Politik yang terjadi pada era tersebut memang menuntut adanya sosok tokoh yang berwibawa, kuat secara fisik, dan anggun secara guwaya.

Salah satu hal yang paling mudah memahami bahwa keris merupakan cermin dari karakter budaya setempat adalah persandingan antara tangguh Solo dengan Jogja. Keris-keris keluaran Solo (yang high level) biasanya memilih dhapur-dhapur populer seperti Sengkelat, macam-macam dhapur naga, Parungsari, atau bahkan keris-keris kalawijan (jumlah luk di atas 13). Demikian pula asesorisnya, keris Solo banyak yang bertatahkan berlian, berangka kayu cendana wangi, pendhok emas/selaka, mendhak intan, dan selut berlian. Selain itu, badan keris pun tidak jarang yang bertatahkan emas berlian, dari ujung sampai ganja-nya.

Apa yang dapat disimpulkan? Sudah menjadi stigma bagi orang Solo, konon para bangsawannya berkarakter suka pamer dan senang dipuji. Oleh karenanya, dalam tata perkerisan pun juga mencerminkan yang serba gebyar. Keris adalah lambang supermasi yang harus tampil mewah, terlebih di dalam suatu perhelatan besar.

Lain halnya dengan keris-keris gaya Mataraman (Jogja). Biasanya keris Jogja yang bagus diapresiasi dari sisi yang lain. Dhapur-nya mungkin biasa-biasa saja (lurus, jalak, tilam upih, atau luk-luk sederhana). Tetapi, kebanggaannya adalah bahwa garap dan materialnya yang tergolong langka. Semboyannya, orang berduitpun belum tentu bisa memperoleh keris yang langka. Warangka terbuat dari kayu Timoho yang langka (pelet kendhit, ilat-ilatan, dan sebagainya), dengan model rangka yang sederhana khas Jogja.

Begitulah Jogja, stigma orang Jogja yang suka ngglembuk (merayu secara halus jika punya keinginan) dicerminkan dari model keris yang sederhana, tapi langka. Dalam bahasa anak muda sekarang diistilahkan dengan: merendahkan diri meninggikan mutu.

to be continued ...