23 Oktober 2009

Nila Juwita

Pelajaran apa yang dapat Anda petik dari seorang Nila Juwita Anfasa Moeloek beberapa hari ini? Bahwa beliau adalah kandidat Menteri Kesehatan yang gagal dipilih SBY, semua orang sudah tahu. Bahwa beliau sontak menjadi sosok yang mengundang komentar di media, semua juga sudah melihatnya. Namun, bahwa beliau adalah sosok innocent yang membuat hati kita sungguh trenyuh, nampaknya tidak banyak yang menyadarinya.

Memilih menteri adalah hak prerogatif Presiden. Saya tidak akan mempermasalahkan apakah jalan yang ditempuh Pak SBY itu benar atau salah, elegan atau tidak, yang jelas ada dimensi lain yang bisa dicermati. Yang -- setidaknya -- lebih membawa manfaat, daripada memperdebatkan batalnya Prof. Nila Juwita sebagai Menteri Kesehatan, sebagaimana yang heboh dan menjadi santapan hangat media massa beberapa hari ini.

Di layar kaca, sudah banyak komentar atas peristiwa itu. “Tidak elegan” kata seorang tokoh. ”Mempermalukan orang di hadapan publik, sungguh tidak elok” kata seorang tokoh Ormas Islam. “Ini sungguh bermuatan politik yang kental” sergap seorang politisi dari Senayan. “Nampak mengakomodasikan kepentingan asing” ucap seorang pengamat.

Di luar semua itu, kita melihat ada sesuatu yang sangat menyentuh. Dalam tataran yang lebih dalam, justru membuat kita malu sebagai bangsa. Coba cermati bagaimana jawaban Ibu Nila Juwita ketika para wartawan mencecarnya.

Frame yang dibawa para jurnalis untuk “menjebak”-nya agar bisa menjadi “layak siar” nampaknya gagal. Minimal dari aspek pemasaran yang kerap kali dilakukan media massa.

Para jurnalis (televisi) tentunya berharap, frame politik yang dibawa akan membuatnya terpancing, dan statements ibu ini akan membola-salju. Harapan ini ternyata meleset, sang narasumber dengan sangat innocent mengatakan bahwa kegagalannya sebagai Menteri Kesehatan bukanlah masalah yang perlu dibesar-besarkan.

“Saya tidak pernah meminta diundang ke Cikeas” katanya singkat.

“Tapi ibu khan sudah dipermalukan dengan peristiwa ini” sergah sang wartawan.

“Sekali lagi, saya tidak pernah meminta jabatan Menkes, saya datang karena diundang Bapak SBY, kalau akhirnya beliau batal memilih saya, itu sepenuhnya hak Pak SBY, saya bersikap nothing to loose…” katanya dengan enteng.

“Apakah ibu tidak mencium gelagat politik di balik pembatalan itu? pancing wartawan setengah memaksa.

“Yang saya tahu, konon saya gagal karena tidak lulus tes kesehatan, saya dinilai tidak tahan menghadapi tekanan atau stres, hanya itu yang saya ketahui” ucapnya – sekali lagi – dengan enteng.

“Tentang isu politik di balik itu, saya tidak cukup kompeten untuk memberikan komentar” katanya merendah.

Coba kita cermati kalimat-demi kalimat. ”Saya tidak meminta”, kalimat pendek yang terdiri tiga kata ini secara dalam (deeply) menonjok kelakuan para politisi kebanyakan.

Lihatlah bagaimana kelakuan para politisi. Baik yang partainya berkoalisi dengan SBY, maupun yang berseberangan dan malu-malu mengklaim diri sebagai kekuatan oposisi. Jangankan “tidak meminta”, meminta pun mereka dengan memaksa, bahkan mengancam, baik jumlah jatah maupun siapa orang yang akan menjabat. Diwenehi ati malah ngrogoh rempela, kata orang Jawa dengan precise-nya.

“Saya datang ke Cikeas karena diundang”. Bagaimana dengan politisi partisan? Jauh hari sebelum memutuskan berkoalisi, mereka sudah meributkan kompensasi apa yang akan diterima. Bahwa konstituen, yang sesungguhnya adalah rakyat pemilik sah negeri ini, telah dijadikan komoditas atas nama sebuah bargaining position untuk semata-mata ”berdagang sapi”.

Yang lebih menyesakkan dada, kalau kita ingat bagaimana seorang petinggi partai, dengan semangat menyerang yang menyala-nyala, membabat habis-habisan ketika Pak SBY memutuskan untuk menggandeng Cawapresnya bukan dari kalangan partai.

Keteladanan tingkat tinggi kembali ditunjukkan oleh Prof. Nila Juwita, ketika beliau dengan innocent juga menghadiri upacara Sertijab Menkes di Departemen Kesehatan. Tak ada sebersitpun aura dendam atau penyesalan yang ditunjukkan.

Dalam konteks ini, nampak sungguh jauh berbeda dengan sikap seorang pemimpin partai, yang sama sekali tidak mau (tidak mampu) menunjukkan itikad dan sikap kenegarawanannya. Sehingga ketika sekadar berjabat tangan dengan rivalnya pun, sontak menjadi komoditas yang sangat ”menjual” di mata media massa.

Terima kasih Prof. Nila Juwita, panjenengan telah memberikan pelajaran dan sekaligus pembelajaran kepada negeri ini tentang bagaimana cara bersikap. Sesungguhnya Anda tidaklah kalah, justru kemenangan besar telah Anda raih dan tunjukkan, dengan sikap santun, innocent, dan (tentunya) tidak muluk-muluk. ***