
Karakteristik yang melekat kuat pada industri telekomunikasi adalah bahwa industri ini bersifat hi-tech. Dari waktu ke waktu, dalam durasi yang pendek, teknologi senantiasa melompat-lompat. Terlebih lagi setelah terjadi akselerasi besar-besaran dalam teknologi mikroprosesor, storage, internet protocol, dan konfigurasi jaringan.
Dampak langsung yang terjadi, terutama dalam tataran regulasi adalah adanya fenomena tentang tertinggalnya regulasi relatif dengan akselerasi perubahan teknologi. Masalah eksistensi telepon umum (telum), misalnya. Masalah ini menarik untuk diangkat ke permukaan, mengingat eksistensi telepon umum sudah mulai dipertanyakan relevansinya.
Filosofi yang mendasari adanya telepon umum adalah bahwa masyarakat harus diberikan akses telekomunikasi, meskipun yang bersangkutan bukanlah pelanggan satu operator tertentu. Hal ini berkait erat dengan paradigma lama, yang mengaitkan kelangkaan akses ini dengan teledensitas. Akibatnya, muncul suatu regulasi yang mewajibkan penyelenggara jaringan tetap lokal untuk membangun telepon umum.
Regulasi eksisting mensyaratkan bahwa kewajiban membangun telepon umum dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal. Di samping itu, jumlah dan spesifikasi telepon umum pun juga telah ditentukan. Di antaranya, jumlah telepon umum yang dibangun sebanyak 3 persen dari kapasitas sentral. Dari jumlah tersebut, satu persen di antaranya adalah telepon koin. Di sisi lain, pola pricing pun juga ditetapkan, yaitu dengan tarif sebesar Rp 100 per pulsa.
Nah, dari gambaran di atas jelas nampak bahwa regulasi eksisting tentang telepon umum sudah terasa ketinggalan, jadul. Tentunya dapat dimaklumi bahwa regulasi tersebut masih bernuansa atmosfer dunia telekomunikasi lama. Di mana kapasitas dan operator yang masih terbatas. Pada waktu itu, angka 3 persen kapasitas barangkali masih relevan, mengingat circuit switch PSTN memiliki kapasitas yang tidak terlalu besar, relatif dengan era sentral modern dewasa ini. Kelemahan lain, spesifikasi yang mewajibkan satu persen berupa telepon koin sungguh menyulitkan operator. Ukuran koin yang berubah-ubah setiap waktu menjadikan kesulitan untuk melakukan setting, di pihak pengguna pun keberadaan koin juga sudah semakin tersisih.
Dari sisi lain, kalu dicermati okupansi telepon umum dewasa ini, nampak jelas bahwa sudah semakin jarang dipergunakan. Hal ini tidak terlepas dari perubahan pola industri secara umum, di mana masalah akses sudah bukan hal yang relevan lagi, terutama di daerah-daerah perkotaan. Melesatnya penetrasi telekomunikasi seluler juga menjadi penyebab masyarakat sudah semakin jarang menggunakan sarana telepon umum.
Keengganan masyarakat menggunanakan telepon umum, meski tarif lokalnya murah, antara lain karena semakin sulitnya ditemukan telepon umum yang waras, yang bisa digunakan dengan baik. Bila kita cermati, di jalan-jalan atau di mana pun, sebagian besar telepon umum dalam kondisi rusak.
Hal ini menjadi dilematis, bagi operator tingginya vandalisme menyebabkan biaya pemeliharaan telepon umum menjadi sangat mahal. Padahal, pricing-nya sangat murah. Dua hal yang bertolak belakang. Bagi masyarakat, karena kondisi telepon umum yang sering rusak, maka semakin jarang mereka menggunakan. Keduanya tidak menemukan ekuilibriumnya.
Berdasar pada masalah-masalah di atas, maka semua pihak yang terlibat haruslah segera mengambil langkah untuk menyelamatkan keberadaan fasilitas publik ini. Regulator harus segera melakukan revisi regulasi agar tidak lagi jadul. Sementara, operator juga harus melakukan inovasi-inovasi agar telepon umum ini kembali diminati masyarakat. Misalnya dengan menempatkan telepon umum di lokasi-lokasi di mana demand berada.
Keberadaan wartel juga harus mendapat perhatian. Meskipun saat ini sudah ada regulasi khusus tentang wartel, namun keberadaan wartel ini sebaiknya dijadikan satu paket dengan eksistensi telepon umum. Ditinjau dari fungsinya memang wartel juga merupakan telepon umum, tetapi dilihat dari pricing-nya jelas sangat berbeda. ***
Dampak langsung yang terjadi, terutama dalam tataran regulasi adalah adanya fenomena tentang tertinggalnya regulasi relatif dengan akselerasi perubahan teknologi. Masalah eksistensi telepon umum (telum), misalnya. Masalah ini menarik untuk diangkat ke permukaan, mengingat eksistensi telepon umum sudah mulai dipertanyakan relevansinya.
Filosofi yang mendasari adanya telepon umum adalah bahwa masyarakat harus diberikan akses telekomunikasi, meskipun yang bersangkutan bukanlah pelanggan satu operator tertentu. Hal ini berkait erat dengan paradigma lama, yang mengaitkan kelangkaan akses ini dengan teledensitas. Akibatnya, muncul suatu regulasi yang mewajibkan penyelenggara jaringan tetap lokal untuk membangun telepon umum.
Regulasi eksisting mensyaratkan bahwa kewajiban membangun telepon umum dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal. Di samping itu, jumlah dan spesifikasi telepon umum pun juga telah ditentukan. Di antaranya, jumlah telepon umum yang dibangun sebanyak 3 persen dari kapasitas sentral. Dari jumlah tersebut, satu persen di antaranya adalah telepon koin. Di sisi lain, pola pricing pun juga ditetapkan, yaitu dengan tarif sebesar Rp 100 per pulsa.
Nah, dari gambaran di atas jelas nampak bahwa regulasi eksisting tentang telepon umum sudah terasa ketinggalan, jadul. Tentunya dapat dimaklumi bahwa regulasi tersebut masih bernuansa atmosfer dunia telekomunikasi lama. Di mana kapasitas dan operator yang masih terbatas. Pada waktu itu, angka 3 persen kapasitas barangkali masih relevan, mengingat circuit switch PSTN memiliki kapasitas yang tidak terlalu besar, relatif dengan era sentral modern dewasa ini. Kelemahan lain, spesifikasi yang mewajibkan satu persen berupa telepon koin sungguh menyulitkan operator. Ukuran koin yang berubah-ubah setiap waktu menjadikan kesulitan untuk melakukan setting, di pihak pengguna pun keberadaan koin juga sudah semakin tersisih.
Dari sisi lain, kalu dicermati okupansi telepon umum dewasa ini, nampak jelas bahwa sudah semakin jarang dipergunakan. Hal ini tidak terlepas dari perubahan pola industri secara umum, di mana masalah akses sudah bukan hal yang relevan lagi, terutama di daerah-daerah perkotaan. Melesatnya penetrasi telekomunikasi seluler juga menjadi penyebab masyarakat sudah semakin jarang menggunakan sarana telepon umum.
Keengganan masyarakat menggunanakan telepon umum, meski tarif lokalnya murah, antara lain karena semakin sulitnya ditemukan telepon umum yang waras, yang bisa digunakan dengan baik. Bila kita cermati, di jalan-jalan atau di mana pun, sebagian besar telepon umum dalam kondisi rusak.
Hal ini menjadi dilematis, bagi operator tingginya vandalisme menyebabkan biaya pemeliharaan telepon umum menjadi sangat mahal. Padahal, pricing-nya sangat murah. Dua hal yang bertolak belakang. Bagi masyarakat, karena kondisi telepon umum yang sering rusak, maka semakin jarang mereka menggunakan. Keduanya tidak menemukan ekuilibriumnya.
Berdasar pada masalah-masalah di atas, maka semua pihak yang terlibat haruslah segera mengambil langkah untuk menyelamatkan keberadaan fasilitas publik ini. Regulator harus segera melakukan revisi regulasi agar tidak lagi jadul. Sementara, operator juga harus melakukan inovasi-inovasi agar telepon umum ini kembali diminati masyarakat. Misalnya dengan menempatkan telepon umum di lokasi-lokasi di mana demand berada.
Keberadaan wartel juga harus mendapat perhatian. Meskipun saat ini sudah ada regulasi khusus tentang wartel, namun keberadaan wartel ini sebaiknya dijadikan satu paket dengan eksistensi telepon umum. Ditinjau dari fungsinya memang wartel juga merupakan telepon umum, tetapi dilihat dari pricing-nya jelas sangat berbeda. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar